SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN

Tuesday, January 12, 2010

IIS DAHLIA: Ikut Bikin Dangdut Naik kelas (Bagian 1)


Dari : Femina-online.com

SEMPAT MALU DISEBUT GADIS INDRAMAYU
Sejak kecil ia sudah bercita-cita jadi penyanyi. Sejak kecil pula ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal jadi orang terkenal. Salah satunya: sikapnya agak ngebos!

Wanita muda itu masih terbaring lunglai ketika dukun bayi ber­nama Mbok Wartem memperlihatkan bayi perempuan mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi imut-imut itu berwajah cantik, ber­kulit putih, dan berambut hitam lebat. Tapi, Mbok Wartem sen­diri merasa heran. Selama puluhan tahun berpraktik menjadi dukun bayi di Desa Kertajaya, Bongas, Indramayu, ia belum pernah me­­­­lihat kelahiran bayi seperti yang satu ini. Orang Indramayu me­nyebutnya tali ori, atau lehernya terlilit usus. Juga ada usus lain yang menyelempang da­­ri pundak ke arah perut, seperti layaknya selempang di seragam pejabat tinggi militer.

Menurut kepercayaan orang-orang tua zaman itu, usus yang me lilit leher itu merupakan pertanda bahwa nantinya bayi perempuan itu akan selalu tampak cantik saat mengenakan baju dan warna apa pun. Selain itu, selempang usus dari arah pundak ke arah perut juga dianggap pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang ternama. “Mungkin dia nanti akan menjadi sinden terkenal,” ramal mereka. Setelah dikandung hampir 11 bulan, bayi yang lahir pada 29 Desember 1972 ini diberi nama Iis Lailiyah. Dialah Iis Dahlia, yang sekarang kita kenal sebagai penyanyi dangdut populer.

SENANG TAMPIL SEJAK KECIL
Usia Qomariyah baru 16 tahun saat melahirkan putri keduanya itu. Maklum, saat menikah dengan Makmuri, ayah Iis, usianya baru 14 tahun. Saat itu Qomariyah bahkan sudah menjadi janda muda yang cantik dengan satu orang putri bernama Elsi Sukaesih. Sementara Makmuri yang menjadi guru Qomariyah di sekolah ibtidaiyah di kampung itu adalah duda beranak satu. Dari istri pertamanya, Mak­­­muri memperoleh seorang putri bernama Tati Hamami. Qo­mariyah adalah putri tuan tanah di daerah itu, sementara Mak­muri seorang pegawai Kantor Urusan Agama yang tinggal di wi­layah Singaraja, Kota Indramayu.

Sejak mulai bisa berjalan dan berbicara, Iis kecil tergolong sa­ngat aktif dan cerewet. Setiap kali mendengar suara nyanyian di ra­dio atau teve, ia langsung berlenggak-lenggok menari sembari mengikuti irama lagu. Berbeda dari teman-teman seusianya yang bercita-cita ingin menjadi presiden, dokter, atau insinyur, sejak ke­cil Iis dengan mantap selalu mengatakan ingin menjadi pe­nyanyi. Jawaban itu tidak pernah berubah sampai akhirnya ia masuk se­kolah SD, SMP, bahkan SMA.

Menurut Qomariyah, kegilaan Iis terhadap musik sudah dimulai sejak putrinya itu duduk di bangku kelas 4 SD. Hampir setiap ha­ri Iis nongkrong sendirian di kamar, bahkan kadang-kadang me­nguncinya dari dalam. Tidak bosan-bosannya Iis mendengarkan kaset lagu-lagu dangdut terbaru saat itu, juga lagu-lagu pop terkenal, lalu ia catat liriknya. Pada masa itu, Elvie Sukaesih sedang naik daun, dan nama Evie Tamala baru mu­lai merambat naik. Dalam pes­ta perkawinan atau perayaan 17 Agustus, tanpa malu-malu Iis tampil naik panggung, menyumbangkan lagu dengan iringan organ tunggal.

Lama-kelamaan Qomariyah pun jengkel melihat ulah putrinya itu. Soalnya, dari hari ke hari kegiatan Iis hanya mendengarkan mu­sik dan menyanyi. “Nok, tiap hari, kok, kerjamu begitu-begitu sa­ja, sama sekali tidak mau membantu Mami memasak, menyapu, atau mencuci piring. Jangan hanya dengerin musik melulu!” Tapi, omelan Qomariyah tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Iis. Gadis remaja itu tetap saja asyik dengan kaset-kaset musiknya.

Untunglah, otak Iis lumayan encer sehingga ia tidak pernah ting­gal kelas. Setiap pagi Iis sekolah di SD Negeri Kertajaya, tidak jauh dari rumahnya. Siangnya, setelah istirahat sejenak, ia lang­sung mengayuh sepeda menuju Madrasah Ibti­daiyah Bongas yang letak­nya lumayan jauh, hingga pukul 4 sore. Di kampungnya, hanya Iis dan kakak-kakaknya yang belajar di ma­drasah itu. Setelah magrib, ia harus mengaji dan belajar sembari ditunggui ayahnya.

Pada hari-hari tertentu, Iis bersama kakak-kakaknya dikirim oleh guru SD atau madrasahnya untuk mengikuti berbagai lomba, baik tingkat kecamatan, bahkan kabupaten. Ada lomba menyanyi, me­­nari, membaca Al-Quran, baca puisi, dan sebagainya. Setiap kali mengikuti seleksi, Iis bersama kedua kakaknya selalu tampil sebagai juara di sekolahnya. Alhasil, ketiganya pula yang dikirim untuk mewakili sekolah ke lomba-lomba tingkat kecamatan atau kabupaten.

SUKA PANJAT POHON
Iis merasa bersyukur lahir di kampung, mendapat pendidikan agama yang baik, dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan setempat. Se­perti anak-anak perempuan pada umumnya, semasa kanak-kanak Iis dan kedua kakaknya sangat menyukai boneka. Oleh Qomariah mereka tidak dibelikan boneka dari toko, melainkan dib­uatkan sendiri dari baju-baju bekas. Ketika sudah mulai agak besar, Iis membuat sendiri boneka-boneka dari lempung (tanah liat) yang dibentuk seperti bayi dan diberi baju dari kain-kain bekas.Pada ke­sempatan lain, Iis teman-temannya juga sering bermain di kali, ladang, atau memanjat pohon. Awalnya, Iis dan kedua kakaknya dilarang memanjat pohon oleh ayahnya. Tapi, karena hampir semua anak perempuan di kampungnya mahir memanjat, ketiga gadis kecil itu diam-diam belajar memanjati pohon-pohon tinggi setiap kali ayah mereka sedang di kantor.

Suatu hari, ketika tengah asyik memanjat pohon jambu di depan rumahnya, Iis mendengar suara skuter ayahnya. Ia pun buru-buru turun dan akhirnya terpeleset lalu terjatuh dari pohon itu. Anehnya, meski tangan dan sebagian tubuhnya terasa sakit, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi justru buru-buru kabur jauh-jauh ke rumah tetangga. “Daripada dimarahi Papi, lebih baik saya kabur, meski badan saya berdarah-darah,” ujarnya, tertawa.

Tapi, belakangan, sikap ayahnya agak melunak dan tidak lagi me­larang gadis-gadis kecilnya memanjat pohon. Makmuri bahkan me­nyuruh membuatkan rumah-rumahan di atas pohon jambu itu. Di rumah pohon itulah Iis sering kali menghabiskan waktunya bersama ka­kak-kakak maupun teman-temannya, sambil makan rumbah (pe­cel) tao­ge dan rempeyek kacang hijau.

Qomariyah membenarkan bahwa sifat Iis semasa kanak-kanak sangat keras. “Kalau punya kemauan, harus dituruti. Kalau tidak, dia marah atau menangis berkepanjangan. Kalau dilarang papinya nonton musik atau sandiwara, misalnya, dia pasti akan nekat pergi. Begitu ayahnya tidur, ia langsung kabur. Anak-anak saya yang lain tidak mungkin berani berbuat senekat itu,” tutur Qomariyah, ge­leng-geleng kepala.

“Selain itu, Iis juga ingin selalu diistimewakan dibanding kakak-kakaknya. Kalau pakai sandal atau pakaian, tidak mau yang jelek. Ka­lau kepunyaannya sudah jelek, ia enak saja menyambar kepunyaan kakaknya. Kakaknya tentu saja marah sehingga akhirnya keduanya berantem. Selain itu, kalau dibelikan pakaian atau apa saja, ia selalu ingin yang bagus dan mahal. Akibatnya, kakak-kakaknya jadi iri,“ ke­nang Qomariyah, sambil tertawa. Tapi, lain di rumah, lain pula di tempat main. Di mata teman-temannya, Iis justru dikenal baik hati dan dermawan. “Dia selalu me­maksa saya untuk memberinya uang banyak-banyak agar bisa mentraktir teman-teman mainnya. Atau, kalau disuruh belanja dengan uang yang agak besar, kembaliannya pasti dia habiskan untuk ngejajanin teman-temannya. Sejak dulu gayanya memang seperti bos!” Qomariyah tertawa geli.


Bersambung...

No comments: