SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN

Saturday, January 09, 2010

Ketika Wacana Pemilihan Gubernur Oleh Lembaga Dewan Kembali Menguat

ICS Nilai Sebagai Kemunduran, DC Nyatakan Wajar-wajar Saja
Belakangan ini, wacana tentang pemilihan gubernur harus dilakukan oleh lembaga dewan dan bukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat kembali menguat dan undang-undang terkait hal itu sedang dibahas di pusat. Lalu bagaimana pandangan pengamat di Papua tentang hal itu?
Laporan : Kornelis Watkaat, Jayapura
Seiring dengan besarnya biaya untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) terutama untuk pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, sementara di sisi lain ada yang menilai bahwa kewenangan yang dimiliki gubernur itu tidak sebanding dengan besarnya biaya untuk pemilihan secara langsung itu, maka wacana bahwa gubernur sebaiknya dipilih oleh lembaga dewan kembali ramai dibicarakan.
Terkait hal itu, UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah saat ini sedang direvisi oleh Pemerintah Pusat yang mana nantinya akan menghasilkan 3 undang-undang, yakni UU pemerintahan daerah, UU pemilihan umum kepala daerah/wakil kepala daerah, dan UU tentang pemerintahan desa.
Kita belum bisa memastikan apakah nantinya hasil revisi UU itu menyatakan bahwa Pemilukada tidak lagi melalui rakyat, tetapi oleh lembaga dewan, atau tetap dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Tentunya hal itu sudah pasti ada kelebihan dan kekurangannya.
Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) atau Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua, Budi Setyanto, SH, menilai, jika Pemilukada akan kembali dilakukan melalui wakil rakyat seperti yang dilakukan sebelum era reformasi, maka itu merupakan suatu langkah kemunduran dari suatu proses demokrasi selama ini dibangun dan itu merupakan sebuah malapetaka yang besar.
“Memang benar bahwa Pemilukada secara langsung dinilai boros anggaran, tapi harus tahu itu sebuah konsekuensi dari proses demokrasi, karena dalam melaksanakan demokrasi yang benar membutuhkan biaya yang tinggi,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos di ruang kerjanya, Kamis (7/1).
Menurutnya, Pemilukada melalui dewan itu tidak representatif dan semua pihak tahu akan hal itu. Sebab jumlah wakil rakyat sangat sedikit baila dibanding jumlah masyarakat yang cukup banyak. Selain itu, ada kelemahan bahwa tidak ada jaminan bahwa wakil rakyat itu yang akan membawa aspirasi masyarakat secara tulus.
“Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilakukan melalui dewan, ternyata justru ada muatan-muatan kepentingan politik, ekonomi yang terkait dengan isi perut oknum-oknum wakil rakyat itu. Sehingga bila ini dipraktekan kembali, sudah pasti pola permainannya kembali lagi dan akan sama seperti yang lalu,” tegasnya.
Dengan demikian kepala daerah yang terpilih bukan pilihan rakyat tapi pilihan segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi itu, apalagi saat ini tingkat kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi.
“Benar, Pemilukada langsung itu banyak kelemahannya, salah satunya terjadi money politik, primordialisme yang tinggi, banyak penyalagunaan anggaran yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat tapi digunakan untuk Pemilukada, tapi harus dipahami bahwa dalam proses demokrasi Pemilukada langsung ini baru dilakukan sekali dan untuk mengukur keberhasilannya masih prematur jadi belum bisa diukur kan?,” ujarnya.
“Sejelek-jeleknya hasil Pemilukada itu akan lebih baik dari pada pemilihan dilakukan oleh wakil rakyat, meski money politik, tapi uang itu dinikmati oleh rakyat bukan anggota dewan yang hanya memikirkan kepentingannya itu. Pemilukada langsung ini pun akan menjadi media bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang lebih baik. Kalaupun mereka terpilih dari yang tidak baik, itu masyarakat bisa perbaiki pada Pemilukada berikutnya,” sambungnya.
Hal lainnya, adanya partisipasi masyarakat yang tinggi dan sikap apatis akan sendirinya hilang, sehingga kontrol dari masyarakat sipil akan tumbuh dengan baik. Demikian juga kepala daerah yang terpilih akan belajar tanggungjawab untuk memenuhi janji-janjinya saat kampanye.
Berbeda dengan Budi Setyanto, Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Uncen, DR. H. M. A. Musa'ad,M.Si menyatakan, memang hal itu sudah menjadi wacana tapi juga suatu pilihan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) apakah Pemilukada dilakukan langsung oleh rakyat atau melalui lembaga dewan. Namun sejauh ini wacana yang berkembang bahwa Pemilukada itu melalui dewan itu hanya ada pada tingkat pemilihan gubernur.
Berdasarkan itu, kata Musa’ad, sudah ada beberapa pertimbangannya. Pertama, tidak menyalahi aturan, karena pemilihan presiden itu langsung melalui rakyat, tapi Pemilukada itu menggunakan terminologi pemilihan secara demokratis. Dan berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Pemilu langsung atau tidak langsung adalah kedua-duanya sah dan tidak bertentangan dewan UUD 1945. Sehingga keabsahan berdasarkan konstitusinya tidak menjadi soal.
Pertimbangan kedua ialah titik berat otonomi, apakah berada di provinsi ataukah di kabupaten/kota. Karena selama ini UU 32 Tahun 2004 itu dititikberatkan otonominya ke kabupaten/kota. Hal ini memunculkan pemikiran bahwa pemilihan langsung oleh rakyat di kabupaten/kota. Alasannya, karena yang mempunyai rakyat itu adalah kabupaten/kota.
Pertimbangan ketiga, bahwa dalam UU 32, provinsi itu ada dua status yang melekat padanya, yaitu sebagai daerah otonomi dan sebagai wilayah administratif.
Dimana, tentunya sebagai daerah otonom, itu melaksanakan urusan rumah tangga yang terbatas. Sedangkan sebagai wilayah administratif, seorang gubernur merupakan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga diharapkan proses seorang naik jadi gubernur tidak hanya jadi domain rakyat tapi juga jadi domaiannya pemerintah karena adanya dua fungsi itu.
Pertimbangan keempat, adanya indikasi peran gubernur dalam melaksanakan fungsinya cenderung mengedepankan tugasnya sebagai kepala daerah, sementara tugasnya sebagai wakil pemerintah pusat sangat lemah, bahkan ada gubernur yang ekstrim dan kurang loyal terhadap pemerintah pusat/presiden. Karena gubernur merasa ia dipilih langsung oleh rakyat, sehingga tidak bisa dijatuhkan oleh dewan.
“Empat landasan itu saya kira menjadi landasan pikir bagi pihak-pihak yang ingin Pemilukada dilaksanakan melalui DPRD. Dengan dipilih langsung oleh rakyat, maka gubernur yang nakal sudah pasti menolak untuk diintervensi oleh dewan dan pusat,” imbuhnya.
Dengan sejumlah hal itu, yang harus dipertegas adalah dimana letak sebenarnya otonomi, karena otonomi sekarang tidak jelas, terdapat pada posisi yang mana, apakah di provinsi ataukah di kabupaten/kota. Karena di provinsi juga ada otonomi demikian juga ada otonomi di kabupaten/kota.
“Kalau memang sepakat daerah tingkat dua sebagai daerah otonomi dan provinsi posisinya sebagai wilayah administratif, maka boleh gubernur boleh dipilih oleh DPRD dan itu wajar bahkan bila perlu gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Jadi perlu ditata dulu sistem otonominya,” pungkasnya.(*/fud) (scorpions)

No comments: