Dari : Femina-online.com
SEMPAT MALU DISEBUT GADIS INDRAMAYU
Sejak kecil ia sudah bercita-cita jadi penyanyi. Sejak kecil pula ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal jadi orang terkenal. Salah satunya: sikapnya agak ngebos!
Wanita muda itu masih terbaring lunglai ketika dukun bayi bernama Mbok Wartem memperlihatkan bayi perempuan mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi imut-imut itu berwajah cantik, berkulit putih, dan berambut hitam lebat. Tapi, Mbok Wartem sendiri merasa heran. Selama puluhan tahun berpraktik menjadi dukun bayi di Desa Kertajaya, Bongas, Indramayu, ia belum pernah melihat kelahiran bayi seperti yang satu ini. Orang Indramayu menyebutnya tali ori, atau lehernya terlilit usus. Juga ada usus lain yang menyelempang dari pundak ke arah perut, seperti layaknya selempang di seragam pejabat tinggi militer.
Menurut kepercayaan orang-orang tua zaman itu, usus yang me lilit leher itu merupakan pertanda bahwa nantinya bayi perempuan itu akan selalu tampak cantik saat mengenakan baju dan warna apa pun. Selain itu, selempang usus dari arah pundak ke arah perut juga dianggap pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang ternama. “Mungkin dia nanti akan menjadi sinden terkenal,” ramal mereka. Setelah dikandung hampir 11 bulan, bayi yang lahir pada 29 Desember 1972 ini diberi nama Iis Lailiyah. Dialah Iis Dahlia, yang sekarang kita kenal sebagai penyanyi dangdut populer.
SENANG TAMPIL SEJAK KECIL
Usia Qomariyah baru 16 tahun saat melahirkan putri keduanya itu. Maklum, saat menikah dengan Makmuri, ayah Iis, usianya baru 14 tahun. Saat itu Qomariyah bahkan sudah menjadi janda muda yang cantik dengan satu orang putri bernama Elsi Sukaesih. Sementara Makmuri yang menjadi guru Qomariyah di sekolah ibtidaiyah di kampung itu adalah duda beranak satu. Dari istri pertamanya, Makmuri memperoleh seorang putri bernama Tati Hamami. Qomariyah adalah putri tuan tanah di daerah itu, sementara Makmuri seorang pegawai Kantor Urusan Agama yang tinggal di wilayah Singaraja, Kota Indramayu.
Sejak mulai bisa berjalan dan berbicara, Iis kecil tergolong sangat aktif dan cerewet. Setiap kali mendengar suara nyanyian di radio atau teve, ia langsung berlenggak-lenggok menari sembari mengikuti irama lagu. Berbeda dari teman-teman seusianya yang bercita-cita ingin menjadi presiden, dokter, atau insinyur, sejak kecil Iis dengan mantap selalu mengatakan ingin menjadi penyanyi. Jawaban itu tidak pernah berubah sampai akhirnya ia masuk sekolah SD, SMP, bahkan SMA.
Menurut Qomariyah, kegilaan Iis terhadap musik sudah dimulai sejak putrinya itu duduk di bangku kelas 4 SD. Hampir setiap hari Iis nongkrong sendirian di kamar, bahkan kadang-kadang menguncinya dari dalam. Tidak bosan-bosannya Iis mendengarkan kaset lagu-lagu dangdut terbaru saat itu, juga lagu-lagu pop terkenal, lalu ia catat liriknya. Pada masa itu, Elvie Sukaesih sedang naik daun, dan nama Evie Tamala baru mulai merambat naik. Dalam pesta perkawinan atau perayaan 17 Agustus, tanpa malu-malu Iis tampil naik panggung, menyumbangkan lagu dengan iringan organ tunggal.
Lama-kelamaan Qomariyah pun jengkel melihat ulah putrinya itu. Soalnya, dari hari ke hari kegiatan Iis hanya mendengarkan musik dan menyanyi. “Nok, tiap hari, kok, kerjamu begitu-begitu saja, sama sekali tidak mau membantu Mami memasak, menyapu, atau mencuci piring. Jangan hanya dengerin musik melulu!” Tapi, omelan Qomariyah tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Iis. Gadis remaja itu tetap saja asyik dengan kaset-kaset musiknya.
Untunglah, otak Iis lumayan encer sehingga ia tidak pernah tinggal kelas. Setiap pagi Iis sekolah di SD Negeri Kertajaya, tidak jauh dari rumahnya. Siangnya, setelah istirahat sejenak, ia langsung mengayuh sepeda menuju Madrasah Ibtidaiyah Bongas yang letaknya lumayan jauh, hingga pukul 4 sore. Di kampungnya, hanya Iis dan kakak-kakaknya yang belajar di madrasah itu. Setelah magrib, ia harus mengaji dan belajar sembari ditunggui ayahnya.
Pada hari-hari tertentu, Iis bersama kakak-kakaknya dikirim oleh guru SD atau madrasahnya untuk mengikuti berbagai lomba, baik tingkat kecamatan, bahkan kabupaten. Ada lomba menyanyi, menari, membaca Al-Quran, baca puisi, dan sebagainya. Setiap kali mengikuti seleksi, Iis bersama kedua kakaknya selalu tampil sebagai juara di sekolahnya. Alhasil, ketiganya pula yang dikirim untuk mewakili sekolah ke lomba-lomba tingkat kecamatan atau kabupaten.
SUKA PANJAT POHON
Iis merasa bersyukur lahir di kampung, mendapat pendidikan agama yang baik, dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan setempat. Seperti anak-anak perempuan pada umumnya, semasa kanak-kanak Iis dan kedua kakaknya sangat menyukai boneka. Oleh Qomariah mereka tidak dibelikan boneka dari toko, melainkan dibuatkan sendiri dari baju-baju bekas. Ketika sudah mulai agak besar, Iis membuat sendiri boneka-boneka dari lempung (tanah liat) yang dibentuk seperti bayi dan diberi baju dari kain-kain bekas.Pada kesempatan lain, Iis teman-temannya juga sering bermain di kali, ladang, atau memanjat pohon. Awalnya, Iis dan kedua kakaknya dilarang memanjat pohon oleh ayahnya. Tapi, karena hampir semua anak perempuan di kampungnya mahir memanjat, ketiga gadis kecil itu diam-diam belajar memanjati pohon-pohon tinggi setiap kali ayah mereka sedang di kantor.
Suatu hari, ketika tengah asyik memanjat pohon jambu di depan rumahnya, Iis mendengar suara skuter ayahnya. Ia pun buru-buru turun dan akhirnya terpeleset lalu terjatuh dari pohon itu. Anehnya, meski tangan dan sebagian tubuhnya terasa sakit, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi justru buru-buru kabur jauh-jauh ke rumah tetangga. “Daripada dimarahi Papi, lebih baik saya kabur, meski badan saya berdarah-darah,” ujarnya, tertawa.
Tapi, belakangan, sikap ayahnya agak melunak dan tidak lagi melarang gadis-gadis kecilnya memanjat pohon. Makmuri bahkan menyuruh membuatkan rumah-rumahan di atas pohon jambu itu. Di rumah pohon itulah Iis sering kali menghabiskan waktunya bersama kakak-kakak maupun teman-temannya, sambil makan rumbah (pecel) taoge dan rempeyek kacang hijau.
Qomariyah membenarkan bahwa sifat Iis semasa kanak-kanak sangat keras. “Kalau punya kemauan, harus dituruti. Kalau tidak, dia marah atau menangis berkepanjangan. Kalau dilarang papinya nonton musik atau sandiwara, misalnya, dia pasti akan nekat pergi. Begitu ayahnya tidur, ia langsung kabur. Anak-anak saya yang lain tidak mungkin berani berbuat senekat itu,” tutur Qomariyah, geleng-geleng kepala.
“Selain itu, Iis juga ingin selalu diistimewakan dibanding kakak-kakaknya. Kalau pakai sandal atau pakaian, tidak mau yang jelek. Kalau kepunyaannya sudah jelek, ia enak saja menyambar kepunyaan kakaknya. Kakaknya tentu saja marah sehingga akhirnya keduanya berantem. Selain itu, kalau dibelikan pakaian atau apa saja, ia selalu ingin yang bagus dan mahal. Akibatnya, kakak-kakaknya jadi iri,“ kenang Qomariyah, sambil tertawa. Tapi, lain di rumah, lain pula di tempat main. Di mata teman-temannya, Iis justru dikenal baik hati dan dermawan. “Dia selalu memaksa saya untuk memberinya uang banyak-banyak agar bisa mentraktir teman-teman mainnya. Atau, kalau disuruh belanja dengan uang yang agak besar, kembaliannya pasti dia habiskan untuk ngejajanin teman-temannya. Sejak dulu gayanya memang seperti bos!” Qomariyah tertawa geli.
Bersambung...
Tuesday, January 12, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment