SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN

Friday, October 29, 2010

Menjawab Kegelisahan Perangkat Desa

Perjuangan Perangkat Desa untuk menuntut persamaan nasib dengan rekan sejawatnya yaitu Sekretaris Desa yang telah lebih dahulu diangkat PNS berdasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sering mendapat kritikan, hambatan dan gangguan. Kritikan, hambatan dan gangguan yang dilontarkan atau dilakukan oleh pihak di luar Perangkat Desa dan lebih dikarenakan belum adanya kesamaan pandangan dan pengertian perjuangan perangkat desa.

Tulisan ini mencoba memberikan jawaban kegelisahan dan kegundahan dari para pihak yang kurang sependapat karena mungkin kurang mengerti dan memahami perjuangan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI). Beberapa pernyataan dan pertanyaan yang sempat terlontar, akan saya coba untuk memberikan penjelasannya.

PPDI Mimpi dan Melakukan Pembohongan
  • Tidak ada mimpi harus dilakukan oleh setiap orang untuk mencapai sebuah harapan sebuah perbaikan dari kondisi yang diterima saat ini. Si miskin bermimpi untuk kaya, si papa bermimpi untuk berdaya, buruk rupa bermimpi untuk cantik jelita. Mimpi mimpi itu pasti sekedar mimpi bila tidak dilakukan usaha untuk meraihnya. Dulu kita selalu katakana bermimpi kalau orang bisa mencapai rembulan, tetapi dengan usaha keras dan cerdas dari para pemikir antariksa, sekarang apabila kita mempunyai dana dan kesiapan fisik serta mental, wisata ke bulan pun dapat dilakukan. Jadi sampai saat ini memang benar, Perangkat Desa diangkat PNS adalah mimpi, tetapi dengan kerja keras dan cerdas serta tentunya Tuhan mengijinkan, maka Perangkat Desa menjadi PNS bukanlah mimpi belaka.
  • Pembohongan, sering dilontarkan oleh para pihak atas perjuangan PPDI. Sejauh yang saya tahu dan Alhamdulillah, dengan adanya media teknologi informasi yang semakin mudah dan murah, maka dapat saya pastikan tidak ada usaha pembohongan atas kerja PPDI selama yang saya ikuti. Semua informasi capaian adalah sebuah realitas dan dapat dilihat bukti kongkritnya. Mungkin akan benar menjadi pembohongan bila PPDI mengatakan Perangkat Desa “pasti” diangkat PNS, karena belum secara legal formal Undang Undang itu menyebutkan. Oleh karenanya, Perangkat Desa diangkat PNS adalah sebuah usaha besar dan berat bagi PPDI, bukan pembohongan oleh PPDI.
Pemerintah Tidak Akan Mampu Mendanai
  • Kita kadang memandang begitu besar biaya yang harus ditanggung APBN atas pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS, sementara dari hasil audiensi dengan Departemen Keuangan dengan Direktur EPIKD dan Kasudit Evaluasi Keuangan Daerah (Bapak Putut) Rabu Pagi, 22 September 2010, menyangkut usulan PPDI untuk Perangkat Desa diangkat PNS, telah dilakukan simulasi penghitungan beban APBN yang dimiliki oleh Pemerintah.
  • Dalam simulasi yang diperkirakan kebutuhan untuk mengangkat Perangkat Desa menjadi PNS adalah sebesar Rp 12 Trilyun, pihak EPIKD memberikan gambaran bahwa dana itu bisa dianggap besar, bisa juga dianggap kecil. Hal ini dari kondisi keuangan negara yang memiliki APBN senilai Rp 1.300 Trilyun, sebenarnya pemerintah hanya bisa menggunakan anggaran dengan leluasa lebih kurang 10% yaitu Rp 130 Trilyun, dimana sudah masuknya anggaran yang 90% untuk subsidi BBM, Pendidikan, pembayaran utang, transfer daerah, belanja pembangunan, dan lain lain. Jadi dengan kata lain asal ada kemauan politik, anggaran negara mampu untuk mencukupi pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS.
Adat Istiadat dan Otonomi Desa Akan Hilang Ketika Perangkat Desa Diangkat PNS
  • Hilangnya adat istiadat atau otonomi desa bukan disebabkan oleh pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS. Hilangnya sebuah adat istiadat hanya terjadi karena kehendak bersama dari masyarakat desa itu sendiri. Keengganan melakukan adat dan tradisi bisa juga disebabkan oleh kesadaran atas tidak tepatnya tradisi itu dipertahankan atau hal lain. Seumpama adat potong ruas jari ketika ada keluarga meninggal dunia di Papua, pembelajaran bersenggama bagi pengantin pria yang dilakukan oleh seorang perempuan yang disebut Gowok di Banyumas, adalah contoh adat yang hilang atas kesepakatan masyarakat. Bahkan dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi yang dalam hal ini seluruh pejabatnya PNS di luar Kepala Daerahnya ada yang sadar dan mampu menghidupkan kembali adat tradisi dengan anggarannya meski terkadang hanya dijadikan agenda wisata. Jadi Perangkat Desa diangkat PNS atau tidak, tidak ada kaitannya dengan hilangnya adat.
  • Desa dahulu adalah wilayah yang merdeka (perdikan), dimana desa mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dan Kepala Desa tidak diatur dalam masa jabatan tertentu, sampai sampai dulu Kepala Desa di Jawa sering disebut ”Bupati Cilik” karena otorisasinya yang besar atas wilayahnya. Ini semua sudah hilang.
  • Mochammad Hatta dalam Kongres Pamong Praja di Solo tahun 1955 melontarkan pandangann yang dikenal sebagai Konsepsi Hatta Tentang Otonomi. Bung Hatta mengatakan bahwa sebaik-baiknya otonomi apabila diletakkan pada Kabupaten/Kota serta Desa, sedangkan Provinsi bersifat administratif belaka. Pemikiran Hatta untuk memperkuat Desa tidak lepas dari kenyataan bahwa Desa pada masa itu merupakan tempat kehidupan dan penghidupan masyarakat. Dengan memperkuat Desa berarti mendekatkan pelayanan Pemerintahan pada unit yang terdekat dengan masyarakat.
  • Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi Nomor 7 yang menekankan adanya otonomi bertingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Desa atau dengan nama lain yang sejenis. Isi selengkapnya dari rekomendasi Nomor 7 yaitu sebagai berikut : Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya.
  • Jadi sebenarnya di Indonesia telah menyepakati otonomi Desa, atau daerah otonom tingkat III, dan bila konsep otonomi desa ini diberlakukan maka seluruh Perangkat Desa (Kepala Desa tidak termasuk di dalamnya) merupakan sepantasnya dan tepatnya diangkat PNS. Jadi tuntutan Perangkat Desa untuk diangkat PNS justru menjadi salah satu alat dorong untuk menuju Desa bisa menjadi otonom/ dan konsep otonomi tingkat III dapat dimulai.
Indonesia Akan Menjadi Negara PNS
  • Adanya pandangan bahwa pengangkatan ratusan ribu Perangkat Desa menjadi PNS akan membuat Indonesia menjadi negara PNS, menurut saya agak berlebihan. Tahun ini Kemendagri sedang menyelesaikan masalah rasio PNS. Untuk menentukan rasio ideal, tak bisa semata-mata dilihat jumlah PNS dengan penduduknya tetapi juga luas wilayah suatu daerah, termasuk aksesabilitas dan transportasi. Setelah adanya rasio ideal daerah yang ditetapkan, maka kita baru bisa melihat apakah Perangkat Desa diangkat PNS menjadikan rasio PNS terlalu tinggi atau tidak.
  • Dalam konsepsi reformasi birokrasi yang diterapkan, salah satu yang akan dilaksanakan adalah Minimal Structure dan Maximal Function di tingkat Pusat. Untuk tingkat daerah dan Desa pastilah disesuaikan dengan kebutuhan melihat pada kondisi jumlah penduduk, luas wilayah dan aksestabiltasnya. Jadi jangan serta merta menghakimi bila Perangkat Desa diangkat menjadi PNS, Indonesia menjadi negara PNS.
Desa Akan Berubah Menjadi Kelurahan
  • Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan kelurahan dalam hak mengatur wlayahnya sangat terbatas, salah satunya tidak lagi dikenal hak asal-usul dan adat istiadat. Desa dapat berubah menjadi Kelurahan dengan kesepakatan dari warga masyarakat.
  • Dengan Perangkat Desa diangkat menjadi PNS tidak otomatis Desa berubah menjadi Kelurahan, karena pimpinan wilayah masih Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat. Perubahan menjadi Kelurahan apabila Kepala Desa diangkat menjadi PNS atau diisi PNS dan menjadi Kepala Kelurahan.
Semoga catatan kecil ini bisa memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana memahami semangat Perangkat Desa untuk diangkat PNS. Beberapa pertanyaan lain yang sempat ada beredar akan coba saya berikan penjelasan dari prespektif saya sebagai penasehat PPDI.


Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat PPDI

Koleksi Foto : Solichin   (PPDI Purworejo)

Sunday, June 13, 2010

Menuju Otonomi Rakyat Desa

Menuju Otonomi Rakyat Desa

(Catatan dari Workshop Teknik Pembuatan Peraturan Desa) 

ABPEDSI sebagai agen Pembaharuan Desa
Indramayu memiliki 303 desa dan 8 kelurahan yang tersebar di 31 Kecamatan. Otonomi Desa yang merupakan amanat dari Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 semestinya dijalankan sesuai dengan maksud yang terkandung didalamnya. Kenyataanya, Otonomi Desa masih sebatas wacana belaka. Kini saatnya Otonomi Desa dijabarkan ditingkat lapangan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Caranya? Sudahi wacana!!! Mari kita bekerja!!! Bekerja untuk Pembaharuan Desa.

Tanggal 2 Juni 2007 dilangsungkan Workshop Tekhnik Pembuatan Peraturan Desa bertema : ”Penguatan Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Mewujudkan Kemandirian Pemerintahan Desa” diselenggarakan DPD ABPEDSI (Assosiasi Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia) Kabupaten Indramayu bekerja sama dengan Rempug Wong Dermayu (RWD) bertempat di Aula Islamic Centre Indramayu. Acara ini dibuka oleh ASDA I Setda Pemkab Indramayu dengan diikuti 26 orang anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) utusan dari Perwakilan Kecamatan se-Wilayah Kabupaten Indramayu. Ketika memberikan sambutannya, ASDA I menyatakan :

“Di Era dibukanya kran demokrasi, partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran meningkat cukup signifikan, Badan Permusyawatan Desa (BPD) sebagai terminal aspirasi masyarakat desa di tingkatan Pemerintahan Desa semestinya bisa berfungsi secara efektif dan mampu menterjemahkan kemauan masyarakat untuk usaha membangun desanya“.

Sementara Saefudin, BA (Ketua ABPEDSI Kab. Indramayu) mengatakan bahwa acara workshop ini merupakan kepedulian ABPEDSI dan RWD Kabupaten Indramayu yang diharapkan mampu mendorong setiap anggota BPD untuk memiliki persepsi yang sama dalam mewujudkan Otonomi Desa menuju perwujudan Pembaharuan Desa.

Ada persoalan klasik yang mengemuka diarena workshop yaitu mengenai kesulitan bagi BPD untuk membangun kemitraan dengan Eksekutif Desa (Pemerintah Desa/ Kuwu) secara normatif, sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 maupun Perda Nomor 8 Tahun 2006 yang mengatur secara khusus Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Menurut kajian peserta workshop, bila mempelajari tata aturan perundangan yang berlaku, maka Tupoksi (tugas pokok dan fungsinya) Kuwu disamping melaksanakan tugas perbantuan dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah, juga berkewajiban menjalankan aspirasi warganya dan selanjutnya direduksi dalam suatu Peraturan Desa (Perdes). Kenyataannya, terdapat banyak desa yang belum memiliki Perdes, setidaknya belum memiliki Perdes yang baik, akomodatif serta sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Padahal, Peraturan Desa merupakan payung hukum untuk menjalankan kebijakan pembangunan di desanya. Lain halnya dengan Peraturan Desa yang mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB-Des) memang dibuat secara rutin oleh Kuwu.

Gambaran tersebut hampir dialami seluruh Penyelenggara Pemerintahan Desa di Kabupaten Indramayu. Hal ini mengemuka dan disuarakan peserta dalam acara dialog peserta. Apa yang semestinya menjadi solusi perbaikannya ? adalah sebuah pertanyaan yang belum bisa terjawab, sejak diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah hingga kini.

Ali Mustadi Sekjen RWD (Rempug Wong Dermayu) – menyatakan bahwa terpuruknya kondisi penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam memberikan pelayanan publik bersumber pada rendahnya tingkat keilmuan yang dimiliki oleh pelaku Pemerintahan Desa. Untuk itu dipandang perlu adanya peningkatan skill kepemimpinan serta perubahan paradigma secara utuh khususnya para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Sedangkan Golib Munawar, SH (Pemateri Bedah Perda Nomor 8 Tahun 2006) menilai pesimis terhadap usaha-usaha para pihak dalam mewujudkan Otonomi Desa secara bottom up. Salah satu kendalanya adalah kompetensi Kuwu sebagai pemimpin di desanya untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya masih belum merata. Lebih lanjut Golib Munawar mengungkapkan bahwa solusi jalan pintas guna mewujudkan Pembaharuan Desa di Indramayu adalah adanya political will dari Pejabat Politik di tingkat Daerah.

Di akhir acara para peserta yang merupakan perwujudan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kabupaten Indramayu merekomendasikan kepada DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu bersama Rempug Wong Derrmayu (RWD) untuk menyuarakan terwujudnya Pembaharuan Desa menuju keadilan sosial bagi masyarakat desa.

Diantara rekomendasinya adalah sebagai berikut :
1. Mendorong semua stakeholder yang ada di Indramayu dan khususnya Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk memiliki kepedulian terhadap peningkatan kapasitas BPD dalam rangka menumbuh kembangkan proses demokratisasi ditingkat Desa.
ABPEDSI dan RWD menyadari betul mengenai kondisi SDM Badan Permusyawaratan Desa seluruh Indramayu terkait proses demokratisasi di desa. Hal ini merupakan oto kritik ABPEDSI sebagai wadah komunikasi BPD se Kabupaten Indramayu dan kepedulian Rempug Wong Dermayu (RWD) untuk selanjutnya melakukan langkah-langkah pembaharuan dan peningkatan kapasitas keilmuan BPD. Upaya peningkatan skill BPD sebagai salah satu lembaga Pemerintahan Desa tersebut harus bermuara pada peningkatan kinerja sehingga proses demokratisasi di desa dapat berjalan dengan baik. Salah satu langkah untuk mewujudkannya adalah adanya kepedulian semua stakeholder, terlebih Pemerintah Daerah untuk melakukan serangkaian upaya yang bermuara pada cita-cita tersebut diatas.

2. Dalam rangka menumbuh kembangkan proses demokratisasi di Desa, salah satu wujud nyata adalah dihapusnya segala biaya pemilihan kuwu yang selama ini sebagian besar dibebankan kepada masyarakat (Calon Kuwu) selanjutnya wajib dibiayai oleh APBD dan bantuan APBDes.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam Pemilihan Kepala Desa sebagian besar biaya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada warga masyarakat (calon Kuwu), hal mana tidak berlaku bagi Pemilihan Kepala Eksekutif dari Pusat hingga Daerah dan Legislatif dari Pusat hingga Daerah. Sistem ini dipandang sebagai peluang yang bermuara pada kemunduran proses demokrasi di desa. Lebih jauh dari itu, karena system pemilihan formal yang tidak adil, maka kerap kali dijadikan bahan pembenaran (Justifikasi) bagi calon Kuwu terpilih untuk melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dalam hal pengelolaan keuangan desa –dimana- kepala desa adalah penanggung jawab pengelolaan keuangan desa.
Sebagai langkah inovasi, harus ada kamauan politik local (local political will) untuk mendorong hidupnya proses demokrasi di desa dengan cara menghapuskan biaya penyelenggaraan pemilihan kuwu dari calon kuwu, selanjutnya segala biaya penyelenggaraan pemilihan kuwu dibebankan kepada APBD dan Bantuan dari APBDes.

Rumus keuangan : Jumlah Desa x biaya pemilihan = Jumlah total
 302 desa x 40 juta = 12.080.000.000 (Dua Belas Milyar Delapan Puluh Juta rupiah

Angka tersebut diatas tidaklah sulit bagi keuangan daerah untuk mengalokasikannya jika Eksekutif Daerah dan DPRD memiliki komitmen besar mambangun demokrasi ditingkat desa menuju kemakmuran masyarakat desa.
Berdasarkan logika demokrasi, maka kost yang dikeluarkan oleh APBD dihubungkan dengan manfaat kehidupan demokrasi ditingkat desa, tidak ada alasan bagi Eksekutif Daerah dan DPRD untuk mengatakan “tidak cukup Anggaran Daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemilihan Kuwu di seluruh desa di Kabupaten Indramayu” tersebut. Hal ini merupakan langkah inovatif yang sangat terpuji untuk kemajuan masyarakat desa di Kabupaten Indramayu ke depan sehingga Visi REMAJA Kabupaten Indramayu dapat dirasakan manfaatnya. Lebih jauh, Kabupaten Indramayu ke depan dapat dijadikan Pilot Project skala Nasional sebagai Daerah Tingkat II yang pertama membebaskan biaya pemilihan kuwu dari anggota masyarakat (Calon Kuwu).

3. Mendesak pemkab Indramayu untuk memfasilitasi terciptanya produk - produk legislasi di tingkat desa yang berkeadilan dan kerakyatan dalam upaya percepatan Pembaharuan Pemerintahan Desa.

Dengan restrukturisasi kepemimpinan BPD seluruh Desa di kabupaten Indramayu, seyogyanya Pemerintah Kabupaten Indramayu bukan hanya selesai pada tahap pelantikan semata. Bayi yang baru lahir saja langsung diberi rangsangan serta ASI oleh Ibunya, oleh karenanya BPD sekarang ini ibarat bayi yang baru lahir yang membutuhkan rangsangan dari Pemerintah Kabupaten Indramayu sebagai upaya untuk menumbuhkan inovasi dan kreatifitas dalam menentukan langkahnya.
Peran Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam hal ini, wajib memberikan pembekalan yang representatif kepada BPD yang baru lahir demi keberlangsungan keberadaannya dan meningkatkan produktifitas kinerja untuk melahirkan produk – produk legislasi di Desa.

DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu bersama Rempug Wong Dermayu (RWD) berangkat dari rasa kepedulian, mengawali pemberian rangsangan kepada BPD yang baru lahir dengan mengadakan Workshop Perancangan Peraturan Desa, yang melibatkan peserta dari setiap utusan Kecamatan satu orang BPD. Namun hal ini kami sadari bahwa acara tersebut belum repesentatif dari seluruh desa di Kabupaten Indramayu. Oleh karenanya sebagai follow up atas dasar usulan peserta pada saat itu, pemerintah kabupaten Indramayu harus menindak lanjuti acara Workshop Perancangan Peraturan Desa yang diprakarsai oleh DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu dan Rempug Wong Dermayu (RWD).

4. Dalam upaya percepatan pembaharuan desa, Pemerintah Kabupaten Indramayu wajib mengkaji ulang tentang (politik anggaran) dana perimbangan keuangan Kabupaten – Desa yang rasional dan berkeadilan.
Perlu disadari bersama bahwa tumbuhnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan tolok ukur Pembangunan Daerah hingga Pembangunan Nasional adalah dari Desa. Tanpa Desa tidak mungkin ada Kabupaten/Kota, Pripinsi maupun Negara, kebudayaan nasional pastinya muncul dari Desa, hal ini merupakan wujud nyata bahwa Desa merupakan potensi yang sangat vital. Otonomi Daerah merupakan gerbang awal untuk meningkatkan potensi Desa.

Otonomi Daerah bukan hanya sebatas wacana, Reformasi Birokrasi bukan hanya sebatas konsep. Namun yang lebih penting bagaimana Pemerintah daerah memposisikan Desa sebagai embrio pertumbuhan Pembangunan Daerah hingga Nasional, yang harus dijaga dan di tingkatkan potensinya.

Pendapatan desa yang diamanatkan dalam pasal 68 diantaranya poin b dan c Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, bahwa paling sedikit 10% dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten / Kota dan dari retribusi daerah Kabupaten / Kota serta Alokasi Dana Desa paling sedikit 10% dari dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang diberikan ke Kabupaten/Kota yang dibagikan secara proporsional kepada seluruh desa.

Meninjau dari penjelasan pasal 68 poin b dan c bahwa ; Huruf b :Dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diberikan langsung kepada Desa. Dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa yang dialokasikan secara proporsional.

Huruf c : Yang dimaksud dengan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurang belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tigapuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD dan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Dengan demikian, perlu kiranya Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk mengkaji ulang bersama – sama Pemerintahan Desa ( Kuwu dan BPD ) dalam pemenuhan optimalisasi pendapatan desa, bukan hanya berpatokan pada batas minimal10% untuk ADD, akan tetapi sebagai wujud inovasi Pemerintah Kabupaten Indramayu guna mempercepat tumbuhnya pembaharuan desa dalam menopang pembangunan Daerah hingga Nasional harus ada keberanian untuk memberikan Alokasi Dana Desa lebih dari batas minimal yang konkritnya dari 10% menjadi 20% untuk seluruh desa di Kabupaten Indramayu.

5. BPD sebagai mitra Pemerintah Desa dan memiliki kedudukan yang sejajar secara yuridis formal dengan Pemerintah Desa, mendesak Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk meningkatkan insentif nominal bagi BPD sebagai langkah konkret untuk memberi daya rangsang kepada BPD dalam upaya peningkatan kinerja BPD.
Di Era Reformasi ini dimana kran demokrasi dibuka lebar-lebar, partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran (aspirasi) meningkat cukup signifikan. Badan Permusyawatan Desa (BPD) sebagai terminal aspirasi masyarakat di tingkatan Pemerintahan Desa dituntut bisa berfungsi secara efektif dan mampu menterjemahkan kemauan masyarakat dalam usaha membangun desanya. Tugas ini tidaklah ringan. Disamping keberadaan BPD masih dalam usia sangat muda, secara faktual, BPD kurang memiliki sensifitas dalam malakukan kerja-kerja politik, baik dalam tingkatan menyerap aspirasi maupun mengawal kebijakan Pemerintah Desa. Salah satunya disebabkan karena rendahnya sensifitas Politik Anggaran -baik tataran APBD Kabupaten terlebih ABPDes- yang memilki kecenderungan cukup untuk memberikan rangsangan secara manusiawi kepada Anggota BPD secara keseluruhan.

BPD sebagai bagian dari Pohon harapan masyarakat desa, agar dapat bekerja secara optimal untuk mewujudkan pembaharuan desa menuju kemandirian desa, hendaklah ada perhatian serius dalam persepsi anggaran yang memihak dan rasional, dalam hal ini Pemerintah Daerah untuk memberikan insentif secara layak dan manusiawi kepada BPD dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang semula 25% menjadi 40% dari 30% ADD untuk operasional Pemerintahan Desa. Serta adanya kepastian hak dari Pendapatan Asli Desa dengan proporsi untuk BPD 10% dari PADes.

Sunday, May 09, 2010

BPS Indramayu menerjunkan 3.912 orang petugas Sensus Penduduk 2010 (SP 2010)

BPS Indramayu Terjunkan 3.912 Petugas SP2010 PDF Cetak E-mail
Kantor Biro Pusat Statistik (BPS) Indramayu menerjunkan 3.912 orang petugas Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang berkerja dengan sistem kontrak mulai 1 Mei - 31 Mei 2010.
Kepala BPS Indramayu Kardono, dihubungi Senin (3/5) mengemukakan, 3.912 orang petugas SP2010 itu terbagi dalam 978 tim. Masing-masing tim  beranggotakan empat orang dibawah seorang koordinator. Pembagian tim itu kata Kardono dilakukan supaya tercapai pendataan akurat. Sehingga di antara petugas saling terjadi cross check.
SP2010 meliputi kegiatan pendataan nama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, ketenagakerjaan, suku bangsa, kematian dan kelahiran, fasilitas kepemilikan rumah yang meliputi listrik, sanitasi, sertifikat penduduk seluruhnya mencakup 40-an item yang harus data.
Dikatakan, petugas SP2010 bekerja melalui sistem kontrak selama satu bulan terhitung mulai 1 Mei - 31 Mei 2010. Petugas SP2010 memperoleh honor Rp. 2,3 Juta per orang. Sedang koordinatornya mendapatkan honor Rp. 2,8 juta per orang. Honor akan dibayarkan melalui rekening masing-asing petugas pada bank yang ditunjuk pada akhir masa kegiatan.
Dikatakan, tujuan SP2010 adalah menghitung jumlah penduduk serta mengumpulkan informasi dasar kependudukan dan perumahan masyarakat Indonesia.
“Manfaat SP2010 adalah memperoleh informasi dasar kependudukan dan perumahan yang diperlukan untuk bahan evaluasi pembangunan  serta untuk menyusun perencanaan pembangunan kependudukan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa mendatang. (Sudirman)

Wednesday, April 28, 2010

Problematika Posisi dan Kelembagaan Desa

Problematika Posisi dan Kelembagaan Desa PDF Cetak
Ditulis oleh Mardyanto Wahyu Tryatmoko   
Senin, 22 Februari 2010 11:11
Setelah mendapatkan banyak tekanan dari masyarakat desa, pemerintah dan DPR berjanji akan membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Desa pada tahun ini. Persoalannya adalah apakah RUU tentang desa yang akan dibahas oleh pemerintah dan DPR dapat serta merta memberikan jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perangkat desa yang lebih baik dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Apakah UU (undang-undang) tentang desa yang baru akan mampu meredam tuntutan masyarakat desa yang beragam dari sisi kepentingan politik, ekonomi, dan budaya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, upaya minimal yang harus dilakukan pemerintah adalah mencermati dan memperbaiki kekurangan pengaturan tentang desa yang termuat di dalam UU 22/1999 dan UU 32/2004. Meskipun demikian, hal ini tidak mudah. Banyak persoalan substantif yang belum terpecahkan, dan bahkan banyak persoalan yang muncul akibat peraturan yang tidak sesuai dengan keberagaman desa. Persoalan utamanya adalah berbagai regulasi yang ada, belum mampu mendefinisikan posisi desa secara tepat dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Apakah desa akan diletakkan sebagai daerah otonom berdasarkan asal-usul, atau sebagai bagian integral dari wilayah pemerintahan kabupaten. UU 22/1999 dan UU 32/2004 menempatkan desa sebagai wilayah administrasi bagian dari kabupaten dan sekaligus memberikan kebebasan kepada desa untuk mengaktualisasikan hak asal-usul atau adat setempat. Ambivalensi posisi desa ini ternyata berdampak pada lemahnya kelembagaan desa, terutama di daerah yang masih memiliki adat yang kuat dan beragam. Kelemahan kelembagaan desa dapat dicermati dalam tiga parameter yaitu struktur pemerintahan, kewenangan, dan keuangan desa.

Struktur Pemerintahan Desa
Secara prinsip, desa adat dan desa administratif (contoh kelurahan) memiliki struktur birokrasi pemerintahan yang berbeda. Desa adat memiliki struktur birokrasi yang berbeda di setiap daerah. Mereka yang menjabat dalam kepemimpinan desa, umumnya diangkat dan diberhentikan atas dasar musyawarah, keturunan, atau kasta. Penggajian atau renumerasi biasanya diberikan kepada mereka dari sumber daya alam. Struktur birokrasi disusun berdasarkan urusan-urusan yang ada di desa.

Kondisi ini sangat berbeda dengan desa administratif atau yang lebih jelas dapat dicermati sebagai kelurahan. Di desa administratif, struktur birokrasi ditentukan oleh pemerintah di atasnya, sehingga status pegawai negeri sipil (PNS) dapat disandang oleh perangkat desa. Sangat wajar jika gaji diberikan oleh negara karena urusan lebih banyak berasal dari pemerintah atas.

UU 22/1999 dan UU 32/2004 mencoba menggabungkan antara desa adat dan desa administrasi, sehingga bangunan struktur birokrasi desa menjadi tidak jelas. UU 32/2004 mengatur desa dengan sangat aneh. Kepala desa dipilih secara langsung, sekretaris desa dijabat oleh PNS, dan perangkat desa lainnya diangkat oleh kepala desa dengan kedudukan (pelaksana teknis daerah dan unsur kewilayahan) yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Keganjilan ini merupakan kelemahan kelembagaan desa yang seringkali menimbulkan kecemburuan, ketidak-puasan dan bahkan konflik. Demonstrasi para perangkat desa yang menuntut status PNS merupakan contoh dari ketidakpuasan ini.

Akibat dari pemaksaan pencampuran kewenangan adat dan administrasi negara kedalam satu struktur birokrasi, pemerintahan desa tidak berjalan optimal. Bahkan di beberapa desa di Maluku Tenggara misalnya tidak memiliki perangkat desa yang utuh karena terhambat persoalan kasta. Di kasus lain, kepala desa yang notabene juga merupakan kepala adat sengaja menggunakan aturan yang ada untuk mendudukan anaknya sebagai sekretaris desa karena ada jaminan status PNS bagi kedudukan ini. Posisi ini jelas berpotensi konflik, setidaknya dapat mengganggu pemerintahan desa karena kecemburuan perangkat desa lainnya yang tidak memiliki status PNS.

Persoalan yang juga penting adalah masa jabatan lembaga-lembaga desa (kepala desa, BPD, dan perangkat desa). Di satu sisi, pemerintah memberi peluang terhadap mekanisme pemilihan, tetapi disisi lain pemerintah membatasi masa jabatan kades dan BPD. UU 22/1999 memberikan batasan sepuluh tahun untuk masa jabatan kepala desa, sedangkan UU 32/2004 membatasinya enam tahun. Kini perangkat desa menuntut sepuluh tahun masa jabatan Kades. Jika pemerintah juga mengakui kearifan lokal, tentu masa jabatan lembaga-lembaga ini tidak harus dibatasi. Setiap desa memiliki tradisi yang sulit diintervensi dan diseragamkan oleh Negara. Namun, jika pemerintah menghendaki pembatasan masa jabatan lembaga-lembaga ini untuk kepentingan urusan pemerintahan formal, harus dipikirkan mengenai solusi tempat bagi berlangsungnya kepentingan atau kewenangan adat. Jangan sampai rotasi jabatan pemerintahan administratif mengganggu keberlangsungan adat lokal.

Kewenangan (urusan) Desa
Berdasarkan hak asal-usul, tentu setiap desa memiliki kekhasan jenis kewenangan dan cara mengelola kewenangan itu. Namun, dengan dalih meningkatkan pembangunan nasional, pemerintah menjalankan urusannya hingga ke ranah desa. Akibatnya, perangkat desa tidak hanya mengurusi kewenangan aslinya tetapi juga menjalankan urusan kabupaten dan tugas pembantuan dari propinsi dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu perangkat desa merasa kewenangan yang dijalankannya terlalu besar, dan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.

Jika desa diposisikan sebagai kesatuan masyarakat adat, jenis kewenangan desa diserahkan kepada kebutuhan komunitasnya. Ini berarti pemerintah tidak perlu mengatur kewenangan kultural desa di dalam peraturan termasuk perda, bahkan dalam UU. Namun, jika pemerintah masih berkepentingan untuk meningkatkan pembangunan desa, harus ada penataan yang terpisah untuk lembaga yang menangani kewenangan administratif dan adat. Sudah saatnya pemerintah lebih mempertegas pengaturan kewenangan administratif, dan disesuaikan dengan desain struktur birokrasi formal beserta pembiayannya. Urusan adat tetap diakui tetapi pengorganisasiannya diserahkan kepada lembaga adat.

Keuangan Desa
Faktor keuangan desa merujuk kepada kemampuan masyarakat desa dalam mencukupi dan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Seperti dijelaskan dalam regulasi (UU dan PP), sumber ekonomi desa berasal dari kekayaan asli desa dan bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah (termasuk bagi hasil pajak dan retribusi kabupaten). Kenapa masyarakat desa menuntut pemerintah untuk mengalokasi anggaran sebesar 10 persen dari APBN langsung untuk desa? Ini karena dua alasan, yaitu keterbatasan masyarakat desa dalam menggali ekonomi di wilayahnya dan relatif rendahnya alokasi anggaran desa dari kabupaten.

Pemerintah tentu sadar bahwa desa masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Pemerintah juga semestinya menyadari bahwa kemampuan kabupaten untuk mengalokasikan anggaran kepada desa adalah sangat terbatas. Apalagi kemampuan setiap kabupaten berbeda. Ada kabupaten yang bertahan hidup dengan hanya bertumpu pada DAU (dana alokasi umum). Mustahil bagi kabupaten tertinggal semacam ini akan dapat memberikan alokasi anggaran kepada desa, terlebih biaya pilkades menjadi tanggungjawab kabupaten.

Jika desa masih ditempatkan menjadi bagian dari kabupaten, pemerintah harus memantau kemampuan kabupaten dalam menyediakan anggaran bagi desa. Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada desa berupa dana alokasi khusus (DAK) melalui kabupaten yang tidak mampu. Bantuan kepada desa melalui DAK ini harus diprioritaskan untuk memberdayakan masyarakat desa agar mampu menggali potensi sumber ekonomi desa dan sekaligus mengurangi ketergantungan desa terhadap bantuan dari pemerintah.

Satu hal penting lainnya adalah alokasi anggaran untuk kesejahteraan perangkat desa. Jika pemerintah kesulitan mengatur proporsi dan jumlah layak penghasilan aparat desa, sudah saatnya seluruh perangkat desa yang berurusan dengan administrasi pemerintahan dijabat oleh PNS. Selain untuk menghindari kecemburuan, kebijakan ini cukup adil memberikan kesejahteraan perangkat desa. Alokasi untuk gaji perangkat desa ini otomatis termasuk dalam DAU kabupaten/kota. Sedangkan gaji perangkat lembaga adat dialokasikan dari hasil pendapatan asli desa, jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan desa. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko) 
sumber :http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/230-problematika-posisi-dan-kelembagaan-desa

Monday, January 25, 2010

Program PAUD di Indramayu Makin Berkembang

Pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), sangat diutamakan. Sebab, PAUD merupakan masa keemasan (golden age) bagi pembentukan sumber daya manusia dalam membangun bangsa yang berkualitas.
Program PAUD tersebut berjalan dengan baik karena Pemerintah Kabupaten Indramayu, Pemerintah Provinsi Jabar, dan pemerintah pusat sama-sama memperhatikan termasuk menyediakan anggaran yang saat ini dibutuhkan.
Keberhasilan pelaksanaan PAUD di Indramayu karena adanya perhatian besar dari Bupati Indramayu Irianto Mahfudz Sidik Syafiuddin dan Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Indramayu Hj Anna Sophana SH.
Mereka intensif melakukan pembinaan kepada para pendidik PAUD (guru-guru program PAUD) untuk meningkatkan profesionalisme dalam pembelajaran, peningkatan kinerja, dan peningkatan kesejahteraan.
Demikian diutarakan Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu Drs HA Kholik MA yang didampingi Kepala Seksi PAUD Dra Hj Sri Sunarti ketika dikonfirmasi Suara Karya, Selasa (24/11), di ruang kerjanya.
Kholik memaparkan bahwa PAUD pada pendidikan luar sekolah terdiri dari kelompok bermain yang saat ini di Indramayu ada 55 kelompok. Sedangkan untuk bina keluarga balita (BKB) pos pelayanan terpadu (Posyandu) PAUD sebanyak 30 kelompok. Adapun di sisi lainnya yaitu BKB kesiapan masuk sekolah terdapat 434 kelompok ditambah 2 kelompok TPA.
Untuk jumlah anak usia dini (0-6 tahun) di Indramayu tahun 2009 mencapai 136.820 anak.
Sebagian besar telah terlayani melalui pendidikan taman kanak-kanak (TK) dan non-TK. Jumlah tenaga pendidik dari pendidikan nonformal (PNF) untuk laki-laki 14 orang dan perempuan 2.530 orang, sedangkan jumlah tenaga kependidikan PNF laki-laki 14 orang dan perempuan 142 orang.
Kholik menyebutkan, pihaknya masih menghadapi kendala dalam pengembangan PAUD, antara lain masih adanya orangtua yang belum mempunyai kesadaran membawa anak balitanya mengikuti PAUD. Kemudian masih belum meratanya kelulusan tenaga pendidik PAUD.
"Solusinya, antara lain, mengadakan pelatihan bagi tenaga pendidik PAUD agar ada persepsi yang sama tentang pembelajaran program PAUD.
Di lain pihak juga mengadakan sosialisasi tentang pendidikan anak usia dini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, PKK, Bappeda, dan instansi yang terkait," kata Kholik.
Ia juga mengharapkan tambahan dukungan pendanaan untuk honor tenaga pendidik dan keperluan sarana dan prasarana.
(Sumber : SUARAKARYA-ONLINE.com, 25 November 2009)

Tuesday, January 12, 2010

IIS DAHLIA: Ikut Bikin Dangdut Naik kelas (Bagian 1)


Dari : Femina-online.com

SEMPAT MALU DISEBUT GADIS INDRAMAYU
Sejak kecil ia sudah bercita-cita jadi penyanyi. Sejak kecil pula ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal jadi orang terkenal. Salah satunya: sikapnya agak ngebos!

Wanita muda itu masih terbaring lunglai ketika dukun bayi ber­nama Mbok Wartem memperlihatkan bayi perempuan mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi imut-imut itu berwajah cantik, ber­kulit putih, dan berambut hitam lebat. Tapi, Mbok Wartem sen­diri merasa heran. Selama puluhan tahun berpraktik menjadi dukun bayi di Desa Kertajaya, Bongas, Indramayu, ia belum pernah me­­­­lihat kelahiran bayi seperti yang satu ini. Orang Indramayu me­nyebutnya tali ori, atau lehernya terlilit usus. Juga ada usus lain yang menyelempang da­­ri pundak ke arah perut, seperti layaknya selempang di seragam pejabat tinggi militer.

Menurut kepercayaan orang-orang tua zaman itu, usus yang me lilit leher itu merupakan pertanda bahwa nantinya bayi perempuan itu akan selalu tampak cantik saat mengenakan baju dan warna apa pun. Selain itu, selempang usus dari arah pundak ke arah perut juga dianggap pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang ternama. “Mungkin dia nanti akan menjadi sinden terkenal,” ramal mereka. Setelah dikandung hampir 11 bulan, bayi yang lahir pada 29 Desember 1972 ini diberi nama Iis Lailiyah. Dialah Iis Dahlia, yang sekarang kita kenal sebagai penyanyi dangdut populer.

SENANG TAMPIL SEJAK KECIL
Usia Qomariyah baru 16 tahun saat melahirkan putri keduanya itu. Maklum, saat menikah dengan Makmuri, ayah Iis, usianya baru 14 tahun. Saat itu Qomariyah bahkan sudah menjadi janda muda yang cantik dengan satu orang putri bernama Elsi Sukaesih. Sementara Makmuri yang menjadi guru Qomariyah di sekolah ibtidaiyah di kampung itu adalah duda beranak satu. Dari istri pertamanya, Mak­­­muri memperoleh seorang putri bernama Tati Hamami. Qo­mariyah adalah putri tuan tanah di daerah itu, sementara Mak­muri seorang pegawai Kantor Urusan Agama yang tinggal di wi­layah Singaraja, Kota Indramayu.

Sejak mulai bisa berjalan dan berbicara, Iis kecil tergolong sa­ngat aktif dan cerewet. Setiap kali mendengar suara nyanyian di ra­dio atau teve, ia langsung berlenggak-lenggok menari sembari mengikuti irama lagu. Berbeda dari teman-teman seusianya yang bercita-cita ingin menjadi presiden, dokter, atau insinyur, sejak ke­cil Iis dengan mantap selalu mengatakan ingin menjadi pe­nyanyi. Jawaban itu tidak pernah berubah sampai akhirnya ia masuk se­kolah SD, SMP, bahkan SMA.

Menurut Qomariyah, kegilaan Iis terhadap musik sudah dimulai sejak putrinya itu duduk di bangku kelas 4 SD. Hampir setiap ha­ri Iis nongkrong sendirian di kamar, bahkan kadang-kadang me­nguncinya dari dalam. Tidak bosan-bosannya Iis mendengarkan kaset lagu-lagu dangdut terbaru saat itu, juga lagu-lagu pop terkenal, lalu ia catat liriknya. Pada masa itu, Elvie Sukaesih sedang naik daun, dan nama Evie Tamala baru mu­lai merambat naik. Dalam pes­ta perkawinan atau perayaan 17 Agustus, tanpa malu-malu Iis tampil naik panggung, menyumbangkan lagu dengan iringan organ tunggal.

Lama-kelamaan Qomariyah pun jengkel melihat ulah putrinya itu. Soalnya, dari hari ke hari kegiatan Iis hanya mendengarkan mu­sik dan menyanyi. “Nok, tiap hari, kok, kerjamu begitu-begitu sa­ja, sama sekali tidak mau membantu Mami memasak, menyapu, atau mencuci piring. Jangan hanya dengerin musik melulu!” Tapi, omelan Qomariyah tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Iis. Gadis remaja itu tetap saja asyik dengan kaset-kaset musiknya.

Untunglah, otak Iis lumayan encer sehingga ia tidak pernah ting­gal kelas. Setiap pagi Iis sekolah di SD Negeri Kertajaya, tidak jauh dari rumahnya. Siangnya, setelah istirahat sejenak, ia lang­sung mengayuh sepeda menuju Madrasah Ibti­daiyah Bongas yang letak­nya lumayan jauh, hingga pukul 4 sore. Di kampungnya, hanya Iis dan kakak-kakaknya yang belajar di ma­drasah itu. Setelah magrib, ia harus mengaji dan belajar sembari ditunggui ayahnya.

Pada hari-hari tertentu, Iis bersama kakak-kakaknya dikirim oleh guru SD atau madrasahnya untuk mengikuti berbagai lomba, baik tingkat kecamatan, bahkan kabupaten. Ada lomba menyanyi, me­­nari, membaca Al-Quran, baca puisi, dan sebagainya. Setiap kali mengikuti seleksi, Iis bersama kedua kakaknya selalu tampil sebagai juara di sekolahnya. Alhasil, ketiganya pula yang dikirim untuk mewakili sekolah ke lomba-lomba tingkat kecamatan atau kabupaten.

SUKA PANJAT POHON
Iis merasa bersyukur lahir di kampung, mendapat pendidikan agama yang baik, dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan setempat. Se­perti anak-anak perempuan pada umumnya, semasa kanak-kanak Iis dan kedua kakaknya sangat menyukai boneka. Oleh Qomariah mereka tidak dibelikan boneka dari toko, melainkan dib­uatkan sendiri dari baju-baju bekas. Ketika sudah mulai agak besar, Iis membuat sendiri boneka-boneka dari lempung (tanah liat) yang dibentuk seperti bayi dan diberi baju dari kain-kain bekas.Pada ke­sempatan lain, Iis teman-temannya juga sering bermain di kali, ladang, atau memanjat pohon. Awalnya, Iis dan kedua kakaknya dilarang memanjat pohon oleh ayahnya. Tapi, karena hampir semua anak perempuan di kampungnya mahir memanjat, ketiga gadis kecil itu diam-diam belajar memanjati pohon-pohon tinggi setiap kali ayah mereka sedang di kantor.

Suatu hari, ketika tengah asyik memanjat pohon jambu di depan rumahnya, Iis mendengar suara skuter ayahnya. Ia pun buru-buru turun dan akhirnya terpeleset lalu terjatuh dari pohon itu. Anehnya, meski tangan dan sebagian tubuhnya terasa sakit, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi justru buru-buru kabur jauh-jauh ke rumah tetangga. “Daripada dimarahi Papi, lebih baik saya kabur, meski badan saya berdarah-darah,” ujarnya, tertawa.

Tapi, belakangan, sikap ayahnya agak melunak dan tidak lagi me­larang gadis-gadis kecilnya memanjat pohon. Makmuri bahkan me­nyuruh membuatkan rumah-rumahan di atas pohon jambu itu. Di rumah pohon itulah Iis sering kali menghabiskan waktunya bersama ka­kak-kakak maupun teman-temannya, sambil makan rumbah (pe­cel) tao­ge dan rempeyek kacang hijau.

Qomariyah membenarkan bahwa sifat Iis semasa kanak-kanak sangat keras. “Kalau punya kemauan, harus dituruti. Kalau tidak, dia marah atau menangis berkepanjangan. Kalau dilarang papinya nonton musik atau sandiwara, misalnya, dia pasti akan nekat pergi. Begitu ayahnya tidur, ia langsung kabur. Anak-anak saya yang lain tidak mungkin berani berbuat senekat itu,” tutur Qomariyah, ge­leng-geleng kepala.

“Selain itu, Iis juga ingin selalu diistimewakan dibanding kakak-kakaknya. Kalau pakai sandal atau pakaian, tidak mau yang jelek. Ka­lau kepunyaannya sudah jelek, ia enak saja menyambar kepunyaan kakaknya. Kakaknya tentu saja marah sehingga akhirnya keduanya berantem. Selain itu, kalau dibelikan pakaian atau apa saja, ia selalu ingin yang bagus dan mahal. Akibatnya, kakak-kakaknya jadi iri,“ ke­nang Qomariyah, sambil tertawa. Tapi, lain di rumah, lain pula di tempat main. Di mata teman-temannya, Iis justru dikenal baik hati dan dermawan. “Dia selalu me­maksa saya untuk memberinya uang banyak-banyak agar bisa mentraktir teman-teman mainnya. Atau, kalau disuruh belanja dengan uang yang agak besar, kembaliannya pasti dia habiskan untuk ngejajanin teman-temannya. Sejak dulu gayanya memang seperti bos!” Qomariyah tertawa geli.


Bersambung...

Saturday, January 09, 2010

Ketika Wacana Pemilihan Gubernur Oleh Lembaga Dewan Kembali Menguat

ICS Nilai Sebagai Kemunduran, DC Nyatakan Wajar-wajar Saja
Belakangan ini, wacana tentang pemilihan gubernur harus dilakukan oleh lembaga dewan dan bukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat kembali menguat dan undang-undang terkait hal itu sedang dibahas di pusat. Lalu bagaimana pandangan pengamat di Papua tentang hal itu?
Laporan : Kornelis Watkaat, Jayapura
Seiring dengan besarnya biaya untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) terutama untuk pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, sementara di sisi lain ada yang menilai bahwa kewenangan yang dimiliki gubernur itu tidak sebanding dengan besarnya biaya untuk pemilihan secara langsung itu, maka wacana bahwa gubernur sebaiknya dipilih oleh lembaga dewan kembali ramai dibicarakan.
Terkait hal itu, UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah saat ini sedang direvisi oleh Pemerintah Pusat yang mana nantinya akan menghasilkan 3 undang-undang, yakni UU pemerintahan daerah, UU pemilihan umum kepala daerah/wakil kepala daerah, dan UU tentang pemerintahan desa.
Kita belum bisa memastikan apakah nantinya hasil revisi UU itu menyatakan bahwa Pemilukada tidak lagi melalui rakyat, tetapi oleh lembaga dewan, atau tetap dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Tentunya hal itu sudah pasti ada kelebihan dan kekurangannya.
Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) atau Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua, Budi Setyanto, SH, menilai, jika Pemilukada akan kembali dilakukan melalui wakil rakyat seperti yang dilakukan sebelum era reformasi, maka itu merupakan suatu langkah kemunduran dari suatu proses demokrasi selama ini dibangun dan itu merupakan sebuah malapetaka yang besar.
“Memang benar bahwa Pemilukada secara langsung dinilai boros anggaran, tapi harus tahu itu sebuah konsekuensi dari proses demokrasi, karena dalam melaksanakan demokrasi yang benar membutuhkan biaya yang tinggi,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos di ruang kerjanya, Kamis (7/1).
Menurutnya, Pemilukada melalui dewan itu tidak representatif dan semua pihak tahu akan hal itu. Sebab jumlah wakil rakyat sangat sedikit baila dibanding jumlah masyarakat yang cukup banyak. Selain itu, ada kelemahan bahwa tidak ada jaminan bahwa wakil rakyat itu yang akan membawa aspirasi masyarakat secara tulus.
“Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilakukan melalui dewan, ternyata justru ada muatan-muatan kepentingan politik, ekonomi yang terkait dengan isi perut oknum-oknum wakil rakyat itu. Sehingga bila ini dipraktekan kembali, sudah pasti pola permainannya kembali lagi dan akan sama seperti yang lalu,” tegasnya.
Dengan demikian kepala daerah yang terpilih bukan pilihan rakyat tapi pilihan segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi itu, apalagi saat ini tingkat kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi.
“Benar, Pemilukada langsung itu banyak kelemahannya, salah satunya terjadi money politik, primordialisme yang tinggi, banyak penyalagunaan anggaran yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat tapi digunakan untuk Pemilukada, tapi harus dipahami bahwa dalam proses demokrasi Pemilukada langsung ini baru dilakukan sekali dan untuk mengukur keberhasilannya masih prematur jadi belum bisa diukur kan?,” ujarnya.
“Sejelek-jeleknya hasil Pemilukada itu akan lebih baik dari pada pemilihan dilakukan oleh wakil rakyat, meski money politik, tapi uang itu dinikmati oleh rakyat bukan anggota dewan yang hanya memikirkan kepentingannya itu. Pemilukada langsung ini pun akan menjadi media bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang lebih baik. Kalaupun mereka terpilih dari yang tidak baik, itu masyarakat bisa perbaiki pada Pemilukada berikutnya,” sambungnya.
Hal lainnya, adanya partisipasi masyarakat yang tinggi dan sikap apatis akan sendirinya hilang, sehingga kontrol dari masyarakat sipil akan tumbuh dengan baik. Demikian juga kepala daerah yang terpilih akan belajar tanggungjawab untuk memenuhi janji-janjinya saat kampanye.
Berbeda dengan Budi Setyanto, Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Uncen, DR. H. M. A. Musa'ad,M.Si menyatakan, memang hal itu sudah menjadi wacana tapi juga suatu pilihan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) apakah Pemilukada dilakukan langsung oleh rakyat atau melalui lembaga dewan. Namun sejauh ini wacana yang berkembang bahwa Pemilukada itu melalui dewan itu hanya ada pada tingkat pemilihan gubernur.
Berdasarkan itu, kata Musa’ad, sudah ada beberapa pertimbangannya. Pertama, tidak menyalahi aturan, karena pemilihan presiden itu langsung melalui rakyat, tapi Pemilukada itu menggunakan terminologi pemilihan secara demokratis. Dan berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Pemilu langsung atau tidak langsung adalah kedua-duanya sah dan tidak bertentangan dewan UUD 1945. Sehingga keabsahan berdasarkan konstitusinya tidak menjadi soal.
Pertimbangan kedua ialah titik berat otonomi, apakah berada di provinsi ataukah di kabupaten/kota. Karena selama ini UU 32 Tahun 2004 itu dititikberatkan otonominya ke kabupaten/kota. Hal ini memunculkan pemikiran bahwa pemilihan langsung oleh rakyat di kabupaten/kota. Alasannya, karena yang mempunyai rakyat itu adalah kabupaten/kota.
Pertimbangan ketiga, bahwa dalam UU 32, provinsi itu ada dua status yang melekat padanya, yaitu sebagai daerah otonomi dan sebagai wilayah administratif.
Dimana, tentunya sebagai daerah otonom, itu melaksanakan urusan rumah tangga yang terbatas. Sedangkan sebagai wilayah administratif, seorang gubernur merupakan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga diharapkan proses seorang naik jadi gubernur tidak hanya jadi domain rakyat tapi juga jadi domaiannya pemerintah karena adanya dua fungsi itu.
Pertimbangan keempat, adanya indikasi peran gubernur dalam melaksanakan fungsinya cenderung mengedepankan tugasnya sebagai kepala daerah, sementara tugasnya sebagai wakil pemerintah pusat sangat lemah, bahkan ada gubernur yang ekstrim dan kurang loyal terhadap pemerintah pusat/presiden. Karena gubernur merasa ia dipilih langsung oleh rakyat, sehingga tidak bisa dijatuhkan oleh dewan.
“Empat landasan itu saya kira menjadi landasan pikir bagi pihak-pihak yang ingin Pemilukada dilaksanakan melalui DPRD. Dengan dipilih langsung oleh rakyat, maka gubernur yang nakal sudah pasti menolak untuk diintervensi oleh dewan dan pusat,” imbuhnya.
Dengan sejumlah hal itu, yang harus dipertegas adalah dimana letak sebenarnya otonomi, karena otonomi sekarang tidak jelas, terdapat pada posisi yang mana, apakah di provinsi ataukah di kabupaten/kota. Karena di provinsi juga ada otonomi demikian juga ada otonomi di kabupaten/kota.
“Kalau memang sepakat daerah tingkat dua sebagai daerah otonomi dan provinsi posisinya sebagai wilayah administratif, maka boleh gubernur boleh dipilih oleh DPRD dan itu wajar bahkan bila perlu gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Jadi perlu ditata dulu sistem otonominya,” pungkasnya.(*/fud) (scorpions)

Wednesday, January 06, 2010

Tuan dan Pelayan Masyarakat Desa Kertajaya


Inilah sosok tegap dari Tuan dan para pelayan masyarakat desa Kertajaya yang selalu siaga dalam menjalankan roda pemerintahan desa Kertajaya.
Duduk di tengah adalah :
Rusmono, SE Kuwu desa Kertajaya yang telah menjabat sejak tahun 1995 dan akan mengakhiri masa pengabdiannya sebagai kuwu pada bulan Pebruari 2013, didampingi oleh Jurutulis (Kapendi) dan Bekel Blok Babakan (Dawin) duduk berdampingan di sebelah kanan sedangkan duduk berdampingan di sebelah kiri adalah Bekel Blok Sabrangwetan (Warto Haryanto) dan Bekel Blok Kibuyut (Sutara), sedangkan di belakangnya berdiri berjajar dari sebelah kiri adalah Kliwon (Tasmin), Juru Keuangan/Bendahara (Tardin), Lurah polisi (Kanong M.), Raksabumi (Rastim), Lebe (Jaenudin) dan berpakaian Linmas adalah anggota Satgas Hansip (M. Radi).

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMI 2002-2003
STRUKTUR POLITIK, ELIT POLITIK DAN POLITIK PERTANIAN DI PEDESAAN

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
Dosen : Dr. Iberamsyah
Oleh : Tongato
NPM : 0101186002
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
Jakarta, 23 November 2002

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
A. ANALISA STRUKTUR POLITIK DESA DAN KELURAHAN
Struktur politik desa dan kelurahan merupakan struktur politik paling rendah dalam bangunan politik nasional. Meskipun demikian, struktur politik desa dan kelurahan mempunyai peran penting dalam bangunan struktur politik nasional. Sebab, disitulah kehidupan politik riil ada dengan segala dinamikanya. Berikut ini akan dianalisa struktur politik desa dan kelurahan.
Struktur Politik Desa
Perkataan desa hanya dikenal di pulau Jawa. Ada beberapa penyebutan lain yang merujuk pada pengertian desa, yaitu dusun, kuta, gampong, nagari dan seterusnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) udik atau dusun; (3) tempat; tanah; daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.1
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1, yang disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Pasal 94, Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif, yakni menjalankan amanat masyarakat desa yang tertuang dalam Peraturan Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh kepala desa yang telah dipilih secara langsung warga masyarakat desa untuk masa jabatan 8 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangakat desa yang berstatus pegawai negeri, seperti sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepala lingkungan.
Badan Perwakilan Desa adalah wakil-wakil masyarakat desa yang berada di tiap rukun warga. BPD menjalankan tugas sebagai badan legislatif. Dalam Pedoman Umum Pengaturan Desa, Kepmendagri disebutkan bahwa parlemen desa (BPD) beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Mereka adalah pemuka agama, adat, orsospol, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPD ini berhak menyatakan diri sebagai wakil rakyat di daerah rukun ketetanggaannya.
Gambaran seperti ini jelas akan memunculkan masalah yakni ketika ada perbedaan pendapat yang tak bisa dipecahkan tentang suatu masalah. Kepala desa bisa mengatasnamakan rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga BPD. Hal itu dikarenakan angota BPD merupakan wakil rakyat yang dipilih. Dan masalah seperti ini akan diperumit lagi dengan adanya pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa BPD bisa “memecat” kepala desa. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan kepala desa sebetulnya belum sepenuhnya otonom.
Struktur Politik Kelurahan
Kalau pengertian desa merujuk pada suatu wilayah di pedalaman/luar kota, maka pengertian kelurahan lebih pada wilayah perkotan. Dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Ibukota Negara Republik Indonesia, Bab V, pasal 24 dan pasal 27 disebutkan bahwa pemerintah kelurahan terdiri dari Pemerintahan Kelurahan dan Dewan Kelurahan.
Pemerintahan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sebagai eksekutif pemerintahan. Dalam tugas sehariu-harinya, lurah dibantu perangkat kelurahan yang juga berstatus pegawai negeri. Lurah diangkat oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur. Kedudukan lurah cukup kuat. Ia tak bertanggung-jawab kepada Dewan Kelurahan, tapi kepada atasannya, yaitu camat, bupati/walikota dan gubernur.
Sementara itu, Dewan Kelurahan merupakan badan legislatif. Keanggotaannya adalah wakil-wakil masyarakat yang berada di tiap rukun warga. Fungsi Dewan Kelurahan adalah membantu lurah dalam menampung aspirasi warga, memberikan usul dan saran kepada lurah, menjelaskan kebijakan pemerintah, membantu dalam hal pemberdayaan masyarakat, termasuk juga mengajukan anggota dewan kota/kabupaten.2
Kedudukan Dewan Kelurahan dan Pemerintahan Kelurahan yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, lurah sebagai pegawai negeri, kedudukannya sangat kuat. Lurah bisa saja mengabaikan begitu saja saran atau usul Dewan Kelurahan terhadap suatu masalah yang kiranya akan merugikan kepentingannya. Ia tidak takut untuk “dipecat” karena ia berpedoman pada kepatuhan sebagai pegawai negeri yang harus tunduk kepada atasannya. Selain itu juga, Dewan Kelurahan tidak mempunyai kekuatan politik apa-apa seandainya saran atau usul kurang/tidak diperehatikan lurah. Dengan demikian, lurah sebetulnya berkedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di atasnya, ia tak harus tunduk pada dewan Kelurahan.
Sementara itu, tumbuh kesan bahwa keberadaan Dewan Kelurahan hanyalah sebagai “tempelan” saja. Dewan Kelurahan ada, namun tak mempunyai kekuatan politik dalm ikut menentukan jalannya pemerintahan kelurahan. Disisi lain, Dewan Kelurahan juga lemah kedudukannya karena tidak bisa menentukan anggaran pembangunan. Masalah anggaran sepenuhnya berada di tangan lurah. Pengawasan terhadap lurah dalam maslah anggaran juga tak bisa dilakukan. Sebab lurah hanya bisa bertanggung jawab kepada atasannya, bukan kepada Dewan Kelurahan. Dengan demikian, hadirnya Dewan Kelurahan yang dimaksudkan untuk kemandirian dan partisipasi masyarakat di era otonomi ini belum tercapai secara maksimal.
B. ANALISA PERANAN ELITE FORMAL DAN INFORMAL DESA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993) kata elite mempunyai dua pengertian, yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kelompok-kelompok elit ini sifatnya sangat heterogen.3 Mereka terdapat dalam komunitas agama, politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Kedudukan mereka sebagai ekit bisa berubah sesuai dengan situasi dan dengan siapa mereka mengadakan interaksi. Pola interaksi, akomodasi, konflik dan lain sebagainya.4
Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik , memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya.5 Mereka ini ada yang berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa, kepala hansip, ketua RW dan ketua RT. Sedangkan elite informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa.6 Mereka itu bisa kyai, guru, militer, orang kaya dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menganalisis peranan kepala desa sebagai elit formal dan kyai sebagai elit informal di pedesaan sebagai contoh.
Peranan Kepala Desa
Peranan kepala desa dalam struktur masyarakat desa sangat besar. Hal ini karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masyarakatnya masih bercorak paternalistik. Oleh karena itu apa yang dianggap baik dan benar, yang dianjurkan, yang dikatakan dan dilakukan oleh kepala desa merupakan pedoman dan contih langsung bagi “anak buahnya” untuk melakukan tindakan yang sama.7
Seorang kepala desa, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya. Kepala desa adalah patron bagi masyarakat desa. Agar kepala desa mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya, ia selau mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya secara geneologis dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam kasus pengaitan geneologis ini juga dilakukan dengan nenek moyangnya yang pernah menjadi kepala desa dahulu.8
Pengaitan secara geneologis ini dimaksudkan untuk memperkuat perannya dalam memegang kekuasaan dan wewenang. Sebab tanpa legitimasi tersebut, maka perannya sebagai pemimpin tertinggi desa akan hilang.
Selain dengan mengaitkan secara geneologis, kepala desa sejak tahun 1950-an juga memanfaatkan berbagai kekuatan sosial politik , seperti partai plitik. Semasa Orde Baru, demi tegaknya legitimasi kedudukannya, para kepala desa mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan Karya (Golkar). Oleh karena itu, tak aneh bila Golkar memperoleh kemenangan di hampir seluruh desa di Indonesia. Mereka mempunyai target kemenangan bagi Golkar di desanya.9 Ini nampaknya sebagai imbalan atas keterkaitannya dengan Golkar yang telah memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan.
Dalam proses pembangunan desa, peran kepala desa juga sangat besar. Menurut pengamatan Hofsteede (1992) terhadap peran kepala desa di 4 desa di Jawa Barat membuktikan hal itu. Para kepala desa yang diteliti menunjukkan bahwa mereka sebagai pengambil prakarsa dalam suatu proyek pembangunan. Mereka mendiskusikan dan seterusnya merapatkan dalam rapat desa untuk mengambil keputusan pelaksanaan suatu proyek.
Ada beberapa faktor yang menyebabakan peran kepala desa demikian besar, yaitu pertama, kepala desa dokebanyakan desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. Mereka bagaikan raja-raja kecil di desanya. Hal itu ditambah sikap masyarakat yang bersifat patenalistik.
Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil pemerintah di desa. Hal ini karena bupatilah yang membuat keputusan akhir dan memberi surat pengangkatannya, meskipun kepala desa dipilih oleh rakyat secara langsung.10
Peranan Kyai
Kyai merupakan sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang menguasai dan mempraktekkan ajaran agama Islam secara ketat. Kyai sebagai tokoh informal juga mempunyai peran yang sangat besar.
Peran utama kyai adalah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan fatwa agama tentang masalah keyakinan dan praktik keislaman masyarakat. Otoritas ini diperkuat dengan adanya masyarakat yang paternalistik dan hubungan antarkyai.11 Di desa-desa Jawa, para kyai mempunyai hubungan kuat dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini merupakan sarana mempromosikan kyai dalam kepemimpinan lokal bahkan nasional.
Selain itu, hubungan antarkayai yang biasanya tergabung dalam organisasi NU, para kyai dalam usaha menambah klaim kekuasaan dan wewenangnya adalah jamaah Islam. Semakin besar jumlah jamaah yang berada di belakangnya, maka semakin berpengaruhlah kyai tersebut.12
C. ANALISA POLITIK PERTANIAN DI DESA
Politik pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian. Ada dua metode dalam mempelajari politik pertanian,13 yaitu pertama, melalui analisa teknik ekonomi. Melalui teknik ini, kita dapat mempergunakan berbagai teori ekonomi untuk merumuskan politik pertanian, melaksanakan dan menilainya. Alat penilai yang paling sering dipakai dalam hal ini adalah analisis benefit-cost yang mudah dilakukan untuk memulai berbagai proyek-proyek investasi.
Kedua, melalui analisis kelembagaan. Artinya, politik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan dengan mana alokasi sumber daya terjadi dan diusahakan. Dalam definisi Tinbergen, politik pertanian macam ini termasuk politik pertanian kualitatif. Hal ini dikarenakan menyangkut perubahan lembaga.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mempergunakan analisis kelembagaan yang diterapkan terhadap politik beras sebagai salah satu bagian dari politik pertanian. Pemerintah melihat bahwa masalah perberasan merupakan masalah yang sangat vital. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Jika masalah beras ini tak dikelola secara baik, bisa saja hal itu menjadi isu politik yang mampu menggiyahkan sendi kekuasaan pemerintah.
Melihat begitu pentingnya masalah perberasan, maka pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) tahun 1969 yang mempunyai tugas utama melaksanakan politik beras.14 Sasaran utama Bulog adalah mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/padi, baik secara langsung melaui pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar bebas maupun melaui kebijakan stok beras.
Setelah mengeluarkan kebijakan mempertahankan harga maksimum dan minimum, pemerintah kemudian meletakkan kebijakan harga penyangga (support price) untuk memberikan perangsang pada petani padi. Hal ini dicapai antara lain dengan apa yang dikenal dengan rumus tani, yaitu satu kilogram pupuk ures dijual pemerintah kepada petani dengan harga yang sama dengan satu kilogram beras. Kebijakan ini ditanggapi positif para petani sehingga pada pertengahan tahun 1972 pemerintah bahkan merasa khawatir akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan terget produksi.
Kekhawatiran tersebut di atas ternyata tak terbukti, karena pada tahun yang sama terjadi kegagalan panen akibat kemarau panjang. Meskipun demikian, kebijakan peningkatan produksi beras lebih dikenal dengan Bimas (bimbingan massal) tetap berhasil meningkatkan produksi beras rata-rata 4,7% per tahun dalam Pelita I, walaupun harus diakui tidak sampai pada terjadinya swasembada beras.
Tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Pelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Saat itu pemerintah mengimpor beras (hampir 30% dari seluruh beras yang dipasarkan di pasaran dunia). Keadaan ini membuat pemerintah mengadakan perubahan kebijakn pada Pelita II. Sasrannya bukan lagi pada swasembada beras, akan tetapi swasembada pangan, yaitu dengan terutama berusaha mencapai terget pemenuhan kalori dan protein yang dapat dipenuhi dari berbagai bahan pangan seperti jagung, ketela, sagu dan tanaman kacang-kacangan. Disini titik tekan kebijakan pemerintah bukan lagi pada beras, tapi bahan pangan pokok secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut didasrkan pada realitas bahwa sebagian penduduk Indonesia makanan pokoknya ada yang non beras. Selain itun juga adanya potensi pangan yang besar di luar beras.15 Contohnya, Irian Jaya dan Maluku yang penduduk aslinya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Daerah-daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Jadi dsini yang penting adalah pemenuhan kalori yang dapat dipenuhi oleh makanan pokok selain beras. Masalahnya adalah di beberapa daerah yang makanan pokoknya non beras malah sulit memperoleh bahan makanan tersebut dibanding dengan beras. Selain itu sudah tercipta imej dalam masyarakat Indonesia bahwa makan beras identik dengan kemajuan. Masyarakat yang makanan pokoknya non beras dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan.***

Daftar Pustaka

Hofsteede, W.M.F., Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992

Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa. Yogyakarta: Media Pressindo, 2000

Mas’oed, Mohtar & Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991

Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987

Nurhadi, Robi, “Desaku Sayang, Kelurahanku,” makalah diskusi Program Pascasarjana Ilmu Politik UNAS, 2002

Prisma No. 10, Oktober 1982

Suhartono dkk., Politik Lokal, Yogyakarta: Lapera, 2001

Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999

Syamsuddin, Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998

Tholkhah, Imam, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001



1 Suhartono dkk. Politik Lokal. Yogyakarta: Lapera, 2001 h 9
2 Robi Nurhadi, “Desaku Sayang, Kelurahamku Malang” makalah presentasi di depan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS.
3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999 h. 76
4 M Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit dalam Perspektif Sejarah,” dalam M Mashur Amin et al. Kelompok Elit Dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jalarta: YIIS, 1988 h. 12
5 Gaetamo Mosca seperti dikutuip Robert D. Putman,”Studi Perbandingan Elit Politik,” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, l991 h. 77.
6 W.M.F. Hofsteede, Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 h. 47 – 48.
7 M Syahbudin Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, Yogyakarta: Media Pressindo, 2000 h. 19
8 Ibid h. 13 – 14.
9 Syamsuddin Haris, (ed.) Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998 h 166 – 167.
10 Prijono Tjiptoherijanto & Yumiko M. Prijono. Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983 h. 91.
11 Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, h. 78.
12 Ibid h. 78 – 79.
13 Mubyarto, Politik Pertanian & Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987 h. 69 – 70.
14 Uraian tentang politik beras dengan segala aspeknya dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari Mubyarto, op cit hal. 72 – 78.
15 M. Satari, “ Produksi Beras Masih Salah Arah,” dalam Prisma No. 10, Oktober 1982 h. 59 – 61.
 
POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

Tuesday, January 05, 2010

Bangkit dengan Jimpitan


Konon, itu adalah "petunjuk" dari sang Sultan, maka tak heran kalau warga Jogja dengan senang hati mau menjalankannya.
Jimpitan adalah tradisi menyimpan uang receh di depan rumah, yang nantinya dijadikan sebagai 'tabungan' di tingkat RT. Masing-masing Kepala keluarga dalam suatu RT diwajibkan 'menabung dengan cara ini. Seperti pada foto di atas, ada sebuah wadah sederhana yang ditempatkan di depan rumah, entah di pagar atau di dinding rumah. Setiap malam, akan ada petugas ronda yang mengumpulkan uang tersebut, dan menyerahkannya kepada pengurus RT.
Tradisi jimpitan, dulunya tidak berupa uang, melainkan berupa beras. Kalau masyarakat Sunda mengenal istilah perelek, mengumpulkan beras barang se mangkuk untuk disimpan di sebuah 'lumbung' agar tidak ada yang kelaparan. Zaman berubah, jimpitan pun akhirnya dirubah menjadi uang untuk alasan kepraktisan.
Jika satu RT saja terdiri dari kira-kir 150 KK, maka jika masing-masing menyumbang 500 perak setiap malam, maka dalam satu malam bisa terkumpul uang sejumlah Rp. 75.000. Setiap bulannya, kas RT bisa memiliki dana sebesar Rp. 2.250.000. Luar biasa kan? Dalam setahun kas RT bisa mendapat pemasukan sebesar Rp 27.000.000. Tentu ini bukan uang kecil.
Asal perlu dijauhkan dari anak-anak iseng, yang terkadang mengambil uang yang sudah disimpan di wadah jimpitan. Tak jarang anak-anak memang sengaja mengambil uang-uang itu, lumayan buat jajan... Tapi kalau pengelolaan hasil jimpitan di tingkat RT, luarbiasa transparan. Setiap bulan diadakan pertemuan yang melaporkan perkembangan kas. Tanggalnya bisa diatur menurut kesepakatan RT masing-masing.
Dari hasil Jimpitan ini banyak hal bisa dilakukan, dari mulai membantu keluarga kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya, atau kalau harus dirawat di rumah sakit. Tak terasa, uang 500 perak yang disepelekan itu bisa memberdayakan warga sendiri untuk saling membantu. Sukarewan yang ronda tiap malam, selain punya kegiatan rutin berkeliling, juga punya tanggung jawab tambahan menjadi pengumpul hasil jimpitan. Ternyata ini malah membuat mereka punya termotivasi untuk ikut ronda. Tidak perlu uluran tangan pihak luar, kecuali benar-benar mendesak. Seperti pada saat terjadi gempa beberapa tahun yang lalu.
Ini bukan teori. Ini fakta. Dan fakta membuktikan, masyarakat bisa berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri, jika pemimpin mampu memberi inspirasi yang kuat. Pemimpin bukan Sinterklas, yang kerjanya bagi-bagi hadiah. Pemimpin juga perlu mendorong kemandirian rakyatnya, agar kepercayaan diri mereka bangkit.
Bayangkan seluruh rakyat Indonesia, mempraktekkan jimpitan, 500 perak per malam. Berapa banyak sumberdaya yang bisa kita bangkitkan dari diri kita sendiri, tanpa harus selalu mengandalkan utang luar negeri? Kurang lebih sama dengan kewajiban muslim ber-zakat setiap bulan Ramadhan, ini adalah mekanisme sederhana yang bisa menyelesaikan banyak masalah. Tinggal, seberapa pedulikah kita?
Sumber : http://politikana.com/baca/2009/08/22/bangkit-dengan-jimpitan.html

Monday, January 04, 2010

Statemen AKSI Menyakiti Hati Rakyat

Hasrat para Kuwu yang menuntut hak penambahan masa jabatan tidak lah berdasar. Bicara hak, semestinya bicara koridor hukum yang berlaku. Bilamana ada hak yang belum terpenuhi sesuai koridor hukum, maka itu baru patut disuarakan. Sepertihalnya Alokasi Dana Desa (ADD) minimal 10 % dari APBD II setelah dikurangi belanja pegawai (PP 72 Tahun 2005 tentang Desa).

Sikap Asosiasi Kuwu Seluruh Indramayu (AKSI) yang meronta-ronta minta tambahan masa jabatan, akan menyakiti hati masyarakatnya saja. Karena Rakyat memilih dan melegitimit Kuwunya hanya untuk masa jabatan sesuai perundang-undangan yang berlaku (UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Dan kalupun dipaksakan hingga adanya yudisial review, perundang-undangan tersebut tidaklah berlaku surut.

Keinginan AKSI yang meminta tambahan masa jabatan Kuwu, bertolak belakang dengan program Pemerintah kabupaten  Indramayu yang sekarang ini lebih mendekatkan diri dengan rakyat, seperti Rakyat Ketemu Bupati (RKB) dan Rakyat Ketemu Camat (RKC). Walau program tersebut bersifat insidental, tapi cukup berarti bagi sebagian masyarakat yang mengikutinya.

Semestinya para Kuwu ikut mengembangkan program tersebut, dengan lebih mempererat tali silaturrahmi warganya. Jangan hanya pada saat proses pemilihan Kuwu saja menjalin silaturrahmi dengan masyarakatnya. Banyak hal yang harus dilakukan Kuwu untuk lebih dekat dengan masyarakatnya, seperti rembug rukun warga/tetangga, saresehan, ngopi bareng dan lain sebagainya. Yang terpenting adanya tatap muka, ngobrol bareng untuk memetakan setiap masalah dan kebutuhan masyarakatnya. Kemudian hasil tersebut dijadikan pijakan dalam merencanakan Pembangunan Desa.

