SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN
Showing posts with label Desa. Show all posts
Showing posts with label Desa. Show all posts

Wednesday, April 28, 2010

Problematika Posisi dan Kelembagaan Desa

Problematika Posisi dan Kelembagaan Desa PDF Cetak
Ditulis oleh Mardyanto Wahyu Tryatmoko   
Senin, 22 Februari 2010 11:11
Setelah mendapatkan banyak tekanan dari masyarakat desa, pemerintah dan DPR berjanji akan membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Desa pada tahun ini. Persoalannya adalah apakah RUU tentang desa yang akan dibahas oleh pemerintah dan DPR dapat serta merta memberikan jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perangkat desa yang lebih baik dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Apakah UU (undang-undang) tentang desa yang baru akan mampu meredam tuntutan masyarakat desa yang beragam dari sisi kepentingan politik, ekonomi, dan budaya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, upaya minimal yang harus dilakukan pemerintah adalah mencermati dan memperbaiki kekurangan pengaturan tentang desa yang termuat di dalam UU 22/1999 dan UU 32/2004. Meskipun demikian, hal ini tidak mudah. Banyak persoalan substantif yang belum terpecahkan, dan bahkan banyak persoalan yang muncul akibat peraturan yang tidak sesuai dengan keberagaman desa. Persoalan utamanya adalah berbagai regulasi yang ada, belum mampu mendefinisikan posisi desa secara tepat dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Apakah desa akan diletakkan sebagai daerah otonom berdasarkan asal-usul, atau sebagai bagian integral dari wilayah pemerintahan kabupaten. UU 22/1999 dan UU 32/2004 menempatkan desa sebagai wilayah administrasi bagian dari kabupaten dan sekaligus memberikan kebebasan kepada desa untuk mengaktualisasikan hak asal-usul atau adat setempat. Ambivalensi posisi desa ini ternyata berdampak pada lemahnya kelembagaan desa, terutama di daerah yang masih memiliki adat yang kuat dan beragam. Kelemahan kelembagaan desa dapat dicermati dalam tiga parameter yaitu struktur pemerintahan, kewenangan, dan keuangan desa.

Struktur Pemerintahan Desa
Secara prinsip, desa adat dan desa administratif (contoh kelurahan) memiliki struktur birokrasi pemerintahan yang berbeda. Desa adat memiliki struktur birokrasi yang berbeda di setiap daerah. Mereka yang menjabat dalam kepemimpinan desa, umumnya diangkat dan diberhentikan atas dasar musyawarah, keturunan, atau kasta. Penggajian atau renumerasi biasanya diberikan kepada mereka dari sumber daya alam. Struktur birokrasi disusun berdasarkan urusan-urusan yang ada di desa.

Kondisi ini sangat berbeda dengan desa administratif atau yang lebih jelas dapat dicermati sebagai kelurahan. Di desa administratif, struktur birokrasi ditentukan oleh pemerintah di atasnya, sehingga status pegawai negeri sipil (PNS) dapat disandang oleh perangkat desa. Sangat wajar jika gaji diberikan oleh negara karena urusan lebih banyak berasal dari pemerintah atas.

UU 22/1999 dan UU 32/2004 mencoba menggabungkan antara desa adat dan desa administrasi, sehingga bangunan struktur birokrasi desa menjadi tidak jelas. UU 32/2004 mengatur desa dengan sangat aneh. Kepala desa dipilih secara langsung, sekretaris desa dijabat oleh PNS, dan perangkat desa lainnya diangkat oleh kepala desa dengan kedudukan (pelaksana teknis daerah dan unsur kewilayahan) yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Keganjilan ini merupakan kelemahan kelembagaan desa yang seringkali menimbulkan kecemburuan, ketidak-puasan dan bahkan konflik. Demonstrasi para perangkat desa yang menuntut status PNS merupakan contoh dari ketidakpuasan ini.

Akibat dari pemaksaan pencampuran kewenangan adat dan administrasi negara kedalam satu struktur birokrasi, pemerintahan desa tidak berjalan optimal. Bahkan di beberapa desa di Maluku Tenggara misalnya tidak memiliki perangkat desa yang utuh karena terhambat persoalan kasta. Di kasus lain, kepala desa yang notabene juga merupakan kepala adat sengaja menggunakan aturan yang ada untuk mendudukan anaknya sebagai sekretaris desa karena ada jaminan status PNS bagi kedudukan ini. Posisi ini jelas berpotensi konflik, setidaknya dapat mengganggu pemerintahan desa karena kecemburuan perangkat desa lainnya yang tidak memiliki status PNS.

Persoalan yang juga penting adalah masa jabatan lembaga-lembaga desa (kepala desa, BPD, dan perangkat desa). Di satu sisi, pemerintah memberi peluang terhadap mekanisme pemilihan, tetapi disisi lain pemerintah membatasi masa jabatan kades dan BPD. UU 22/1999 memberikan batasan sepuluh tahun untuk masa jabatan kepala desa, sedangkan UU 32/2004 membatasinya enam tahun. Kini perangkat desa menuntut sepuluh tahun masa jabatan Kades. Jika pemerintah juga mengakui kearifan lokal, tentu masa jabatan lembaga-lembaga ini tidak harus dibatasi. Setiap desa memiliki tradisi yang sulit diintervensi dan diseragamkan oleh Negara. Namun, jika pemerintah menghendaki pembatasan masa jabatan lembaga-lembaga ini untuk kepentingan urusan pemerintahan formal, harus dipikirkan mengenai solusi tempat bagi berlangsungnya kepentingan atau kewenangan adat. Jangan sampai rotasi jabatan pemerintahan administratif mengganggu keberlangsungan adat lokal.

Kewenangan (urusan) Desa
Berdasarkan hak asal-usul, tentu setiap desa memiliki kekhasan jenis kewenangan dan cara mengelola kewenangan itu. Namun, dengan dalih meningkatkan pembangunan nasional, pemerintah menjalankan urusannya hingga ke ranah desa. Akibatnya, perangkat desa tidak hanya mengurusi kewenangan aslinya tetapi juga menjalankan urusan kabupaten dan tugas pembantuan dari propinsi dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu perangkat desa merasa kewenangan yang dijalankannya terlalu besar, dan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.

Jika desa diposisikan sebagai kesatuan masyarakat adat, jenis kewenangan desa diserahkan kepada kebutuhan komunitasnya. Ini berarti pemerintah tidak perlu mengatur kewenangan kultural desa di dalam peraturan termasuk perda, bahkan dalam UU. Namun, jika pemerintah masih berkepentingan untuk meningkatkan pembangunan desa, harus ada penataan yang terpisah untuk lembaga yang menangani kewenangan administratif dan adat. Sudah saatnya pemerintah lebih mempertegas pengaturan kewenangan administratif, dan disesuaikan dengan desain struktur birokrasi formal beserta pembiayannya. Urusan adat tetap diakui tetapi pengorganisasiannya diserahkan kepada lembaga adat.

Keuangan Desa
Faktor keuangan desa merujuk kepada kemampuan masyarakat desa dalam mencukupi dan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Seperti dijelaskan dalam regulasi (UU dan PP), sumber ekonomi desa berasal dari kekayaan asli desa dan bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah (termasuk bagi hasil pajak dan retribusi kabupaten). Kenapa masyarakat desa menuntut pemerintah untuk mengalokasi anggaran sebesar 10 persen dari APBN langsung untuk desa? Ini karena dua alasan, yaitu keterbatasan masyarakat desa dalam menggali ekonomi di wilayahnya dan relatif rendahnya alokasi anggaran desa dari kabupaten.

Pemerintah tentu sadar bahwa desa masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Pemerintah juga semestinya menyadari bahwa kemampuan kabupaten untuk mengalokasikan anggaran kepada desa adalah sangat terbatas. Apalagi kemampuan setiap kabupaten berbeda. Ada kabupaten yang bertahan hidup dengan hanya bertumpu pada DAU (dana alokasi umum). Mustahil bagi kabupaten tertinggal semacam ini akan dapat memberikan alokasi anggaran kepada desa, terlebih biaya pilkades menjadi tanggungjawab kabupaten.

Jika desa masih ditempatkan menjadi bagian dari kabupaten, pemerintah harus memantau kemampuan kabupaten dalam menyediakan anggaran bagi desa. Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada desa berupa dana alokasi khusus (DAK) melalui kabupaten yang tidak mampu. Bantuan kepada desa melalui DAK ini harus diprioritaskan untuk memberdayakan masyarakat desa agar mampu menggali potensi sumber ekonomi desa dan sekaligus mengurangi ketergantungan desa terhadap bantuan dari pemerintah.

Satu hal penting lainnya adalah alokasi anggaran untuk kesejahteraan perangkat desa. Jika pemerintah kesulitan mengatur proporsi dan jumlah layak penghasilan aparat desa, sudah saatnya seluruh perangkat desa yang berurusan dengan administrasi pemerintahan dijabat oleh PNS. Selain untuk menghindari kecemburuan, kebijakan ini cukup adil memberikan kesejahteraan perangkat desa. Alokasi untuk gaji perangkat desa ini otomatis termasuk dalam DAU kabupaten/kota. Sedangkan gaji perangkat lembaga adat dialokasikan dari hasil pendapatan asli desa, jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan desa. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko) 
sumber :http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/230-problematika-posisi-dan-kelembagaan-desa

Wednesday, January 06, 2010

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMI 2002-2003
STRUKTUR POLITIK, ELIT POLITIK DAN POLITIK PERTANIAN DI PEDESAAN

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
Dosen : Dr. Iberamsyah
Oleh : Tongato
NPM : 0101186002
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
Jakarta, 23 November 2002

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
A. ANALISA STRUKTUR POLITIK DESA DAN KELURAHAN
Struktur politik desa dan kelurahan merupakan struktur politik paling rendah dalam bangunan politik nasional. Meskipun demikian, struktur politik desa dan kelurahan mempunyai peran penting dalam bangunan struktur politik nasional. Sebab, disitulah kehidupan politik riil ada dengan segala dinamikanya. Berikut ini akan dianalisa struktur politik desa dan kelurahan.
Struktur Politik Desa
Perkataan desa hanya dikenal di pulau Jawa. Ada beberapa penyebutan lain yang merujuk pada pengertian desa, yaitu dusun, kuta, gampong, nagari dan seterusnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) udik atau dusun; (3) tempat; tanah; daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.1
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1, yang disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Pasal 94, Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif, yakni menjalankan amanat masyarakat desa yang tertuang dalam Peraturan Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh kepala desa yang telah dipilih secara langsung warga masyarakat desa untuk masa jabatan 8 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangakat desa yang berstatus pegawai negeri, seperti sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepala lingkungan.
Badan Perwakilan Desa adalah wakil-wakil masyarakat desa yang berada di tiap rukun warga. BPD menjalankan tugas sebagai badan legislatif. Dalam Pedoman Umum Pengaturan Desa, Kepmendagri disebutkan bahwa parlemen desa (BPD) beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Mereka adalah pemuka agama, adat, orsospol, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPD ini berhak menyatakan diri sebagai wakil rakyat di daerah rukun ketetanggaannya.
Gambaran seperti ini jelas akan memunculkan masalah yakni ketika ada perbedaan pendapat yang tak bisa dipecahkan tentang suatu masalah. Kepala desa bisa mengatasnamakan rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga BPD. Hal itu dikarenakan angota BPD merupakan wakil rakyat yang dipilih. Dan masalah seperti ini akan diperumit lagi dengan adanya pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa BPD bisa “memecat” kepala desa. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan kepala desa sebetulnya belum sepenuhnya otonom.
Struktur Politik Kelurahan
Kalau pengertian desa merujuk pada suatu wilayah di pedalaman/luar kota, maka pengertian kelurahan lebih pada wilayah perkotan. Dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Ibukota Negara Republik Indonesia, Bab V, pasal 24 dan pasal 27 disebutkan bahwa pemerintah kelurahan terdiri dari Pemerintahan Kelurahan dan Dewan Kelurahan.
Pemerintahan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sebagai eksekutif pemerintahan. Dalam tugas sehariu-harinya, lurah dibantu perangkat kelurahan yang juga berstatus pegawai negeri. Lurah diangkat oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur. Kedudukan lurah cukup kuat. Ia tak bertanggung-jawab kepada Dewan Kelurahan, tapi kepada atasannya, yaitu camat, bupati/walikota dan gubernur.
Sementara itu, Dewan Kelurahan merupakan badan legislatif. Keanggotaannya adalah wakil-wakil masyarakat yang berada di tiap rukun warga. Fungsi Dewan Kelurahan adalah membantu lurah dalam menampung aspirasi warga, memberikan usul dan saran kepada lurah, menjelaskan kebijakan pemerintah, membantu dalam hal pemberdayaan masyarakat, termasuk juga mengajukan anggota dewan kota/kabupaten.2
Kedudukan Dewan Kelurahan dan Pemerintahan Kelurahan yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, lurah sebagai pegawai negeri, kedudukannya sangat kuat. Lurah bisa saja mengabaikan begitu saja saran atau usul Dewan Kelurahan terhadap suatu masalah yang kiranya akan merugikan kepentingannya. Ia tidak takut untuk “dipecat” karena ia berpedoman pada kepatuhan sebagai pegawai negeri yang harus tunduk kepada atasannya. Selain itu juga, Dewan Kelurahan tidak mempunyai kekuatan politik apa-apa seandainya saran atau usul kurang/tidak diperehatikan lurah. Dengan demikian, lurah sebetulnya berkedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di atasnya, ia tak harus tunduk pada dewan Kelurahan.
Sementara itu, tumbuh kesan bahwa keberadaan Dewan Kelurahan hanyalah sebagai “tempelan” saja. Dewan Kelurahan ada, namun tak mempunyai kekuatan politik dalm ikut menentukan jalannya pemerintahan kelurahan. Disisi lain, Dewan Kelurahan juga lemah kedudukannya karena tidak bisa menentukan anggaran pembangunan. Masalah anggaran sepenuhnya berada di tangan lurah. Pengawasan terhadap lurah dalam maslah anggaran juga tak bisa dilakukan. Sebab lurah hanya bisa bertanggung jawab kepada atasannya, bukan kepada Dewan Kelurahan. Dengan demikian, hadirnya Dewan Kelurahan yang dimaksudkan untuk kemandirian dan partisipasi masyarakat di era otonomi ini belum tercapai secara maksimal.
B. ANALISA PERANAN ELITE FORMAL DAN INFORMAL DESA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993) kata elite mempunyai dua pengertian, yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kelompok-kelompok elit ini sifatnya sangat heterogen.3 Mereka terdapat dalam komunitas agama, politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Kedudukan mereka sebagai ekit bisa berubah sesuai dengan situasi dan dengan siapa mereka mengadakan interaksi. Pola interaksi, akomodasi, konflik dan lain sebagainya.4
Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik , memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya.5 Mereka ini ada yang berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa, kepala hansip, ketua RW dan ketua RT. Sedangkan elite informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa.6 Mereka itu bisa kyai, guru, militer, orang kaya dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menganalisis peranan kepala desa sebagai elit formal dan kyai sebagai elit informal di pedesaan sebagai contoh.
Peranan Kepala Desa
Peranan kepala desa dalam struktur masyarakat desa sangat besar. Hal ini karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masyarakatnya masih bercorak paternalistik. Oleh karena itu apa yang dianggap baik dan benar, yang dianjurkan, yang dikatakan dan dilakukan oleh kepala desa merupakan pedoman dan contih langsung bagi “anak buahnya” untuk melakukan tindakan yang sama.7
Seorang kepala desa, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya. Kepala desa adalah patron bagi masyarakat desa. Agar kepala desa mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya, ia selau mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya secara geneologis dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam kasus pengaitan geneologis ini juga dilakukan dengan nenek moyangnya yang pernah menjadi kepala desa dahulu.8
Pengaitan secara geneologis ini dimaksudkan untuk memperkuat perannya dalam memegang kekuasaan dan wewenang. Sebab tanpa legitimasi tersebut, maka perannya sebagai pemimpin tertinggi desa akan hilang.
Selain dengan mengaitkan secara geneologis, kepala desa sejak tahun 1950-an juga memanfaatkan berbagai kekuatan sosial politik , seperti partai plitik. Semasa Orde Baru, demi tegaknya legitimasi kedudukannya, para kepala desa mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan Karya (Golkar). Oleh karena itu, tak aneh bila Golkar memperoleh kemenangan di hampir seluruh desa di Indonesia. Mereka mempunyai target kemenangan bagi Golkar di desanya.9 Ini nampaknya sebagai imbalan atas keterkaitannya dengan Golkar yang telah memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan.
Dalam proses pembangunan desa, peran kepala desa juga sangat besar. Menurut pengamatan Hofsteede (1992) terhadap peran kepala desa di 4 desa di Jawa Barat membuktikan hal itu. Para kepala desa yang diteliti menunjukkan bahwa mereka sebagai pengambil prakarsa dalam suatu proyek pembangunan. Mereka mendiskusikan dan seterusnya merapatkan dalam rapat desa untuk mengambil keputusan pelaksanaan suatu proyek.
Ada beberapa faktor yang menyebabakan peran kepala desa demikian besar, yaitu pertama, kepala desa dokebanyakan desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. Mereka bagaikan raja-raja kecil di desanya. Hal itu ditambah sikap masyarakat yang bersifat patenalistik.
Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil pemerintah di desa. Hal ini karena bupatilah yang membuat keputusan akhir dan memberi surat pengangkatannya, meskipun kepala desa dipilih oleh rakyat secara langsung.10
Peranan Kyai
Kyai merupakan sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang menguasai dan mempraktekkan ajaran agama Islam secara ketat. Kyai sebagai tokoh informal juga mempunyai peran yang sangat besar.
Peran utama kyai adalah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan fatwa agama tentang masalah keyakinan dan praktik keislaman masyarakat. Otoritas ini diperkuat dengan adanya masyarakat yang paternalistik dan hubungan antarkyai.11 Di desa-desa Jawa, para kyai mempunyai hubungan kuat dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini merupakan sarana mempromosikan kyai dalam kepemimpinan lokal bahkan nasional.
Selain itu, hubungan antarkayai yang biasanya tergabung dalam organisasi NU, para kyai dalam usaha menambah klaim kekuasaan dan wewenangnya adalah jamaah Islam. Semakin besar jumlah jamaah yang berada di belakangnya, maka semakin berpengaruhlah kyai tersebut.12
C. ANALISA POLITIK PERTANIAN DI DESA
Politik pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian. Ada dua metode dalam mempelajari politik pertanian,13 yaitu pertama, melalui analisa teknik ekonomi. Melalui teknik ini, kita dapat mempergunakan berbagai teori ekonomi untuk merumuskan politik pertanian, melaksanakan dan menilainya. Alat penilai yang paling sering dipakai dalam hal ini adalah analisis benefit-cost yang mudah dilakukan untuk memulai berbagai proyek-proyek investasi.
Kedua, melalui analisis kelembagaan. Artinya, politik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan dengan mana alokasi sumber daya terjadi dan diusahakan. Dalam definisi Tinbergen, politik pertanian macam ini termasuk politik pertanian kualitatif. Hal ini dikarenakan menyangkut perubahan lembaga.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mempergunakan analisis kelembagaan yang diterapkan terhadap politik beras sebagai salah satu bagian dari politik pertanian. Pemerintah melihat bahwa masalah perberasan merupakan masalah yang sangat vital. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Jika masalah beras ini tak dikelola secara baik, bisa saja hal itu menjadi isu politik yang mampu menggiyahkan sendi kekuasaan pemerintah.
Melihat begitu pentingnya masalah perberasan, maka pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) tahun 1969 yang mempunyai tugas utama melaksanakan politik beras.14 Sasaran utama Bulog adalah mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/padi, baik secara langsung melaui pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar bebas maupun melaui kebijakan stok beras.
Setelah mengeluarkan kebijakan mempertahankan harga maksimum dan minimum, pemerintah kemudian meletakkan kebijakan harga penyangga (support price) untuk memberikan perangsang pada petani padi. Hal ini dicapai antara lain dengan apa yang dikenal dengan rumus tani, yaitu satu kilogram pupuk ures dijual pemerintah kepada petani dengan harga yang sama dengan satu kilogram beras. Kebijakan ini ditanggapi positif para petani sehingga pada pertengahan tahun 1972 pemerintah bahkan merasa khawatir akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan terget produksi.
Kekhawatiran tersebut di atas ternyata tak terbukti, karena pada tahun yang sama terjadi kegagalan panen akibat kemarau panjang. Meskipun demikian, kebijakan peningkatan produksi beras lebih dikenal dengan Bimas (bimbingan massal) tetap berhasil meningkatkan produksi beras rata-rata 4,7% per tahun dalam Pelita I, walaupun harus diakui tidak sampai pada terjadinya swasembada beras.
Tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Pelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Saat itu pemerintah mengimpor beras (hampir 30% dari seluruh beras yang dipasarkan di pasaran dunia). Keadaan ini membuat pemerintah mengadakan perubahan kebijakn pada Pelita II. Sasrannya bukan lagi pada swasembada beras, akan tetapi swasembada pangan, yaitu dengan terutama berusaha mencapai terget pemenuhan kalori dan protein yang dapat dipenuhi dari berbagai bahan pangan seperti jagung, ketela, sagu dan tanaman kacang-kacangan. Disini titik tekan kebijakan pemerintah bukan lagi pada beras, tapi bahan pangan pokok secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut didasrkan pada realitas bahwa sebagian penduduk Indonesia makanan pokoknya ada yang non beras. Selain itun juga adanya potensi pangan yang besar di luar beras.15 Contohnya, Irian Jaya dan Maluku yang penduduk aslinya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Daerah-daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Jadi dsini yang penting adalah pemenuhan kalori yang dapat dipenuhi oleh makanan pokok selain beras. Masalahnya adalah di beberapa daerah yang makanan pokoknya non beras malah sulit memperoleh bahan makanan tersebut dibanding dengan beras. Selain itu sudah tercipta imej dalam masyarakat Indonesia bahwa makan beras identik dengan kemajuan. Masyarakat yang makanan pokoknya non beras dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan.***

Daftar Pustaka

Hofsteede, W.M.F., Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992

Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa. Yogyakarta: Media Pressindo, 2000

Mas’oed, Mohtar & Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991

Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987

Nurhadi, Robi, “Desaku Sayang, Kelurahanku,” makalah diskusi Program Pascasarjana Ilmu Politik UNAS, 2002

Prisma No. 10, Oktober 1982

Suhartono dkk., Politik Lokal, Yogyakarta: Lapera, 2001

Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999

Syamsuddin, Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998

Tholkhah, Imam, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001



1 Suhartono dkk. Politik Lokal. Yogyakarta: Lapera, 2001 h 9
2 Robi Nurhadi, “Desaku Sayang, Kelurahamku Malang” makalah presentasi di depan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS.
3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999 h. 76
4 M Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit dalam Perspektif Sejarah,” dalam M Mashur Amin et al. Kelompok Elit Dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jalarta: YIIS, 1988 h. 12
5 Gaetamo Mosca seperti dikutuip Robert D. Putman,”Studi Perbandingan Elit Politik,” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, l991 h. 77.
6 W.M.F. Hofsteede, Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 h. 47 – 48.
7 M Syahbudin Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, Yogyakarta: Media Pressindo, 2000 h. 19
8 Ibid h. 13 – 14.
9 Syamsuddin Haris, (ed.) Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998 h 166 – 167.
10 Prijono Tjiptoherijanto & Yumiko M. Prijono. Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983 h. 91.
11 Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, h. 78.
12 Ibid h. 78 – 79.
13 Mubyarto, Politik Pertanian & Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987 h. 69 – 70.
14 Uraian tentang politik beras dengan segala aspeknya dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari Mubyarto, op cit hal. 72 – 78.
15 M. Satari, “ Produksi Beras Masih Salah Arah,” dalam Prisma No. 10, Oktober 1982 h. 59 – 61.
 
POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

Friday, January 01, 2010

Demokrasi Lokal (di Desa) : Quo Vadis?


Irine H. Gayatri
Peneliti YAYASAN INTERSEKSI, Jakarta

Pengantar
Pada masa Orde Baru dengan alasan stabilitas politik untuk menunjang pembangunan nasional, desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Struktur pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No. 5/ 1979. Masa ‘reformasi’ merupakan titik tolak dari slogan kembali ke desa, yang menekankan pada pembaruan otonomi desa, yang ditandai oleh desentralisasi kekuasaan dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999. Dalam konteks ini, pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) dipandang mencerminkan berjalannya prinsip demokrasi desa. Namun tak lama muncul kecenderungan resentralisasi melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilatarbelakangi dengan perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa. Hal ini mengisyaratkan bahwa desa belum sepenuhnya otonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan ekonomi. Inti tulisan ini adalah ‘prospek demokrasi lokal di desa dengan berlakunya UU No. 32/2004 dilihat dari (1) aspek kelembagaan (pemerintahan) desa sebagai media perangkat politik pemerintahan desa melakukan praktek politik; dan (2) partisipasi rakyat desa terhadap proses politik dan ekonomi di desa.
Kata kunci: desa, dentralisasi, otonomi, demokrasi, sistem politik.
 
Demokrasi Lokal = Demokrasi Desa?
Konsep demokrasi secara umum mengandaikan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ide dasar demokrasi mensyaratkan keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung, yaitu pada entitas politik yang terkecil, desa.
Desa secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai ‘a group of houses and shops in a country area, smaller than a town’. [1] Istilah desa hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa misalnya di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa desa sangat beranekaragam,sesuai dengan asal mula terbentuknya area desa tersebut, baik berdasarkan pada prinsip-prinsip ikatan genealogis, atau ikatan teritorial, dan bahkan berdasarkan tujuan fungsional tertentu (semisal desa petani atau desa nelayan, atau desa penambang emas) dan sebagainya. [2] Desa atau nama lainnya, sebagai sebuah entitas budaya, ekonomi dan politik yang telah ada sebelum produk-produk hukum masa kolonial dan sesudahnya, diberlakukan, telah memiliki asas-asas pemerintahan sendiri yang asli, sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonomi, serta kebutuhan dari rakyatnya. Konsep desa tidak hanya sebatas unit geografis dengan jumlah penduduk tertentu melainkan sebagai sebuah unit teritorial yang dihuni oleh sekumpulan orang dengan kelengkapan budaya termasuk sistem politik dan ekonomi yang otonom.
Bagaimanakah konsep demokrasi tersebut diimplementasikan di tingkat desa?
Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial. [3] Ciri-ciri dari demokrasi desa antara lain adanya mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/ rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja) secara bersama-sama.
Dengan pengertian demokrasi desa seperti di atas, pada tataran realitas terdapat keterkaitan antara aspek ekonomi dan politik dalam konteks rakyat pedesaan. Misalnya di Jawa pada kurun waktu pasca revolusi kemerdekaan hingga 1960an, Moh. Hatta berpendapat, ‘di desa-desa yang sistem demokrasinya masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian (dari) adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi.” Ia juga menambahkan, “struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa”.[4] Perkembangan jaman menunjukkan desa-desa di Jawa mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kemampuan adaptasi desa terhadap tekanan eksternal, misalnya migrasi penduduk, atau terhadap bentuk proyek kebijakan ekonomi dan politik lainnya.
Saat ini, demokrasi (lokal) dan desentralisasi, merupakan dua isu utama dalam statecraft Indonesia pasca Orde Baru. Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[5] Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa[6]; maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat; mendorong parlemen desa berfungsi sebagai badan perwakilan dan intermediary agent (dalam aspek artikulasi dan agregasi kepentingan, formulasi kebijakan serta kontrol terhadap eksekutif desa); serta memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.
Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada tingkat desa menekankan pada aspek kelembagaan desa, pembagian peran serta berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa.
 
Kelembagaan Politik Desa
Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal. Peran penting desa ini disadari oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83, yaitu aturan hukum yang memberikan ruang bagi desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk pengakuan hak-hak budaya desa, sistem pemilihan kepala desa, desentralisasi pemerintahan pada tingkat desa, parlemen desa dan sebagainya. [7]
Pada masa ini penduduk ‘pribumi’ diperintah secara langsung oleh penguasa pribumi, dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda. Sistem pemerintahan berdasarkan ras ini berlangsung hingga 1942, dengan penguasa pribumi memegang jabatan mulai dari karesidenan, kawedanan hingga tingkat kecamatan, dan membawahi kepala desa. [8] Hal ini sesuai dengan skema dimana pemerintah kolonial melakukan penguasaan sumberdaya dengan ‘memegang’ elite politik lokal, meskipun demikian secara tradisional struktur pemerintahan ini bersifat otonom. Strategi ‘indirect rule’[9] melalui elite lokal ini juga berlangsung di luar Jawa, semisal di Sumatra (Aceh, Medan, Palembang) yang memudahkan pemerintah kolonial mengekspoitasi sumberdaya alam dan manusia untuk kepentingan perdagangan internasionalnya.
Sedangkan, proyek politik untuk menata pemerintahan negara Indonesia pada kurun waktu paska kemerdekaan, dilakukan dalam konteks penataan institusi pemerintahan di daerah, tetapi masih dalam bingkai negaraisasi, memperlakukan desa dalam wawasan pemerintah pusat. Bagaimana hal ini direfleksikan dalam praktek berlakunya UU tersebut, dan bagaimana pengaruhnya pada pemerintahan asli desa?
Pada masa rejim Orde Baru yang berkarakter represif secara politik untuk mendukung ‘pembangunan ekonomi’, aktivitas ekonomi desa terseret dalam pusaran modernisasi sektoral, yang menyebabkan penciutan lahan pertanian untuk pembangunan pabrik, ekploitasi hutan untuk kepentingan ekspor kayu, dan alih profesi para petani tradisional menjadi buruh pabrik atau pekerja tambang. Penekanan terhadap stabilitas politik untuk mendorong laju ekonomi ini dalam penataan pemerintahan diwujudkan dalam UU No. 5/1979 yang berwawasan ‘kontrol’.
Dengan mengartikan desa sebagai konsep administratif, maka desa terletak di bawah struktur pemerintahan kecamatan. Kepala desa dan dewan desa bertanggungjawab kepada pemerintah supra desa, bukan kepada warga, sehingga desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat. Akibatnya terjadi kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa. Desa tidak ubahnya sebagai mesin birokrasi kepanjangan dari birokrasi negara. Pasal 3 UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), yang merupakan lembaga musyawarah atau permufakatan antar elite pemerintahan desa dengan tokoh masyarakat desa. Secara praktis, UU tersebut mengesahkan posisi dan fungsi kepala desa sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai ketua LMD. Selain LMD, terdapat juga LKMD (lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang No. 28/ 1980 dan dikukuhkan oleh Instruksi Mendagri No. 4/ 1981 yang berfungsi sebagai koordinator pelaksanaan proyek pembangunan desa. Keanggotaan LKMD seperti halnya LMD terdiri dari para elite desa yang cenderung dekat dengan kepala desa, sementara pembentukan pengurus LKMD harus disetujui oleh kepala desa, camat, dan bupati atau walikota untuk disahkan.Oleh karenanya baik LKMD maupun LMD tidak bisa menyuarakan pandangan kritis terhadap kepala desa.
Untuk menjaga ‘loyalitas’ dari kalangan masyarakat desa, ‘pesta demokrasi’, yang dikomandoi oleh para ‘klien negara’ di desa, diselenggarakan secara periodik diadakan lima tahun sekali. Desa menjadi sumber untuk mobilisasi dukungan terhadap partai-partai politik. Secara perlahan, dengan praktek ekonomi dan politik seperti di atas, otonomi asli dan masyarakat hukum yang otonom semakin menghilang.[10]
Pada masa reformasi, dalam kerangka desentralisasi politik dan demokratisasi maka ketentuan tentang pemerintahan desa disesuaikan dengan keanekaan kekhasan sosial, budaya dan ekonomi desa. Ruang politik yang semakin terbuka juga ditandai oleh munculnya asosiasi-asosiasi kemasyarakatan desa serta seruan dari berbagai pihak untuk menghidupan kembali struktur pemerintahan adat.
Di Aceh, misalnya, terdapat pola struktur pemerintahan nanggroe yang federatif menggambarkan tingkatan-tingkatan mulai dari unit terendah setingkat desa yaitu gampong, kemudian struktur di atasnya yaitu mukim (federasi gampong), federasi mukim yaitu sagoe dan strata pemerintahan teratas yaitu nanggroe. Setiap elemen ini memiliki perangkat pemerintahan sendiri yang dapat dipersamakan dengan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada masa kini, (dalam konteks desentralisasi, dan khususnya sebagai bagian dari proses resolusi konflik antara pihak RI dan GAM), UUPA No. 11/ 2006 mengakomodasi kembalinya format otonomi asli pemerintahan Aceh tersebut. Pada tataran implementasinya, kabupaten-kabupaten di Aceh mengeluarkan qanun atau peraturan daerah untuk menjadi dasar pembentukan lembaga daerah sampai tingkat gampong. Di Kalimantan Tengah, pemerintah daerah mengakomodasi struktur pemerintah adat ‘kedemangan’ dalam struktur pemerintahan modern berdasarkan UU No. 22/1999. Di Sumatra Barat, dikenal sebutan ‘nagari’ yang tingkatan sistem pemerintahannya hampir serupa dengan Nanggroe, demikian juga dengan fungsi perangkat pemerintahannya. Harus diakui bahwa satu keutamaan reformasi adalah keberhasilan mengakomodasi dan ‘menyesuaikan’format pemerintahan asli ini ke dalam penyelenggaraan negara, meskipun masih banyak kekurangannya di sana-sini.
UU No. 22 Tahun 1999 pada intinya menerapkan kerangka desentralisasi politik, yang ditandai oleh pembatasan kekuasaan pusat dan pemberian otoritas yang lebih luas kepada pemerintah daerah [11]. UU No. 22/1999 menjadi prinsip utama untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan keberadaan BPD, serta adanya pemberdayaan peran dan fungsi parlemen daerah, [12] untuk tujuan meningkatkan demokratisasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik rakyat. Pemerintahan desa dalam UU No. 22/1979 diatur dalam pasal-pasal 93 hingga 111. Dalam pasal 95, pemerintah desa- atau disebut dengan nama lain- terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. [13] Pasal 104 mencantumkan keberadaan BPD (Badan Perwakilan Desa) yang befungsi sebagai pengayom adat istiadat, pembuat peraturan desa (perdes), penampung dan penyalur aspirasi masyarakat, serta pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, dimana kepala desa harus bersama-sama BPD menjalankan fungsi administrasi, anggaran dan pembuatan keputusan desa.[14] Dari aspek keanggotaan, Pasal 105 mengatur bahwa anggota BPD sebagai wakil rakyat desa dipilih dari dan oleh masyarakat desa. Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan dalam Pasal 102 diatur bahwa kepala desa melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada bupati.
Namun demikian, tidak semudah itu menerapkan konsep-konsep ideal demokrasi sesuai dengan UU No. 22/1979. Seperti disampaikan di muka, keberagaman latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di daerah-daerah di Indonesia menjadikan corak kelembagaan pemerintah desa pun menjadi beragam. UU No. 22/1999, yang substansinya mendukung keanekaragaman dalam masyarakat desa, ironisnya, tetap ‘menyeragamkan’ struktur pemerintahan desa. Dalam prakteknya, konsep pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU ini ‘dipertemukan’ dengan sisa-sisa pola patron-klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa Orde Baru. Belum lagi faktor-faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah. Secara khusus, idealnya para pembuat keputusan mengenai pemerintahan desa harus mempertimbangkan pengaruh dari apa yang oleh kalangan pengamat politik pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia adalah ‘masyarakat transisi yang permanen’[15], karena tidak lagi tradisional sepenuhnya, namun juga belum bergerak ke arah ‘masyarakat modern’ (dalam pengertian modernisme Barat yang menekankan pada asas rasionalitas dan individualisme).
Sehingga, jika alasan tersebut di atas dapat dipahami oleh para pembuat keputusan, maka solusi terhadap praktek demokrasi yang hanya terjadi di tingkat prosedural-- artinya demokrasi hanya sebatas aspek prosedur, namun tidak diikuti oleh proses politik yang mencerminkan perilaku atau budaya demokratis-- tidak hanya sebatas dengan keluarnya peraturan baru yang dampaknya tambal sulam. Para pengambil keputusan seharusnya memahami latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di pedesaan, dan kemudian menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai variabel penentu dalam penataan pemerintah desa, baik dari aspek kelembagaan maupun pranata desa, yang sesuai dengan asas demokrasi.
Sebagai contoh, terdapat kasus di beberapa daerah dimana anggota BPD, yang terpilih secara demokratis, menggunakan akses komunikasi politik langsung ke Bupati untuk menjatuhkan kepala desa, yang tidak lagi memainkan peran sentral dalam perpolitikan desa. Ada kalanya, untuk memuluskan pencapaian tujuan kepentingan politik atau ekonomi, kades juga dapat berkolaborasi dengan BPD (kolusi) sehingga tidak lagi mengawasinya.[16] Pemilihan kepala desa dan BPD juga seringkali diwarnai oleh isu politik uang atau intrik politik lainnya, yang diikuti pula dengan kecenderungan anarkisme dari massa pendukung yang tidak puas. Hal ini berarti bahwa suatu sistem demokrasi tidak bisa berlangsung tanpa adanya jaminan penegakan hukum oleh Negara di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elite politik ) di pihak lain.[17] Perbedaan budaya di antara warga juga seringkali disikapi dengan kekerasan sebagaimana jaman penjajahan atas dalih ‘rust en orde’, dan malangnya, ini dilakukan oleh sesama warga Negara.[18]
Meskipun terdapat fenomena negatif dalam praktek politik seperti di atas, upaya demokratisasi di desa-desa memang memerlukan proses yang panjang, sebab terjadi transformasi besar-besaran pada dua aras yaitu pertama, pola berpikir dan praktek politik para elite desa, dan kedua, pada internal masyarakat desa sendiri, dalam konteks transisi politik sejak 1998. BPD saja baru terbentuk kurang dari 5 tahun (terhitung sejak 2004), sudah tentu memerlukan waktu untuk sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai Badan Perwakilan Desa. Masyarakat desa memerlukan ‘perenungan’ atau penyesuaian terhadap mekanisme pemilihan langsung wakil-wakilnya, setelah sekian lama terbiasa dalam proses politik yang serba ditentukan dari atas. Sesungguhnya kurun waktu antara 1999 hingga 2004 inilah periode penting untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi (baik ‘asli’ maupun ‘demokrasi Barat’) dalam praktek politik desa yang peluangnya ada di tangan organisasi non pemerintah, masyarakat desa, serta pelbagai pemangku kepentingan di desa.
Maka, upaya untuk mengintrodusir demokrasi di tingkat desa, dengan memperkuat kapasitas masyarakat akar rumput di desa menjadi percuma ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 32/2004 yang cenderung mengembalikan kekuasaan di tangan kepala desa dan mencabut peran badan perwakilan desa, dan sekali lagi, menyeragamkan struktur kelembagaan pemerintah desa. UU 32/2004 tersebut keluar dengan latar belakang dominannya perspektif resentralisasi pemerintah pusat (depdagri), selain adanya anggapan bahwa kecenderungan konfliktual antara BPD dan kepala desa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Tampaknya pemikiran bahwa desentralisasi politik hanya melahirkan konflik politik dan akibat negatif lainnya masih mendominasi pemerintah pusat, padahal yang perlu dipertimbangkan oleh mereka adalah bahwa reformasi politik mengandung konsekuensi tampilnya diskursus-diskursus baru (pembaruan diskursus) dalam politik desa, termasuk konsep demokrasi, yang memerlukan proses penyesuaian dalam prakteknya oleh masyarakat desa dan elite politik desa. Tak pelak lagi, ‘gerakan resentralisasi’ oleh pemerintah pusat menyebabkan desa kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara lewat kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai kebijakan negara.
Sebagai peraturan pelaksanaan UU No.32/2004 diterbitkanlah PP No. 72 /2005 yang memuat beberapa perubahan penting berkaitan dengan peran ‘Badan Permusyawaratan Desa’ sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa; serta tentang peran dan kedudukan kepala desa. Pasal 29 PP menegaskan bahwa ‘kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa’ artinya posisi BPD berada di bawah eksekutif. Sementara pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian ‘pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa’. BPD dikurangi kedudukan dan perannya dari fungsi badan legislatif menjadi ‘badan permusyawaratan’; disamping itu keanggotaan BPD yang awalnya dalam UU No. 22/1999 dipilih secara demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara ‘musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah’. [19]
Kecenderungan ‘pemusatan kembali ke atas’ dalam pertanggungjawaban kepala desa sangat tampak dalam pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 yang menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati atau walikota; sedangkan tanggung jawab kepala desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan mereka hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada rakyat.[20] Tentu saja ini berarti tidak ada lagi fungsi check and balances sebagai prinsip demokrasi dalam pola hubungan antara BPD dan kepala desa; serta hubungan BPD dengan lembaga supra desa. Bahkan, terdapat kontradiksi antara pasal 15 ayat (2) PP yang mengatur bahwa ‘BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa’, dengan pasal 35 (b) PP tentang desa. Meskipun pada pasal 35(c) PP tentang desa disebutkan bahwa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada bupati/walikota, namun jika mengacu pada pasal 15 (2) PP Desa di atas, terlihat ambivalensi pengaturan kewenangan pengawasan BPD. [21]
Selain sentralisasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, perencanaan pembangunan desa pun disesuaikan dengan perencanaan pembangunan nasional. Artinya, desa tidak lagi memiliki otonomi untuk mengatur pembangunan ekonominya sendiri. Pasal 63 PP Desa menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota; sedangkan pasal 150 UU No. 32/2004 menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Singkatnya, PP itu tidak menawarkan rumusan untuk memperkuat demokrasi di desa, malahan melemahkannya dengan mengembalikan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa, dan ‘mempreteli’ fungsi dan wewenang BPD, selain melemahkan otonomi pembangunan desa.

Kerja ke Depan
Untuk konteks negara Indonesia yang tengah melakukan eksperimen politik sejak kemerdekaannya tahun 1945, desa masih dipandang setengah mata sebagai wilayah yang memiliki demokrasi asli dan otonomi sendiri, meskipun beberapa di antaranya sebelum masa kolonial sudah memiliki ‘otonomi asli’. [22] Penerapan ‘otonomi daerah’ ala UU No. 32/2004) yang menekankan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, dengan demikian mengesampingkan posisi desa sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan negara. Padahal dalam kerangka UU No. 22/1999, demokrasi pada tingkat desa sedang mulai tumbuh, dan dapat memperkuat kehidupan demokrasi di kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya negara. Keluarnya UU ini cenderung menghasilkan democratic defisit atau kegagalan sistem demokrasi (yang telngah dirancang) untuk berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Mencermati narasi di atas tampaklah bahwa kecenderungan penyeragaman, resentralisasi[23], dan pembentukan lembaga baru oleh pemerintah pusat terhadap pemerintahan desa masih tetap dominan, sebagaimana ditampilkan oleh UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Beberapa persoalan pokok yang ditampilkan oleh UU no 32/2004 adalah masalah keterwakilan masyarakat desa dalam lembaga BPD dan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan desa. Dengan kondisi sedemikian, bagaimana nasib demokrasi desa? Mesti ada mekanisme yang diciptakan, berbasis jaringan antar komunits, untuk memberikan perlindungan dan penguatan lembaga-lembaga asli desa, penguatan kapasitas politik kelembagaan desa yang mencerminkan asas keterwakilan rakyat desa yang hakiki, serta upaya untuk memperkuat ekonomi desa.

Referensi
Cahyono, Heru, dkk., Konflik Elite Politik di Pedesaan, (Yogya: Pustaka Pelajar, 2005).
Cahyono, Heru (ed.), Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, (Jakarta: LIPI, 2006)
Chabal, Patrick, and Jean Pascal-Daloz, Culture Troubles, Politics and The Interpretation of Meaning, (London: Hurst & Co., 2006).
Collin, P.H. Dictionary of Politics and Government, (London: Bloomsbury, 2004),
Haris, Syamsuddin. Demokrasi Desa, Perlukah Diatur?, kertas kerja, 2006.
Hidayat, Syarif. Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000)
Reid, Anthony (ed.), Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem, (Singapore: NUS Publishing, 2006)
Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983)
KOMPAS, Selasa, 03 Mei 2005, PNBK Ajukan Hak Uji UU No 32/2004
WASPADA, 8 April 2007, UU No 32 Halangi Calon Independen
Pikiran Rakyat, 22 April 2005, UU 32/2004 Mengulang Orba



* Makalah untuk diskusi Perkumpulan INISIATIF, Bandung, 16 April 2007.

[1] P.H.Collin, Dictionary of Politics and Government, (London: Bloomsbury, 2004), hal.257.
[2] Heru Cahyono (a) (ed.), Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, (Jakarta: LIPI, 2006), hal.
[3] Ibid.
[4] Prijono Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983), hal. 17-18.
[5] Syarif Hidayat, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000)
[6] Tim Lapera, Otonomi versus Negara: Demokrasi di Bawah Bayang-Bayang Otoriterisme, (Yogya: Lapera Pustaka Utama, 2005), hal. 153.

[7] W. Riawan Tjandra,” Desa, Entitas Demokrasi Riil”, dalam Kolom Demokrasi Desa http://www.forumdesa.org/mudik/mudik6/kolom diakses pada 5 April 2007

[8] Agus R. Rahman, “Sejarah Perkembangan Demokrasi Desa di Indonesia”, dalam Heru Cahyono (a), ed., ibid., hal. 65-106.
[9] Di Aceh, misalnya, penguasa territorial dari kelompok elite keturunan bangsawan yang disebut uleebalang, selain merupakan tangan kanan sultan juga dikenal dekat dengan Belanda posisi mereka yang secara politik, kultural dan ekonomi strategis.Lihat, Rodd McGibbon, “Local Leadership and the Aceh Conflict”, dalam Anthony Reid, (ed.), Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem, (Singapore: NUS Publishing, 2006), hal. 318-319.
[10] Heru Cahyono (b), dkk., Konflik Elite Politik di Pedesaan, (Yogya: Pustaka Pelajar, 2005), hal.340.
[11] Lihat Pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999
[12] Lihat pasal 14, UU No.22/ tahun 1999, juga pasal-pasal 18, 19, 20 dalam UU No.22/1999 memperlihatkan besarnya peran DPRD sebagai ujung tombak demokratisasi pada tingkat lokal., yang idealnya membawa perbaikan bagi transparansi dan akuntabilitas di daerah.
[13] Heru Cahyono(b), (ed).ibid., hal. 3-5.
[14] Op.cit.
[15] Clifford Geertz, Agricultural Involution and 1965, The Social History of an Indonesian Town,
[16] Cahyono (b), op.cit.
[17] Syamsuddin Haris, Demokrasi Desa, Perlukah Diatur?, kertas kerja seminar FPPM, tt, 2006.
[18] Ibid.
[19] W. Riawan Tjandra, ibid.
[20] Op.cit.
[21] Tjandra, ibid.
[22] Mengenai sejarah demokrasi desa-desa sebelum era kolonial, termasuk masa Kerajaan baca selengkapnya pada Agus R. Rahman, “Sejarah Perkembangan Demokrasi Desa di Indonesia”, dalam Heru Cahyono (a), ed., ibid., hal. 65-106.
[23] Pikiran Rakyat, 22 April 2005, UU 32/2004 Mengulang Orba