Pemerintahan Desa (Kuwu dan BPD) bukan pelaksana teknis pembangunan, oleh karenannya mengelola dan memanage kultur dan budaya setempat serta persoalan masyarakatnya merupakan bagian dari fungsi Pemdes. Dengan demikian tidak ada lagi perselisihan masalah Raskin, BLT, PKH, DPT, dan kebutuhan data base lainnya. Kunci utama dalam menentukan, memilah dan memilih data kependudukan tergantung Pemerintahan Desa sendiri. Kuwu dapat menolak program pemerintah kalau tidak sesuai dengan data base yang ada di desa, begitu pun sebalinya Kuwu dapat mengajukan kebutuhan masyarakatnya kepada pemerintahan diatasnya sesuai rencana yang dibangun bersama dengan masyarakat (Partisipatory Rural Appraisal).

Relevansi masa jabatan Kuwu dengan Pembangunan Desa bukanlah masalah utama dalam desa. Masa jabatan Kuwu 6 tahun sudah lebih dari cukup, setahun membenahi perselisihan dan adaptasi pasca pemilihan Kuwu, lima tahun konsentrasi pembangunan desa. Berulang-ulangnya penjabatan Kuwu tiap periode, akan merusak pengembangan demokratisasi desa dan menumbuhkan sindrom power pada Kuwu tersebut. Prinsip demokrasi adanya pembatasan masa kekuasaan dan memberi kesempatan kepada yang lain sebagai regenerasi pembangunan desa yang lebih inovatif.

Peningkatan kesejahteraan Kuwu dan Pamong desa bahkan hingga tunjangan legislasi BPD, memang perlu diperhatikan. Bila perlu ada standar khusus sesuai kekuatan APBD Kabupaten Indramayu, tidak perlu disamakan dengan standar UMR. Karena sumber biaya operasional Pemerintahan Desa tidak lepas dari beban Negara dan hasil kelola pendapatan asli desa sebagaimana diatur dalam pasal 212 UU 32 tahun 2004. Begitu pun asuransi keselamatan dan kematian Kuwu, Pamong dan BPD sudah sepantasnya mereka dapatkan. Karena sedikit ada ketidak sesuaian kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa, rentan dengan kekerasan atau aksi anarkis.

Pengembangan kebijakan untuk mempercepat pembangunan desa dan menumbuh kembangkan demokratisasi desa, membutuhkan local wisdom dari Pemerintah Kabupaten Indramayu. Untuk meminimalisir konflik berkepanjangan pasca pemilihan kuwu, Pemkab Indramayu harus berani mengalokasikan biaya pemilihan kuwu menjadi beban APBD. Karena semakin tinggi biaya yang dikeluarkan calon kuwu, semakin besar dan lama perselisihan usai. Begitupun akan mengganggu efektifitas proses pembangunan desa.

Sunday, January 03, 2010

APBD Indramayu 2010 sebesar Rp. 1,271 Miliar

APBD Indramayu 2010 sebesar Rp1,271 Miliar


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Indramayu menggelar sidang paripurna guna mendengarkan penghantaran nota keuangan dari eksekutif tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran 2010. Nota penghantaran dibacakan Sekretaris Daerah (Sekda), Drs H Supendi, MSi mewakili Bupati di depan seluruh fraksi yang ada di Dewan.
Dibacakan Supendi, rencana ABPD Indramayu untuk tahun 2010 mencapai Rp. 1.271.814.415.151,00 atau sekitar Rp. 1,27 triliun. Sedangkan belanja daerah diperkirakan mencapai Rp. 1,26 T sedangkan pembiayaan penerimaan sebesar Rp. 6,35 miliar dan pengeluaran Rp. 48,13 miliar.
Secara rinci rangkaan tersebut terdiri dari pendapatan asli daerah sebesar Rp78,184 miliar yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Dana perimbangan sebesar Rp. 1,010.488.408.000 atau Rp. 1,01 triliun yang terdiri dari dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum(DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).
Lain-lain pendapatan daerah yang sah diperkirakan sebesar Rp. 183.141.316.000 atau Rp. 183,1 miliar yang meliputi dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian dan otonomi khusus, bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya dan pendapatan hibah.
Sedangkan belanja daerah direncanakan mencapai Rp. 1,266 triliun yang terdiri dari belanja tidak langsung sebesar Rp875 miliar yang meliputi belanja pegawai, belanja bunga pinjaman, belanja bantuan sosial, belanja hibah, belanja bagi hasil kepada pemerintah desa, belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa dan belanja tidak terduga.
Besarnya belanja langsung mencapai Rp391 miliar yang tersebar di alokasi masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD). Sementara pembiayaan daerah meliputi penerimaan pembiayaan sebesar Rp. 6,3 miliar terdiri dari SILPA dan pinjaman daerah. Sedangkan pengeluaraan pembiayaan sebesar Rp. 48,1 miliar yang terdiri dari penyertaan modal, pembayaran hutan kepada lembaga bank dan pembayaran hutang kepada pihak ketiga.
Supendi mengatakan, meskipun pendapatan daerah pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar Rp. 57,078 miliar dari tahun 2009, namun karena pada tahun anggaran 2010 banyak belanja wajib yang harus dipenuhi dengan nilai cukup besar sehingga akan terjadi defisit APBD sebesar Rp. 36 miliar yang masih harus dicari sumber pembiayaannya, atau dengan melakukan penyesuaian belanja yang memperhatikan skala prioritas, kata Supendi.
Menurut Supendi, penyusunan APBD ini didasarkan pada kebijakan umum serta prioritas dan plafon anggaran anggaran Kabupaten Indramayu tahun 2010. Perangkaan APBD ini masih terdapat perangkaan yang berupa estimasi baik pendapatan maupun belanja, seperti rencana bantuan provinsi dan hibah dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu, kata Supendi, perangkaan secara pasti dapat diperoleh pada saat pembahasan R-APBD berjalan. Bantuan propinsi untuk Indramayu masih menunggu pembahasan R-APBD propinsi dan penetapan dari pemerintah pusat tentang hibah pada daerah.
Pada tahun 2010 nanti ada satu momen penting yaitu pemilihan kepala daerah yang pembiayaannya tidak sedikit dan merupakan beban APBD kabupaten/kota masing-masing. Berbeda dengan penyelenggaraan pilkada pada tahun sebelumnya yang mendapat bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi. Kami mengharapkan seluruh komponen masyarakat agar senantiasa menjaga kondusivitas daerah baik sebelum, saat maupun setelah pelaksanaan pilkada, kata Supendi. (ck-106)
http://www.hupelita.com/baca.php?id=85310

Abas Assafah Siap Jadi Bupati Indramayu



INDRAMAYU – Berbagai kalangan menilai, sosok H. Abas Assafah AD, S.Ag., MSi layak maju sebagai calon bupati pada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dihelat tahun 2010.
Pria kelahiran Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat ini memiliki kepribadian yang cukup
sederhana dan berangkat dari kalangan birokrat. Selain itu, majunya ketua Yayasan Ibu Hj. Hodijah (Yabujah) ini menaruh harapan cukup besar bagi kalangan pendidikan di Indramayu. sebab, Abas merupakan tokoh yang sukses dalam memajukan dunia pendidikan di Kota Mangga.

Saat ditemui Radar Cirebon di rumahnya, Abas Assafah menyatakan kesiapannya untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Indramayu Periode 2010-2015. Bahkan, mantan Kasi Swasta Pendidikan Menengah (Dikmen) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu ini siap maju melalui jalur independen, apabila jalur Partai Politik (Parpol) tidak bisa dilakukan. Diakui Abas, niatan untuk maju sebagai cabup muncul sejak lama, dan sudah pernah beberapa mali ikut dalam konvensi, antara lain melalui PC PDI Perjuangan, namun gagal sehingga tidak bisa maju dalam pencalonan. ”Saya secara pribadi siap untuk maju sebagai cabup pada Pilkada 2010 mendatang,” tuturnya saat ditemui di rumahnya, Rabu (30/12).

Abas menegaskan, sebagai putra daerah dirinya mempunyai tanggungjawab moral untuk memperbaiki kondisi daerah, dan melanjutkan pembangunan ke arah yang lebih baik. Berangkat dari keinginan dan dorongan dari berbagai elemen masyarakat, maka dirinya menyatakan kesiapannya untuk maju. Ia juga mengaku sudah menyiapkan Visi dan Misi dalam membangun Indramayu. Visi yang akan diusung, lanjut Abas, yaitu ingin mewujudkan masyarakat yang religius, berkualitas,  sejahtera,  dalam  suasana kehidupan yang aman, tertib, damai serta tatanan daerah yang kuat, makmur dan mandiri untuk mencapai Indra Jaya Cahya Permata. Jargon politik yang saya usung adalah "Sugih Ora Rerawat, Melarat Ora Keblangsat,” tutur Abas seraya meminta dukungan kepada seluruh masyaralat Indramayu untuk mendukung sekaligus memilihnya.

Ditambahkan, pihaknya sudah membentuk tim sukses dengan nama Tim Sembilan yang siap untuk melakukan penggalangan massa. Menurutnya, Tim Sembilan secara intens melakukan silaturahmi politik ke sejumlah pengurus partai politik (parpol) dan tokoh masyarakat. Hal ini sebagai bentuk keseriusan dirinya.(dun)

Profil :
Nama               : H. Abas Assafah AD, S.Ag., MSi.
TTL                 : Indramayu, 6 Juli 1961
Pekerjaan         : PNS
Alamat             : Jl. Ketapang I No. 1 Blok Langgar  RT.01/01 
 Segeran  Kidul, Kecamatan Juntinyuat.
Jabatan :
1.      Ketua Yayasan Ibu Hj Chodijah Segeran
2.      Purek I Unidarma Segeran Indramayu.
3.      Kabid Kesos BKPP Wilayah III Jawa Barat Tahun 2009.

Pendidikan :
1.      Fakultas  Tarbiyah  STAI Al  Falah Bandung 1998
2.      Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Publik STIA Yapan Jakarta 2007
3.      Program S3 Konsentrasi Ilmu Politik UMY Yogyakarta.

Pengalaman Pekerjaan :
1.      Kepala SMA NU Juntinyuat
2.      Dosen STAIS Dharma Segeran indramayu
3.      Kasie Swasta Dikmen Disdik Indramayu
4.      Kasie Data Disduk Capil Indramayu

Pengalaman Organisasi :
1.      Ketua IPNU Indramayu tahun 1978 – 1980
2.      Wakil Ketua KNPI Indramayu tahun 1991 – 1995
3.      Ketua Korwil Perguruan Pencak Silat Satria Muda Tahun 1992 – sekarang
4.      Ketua LP Ma’arif NU Indramayu tahun 1998 – 2000
5.      Ketua Cabang GP Ansor Indramayu tahun 1999 – 2009
6.      Ketua Forum Silaturrahim Para Pegawai Wong Dermayu (FOSGAMA)  tahun 2004 – 2007.

Penghargaan :
1.      The Best Executif Education 2004
2.      The Most Innovative People Award 2009
3.      Man Of The Year 2009

Sumber : epaper.radarcirebon.com/index.php?hal=im-05