SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN
Showing posts with label Studi. Show all posts
Showing posts with label Studi. Show all posts

Sunday, June 13, 2010

Menuju Otonomi Rakyat Desa

Menuju Otonomi Rakyat Desa

(Catatan dari Workshop Teknik Pembuatan Peraturan Desa) 

ABPEDSI sebagai agen Pembaharuan Desa
Indramayu memiliki 303 desa dan 8 kelurahan yang tersebar di 31 Kecamatan. Otonomi Desa yang merupakan amanat dari Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 semestinya dijalankan sesuai dengan maksud yang terkandung didalamnya. Kenyataanya, Otonomi Desa masih sebatas wacana belaka. Kini saatnya Otonomi Desa dijabarkan ditingkat lapangan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Caranya? Sudahi wacana!!! Mari kita bekerja!!! Bekerja untuk Pembaharuan Desa.

Tanggal 2 Juni 2007 dilangsungkan Workshop Tekhnik Pembuatan Peraturan Desa bertema : ”Penguatan Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Mewujudkan Kemandirian Pemerintahan Desa” diselenggarakan DPD ABPEDSI (Assosiasi Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia) Kabupaten Indramayu bekerja sama dengan Rempug Wong Dermayu (RWD) bertempat di Aula Islamic Centre Indramayu. Acara ini dibuka oleh ASDA I Setda Pemkab Indramayu dengan diikuti 26 orang anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) utusan dari Perwakilan Kecamatan se-Wilayah Kabupaten Indramayu. Ketika memberikan sambutannya, ASDA I menyatakan :

“Di Era dibukanya kran demokrasi, partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran meningkat cukup signifikan, Badan Permusyawatan Desa (BPD) sebagai terminal aspirasi masyarakat desa di tingkatan Pemerintahan Desa semestinya bisa berfungsi secara efektif dan mampu menterjemahkan kemauan masyarakat untuk usaha membangun desanya“.

Sementara Saefudin, BA (Ketua ABPEDSI Kab. Indramayu) mengatakan bahwa acara workshop ini merupakan kepedulian ABPEDSI dan RWD Kabupaten Indramayu yang diharapkan mampu mendorong setiap anggota BPD untuk memiliki persepsi yang sama dalam mewujudkan Otonomi Desa menuju perwujudan Pembaharuan Desa.

Ada persoalan klasik yang mengemuka diarena workshop yaitu mengenai kesulitan bagi BPD untuk membangun kemitraan dengan Eksekutif Desa (Pemerintah Desa/ Kuwu) secara normatif, sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 maupun Perda Nomor 8 Tahun 2006 yang mengatur secara khusus Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Menurut kajian peserta workshop, bila mempelajari tata aturan perundangan yang berlaku, maka Tupoksi (tugas pokok dan fungsinya) Kuwu disamping melaksanakan tugas perbantuan dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah, juga berkewajiban menjalankan aspirasi warganya dan selanjutnya direduksi dalam suatu Peraturan Desa (Perdes). Kenyataannya, terdapat banyak desa yang belum memiliki Perdes, setidaknya belum memiliki Perdes yang baik, akomodatif serta sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Padahal, Peraturan Desa merupakan payung hukum untuk menjalankan kebijakan pembangunan di desanya. Lain halnya dengan Peraturan Desa yang mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB-Des) memang dibuat secara rutin oleh Kuwu.

Gambaran tersebut hampir dialami seluruh Penyelenggara Pemerintahan Desa di Kabupaten Indramayu. Hal ini mengemuka dan disuarakan peserta dalam acara dialog peserta. Apa yang semestinya menjadi solusi perbaikannya ? adalah sebuah pertanyaan yang belum bisa terjawab, sejak diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah hingga kini.

Ali Mustadi Sekjen RWD (Rempug Wong Dermayu) – menyatakan bahwa terpuruknya kondisi penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam memberikan pelayanan publik bersumber pada rendahnya tingkat keilmuan yang dimiliki oleh pelaku Pemerintahan Desa. Untuk itu dipandang perlu adanya peningkatan skill kepemimpinan serta perubahan paradigma secara utuh khususnya para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Sedangkan Golib Munawar, SH (Pemateri Bedah Perda Nomor 8 Tahun 2006) menilai pesimis terhadap usaha-usaha para pihak dalam mewujudkan Otonomi Desa secara bottom up. Salah satu kendalanya adalah kompetensi Kuwu sebagai pemimpin di desanya untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya masih belum merata. Lebih lanjut Golib Munawar mengungkapkan bahwa solusi jalan pintas guna mewujudkan Pembaharuan Desa di Indramayu adalah adanya political will dari Pejabat Politik di tingkat Daerah.

Di akhir acara para peserta yang merupakan perwujudan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kabupaten Indramayu merekomendasikan kepada DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu bersama Rempug Wong Derrmayu (RWD) untuk menyuarakan terwujudnya Pembaharuan Desa menuju keadilan sosial bagi masyarakat desa.

Diantara rekomendasinya adalah sebagai berikut :
1. Mendorong semua stakeholder yang ada di Indramayu dan khususnya Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk memiliki kepedulian terhadap peningkatan kapasitas BPD dalam rangka menumbuh kembangkan proses demokratisasi ditingkat Desa.
ABPEDSI dan RWD menyadari betul mengenai kondisi SDM Badan Permusyawaratan Desa seluruh Indramayu terkait proses demokratisasi di desa. Hal ini merupakan oto kritik ABPEDSI sebagai wadah komunikasi BPD se Kabupaten Indramayu dan kepedulian Rempug Wong Dermayu (RWD) untuk selanjutnya melakukan langkah-langkah pembaharuan dan peningkatan kapasitas keilmuan BPD. Upaya peningkatan skill BPD sebagai salah satu lembaga Pemerintahan Desa tersebut harus bermuara pada peningkatan kinerja sehingga proses demokratisasi di desa dapat berjalan dengan baik. Salah satu langkah untuk mewujudkannya adalah adanya kepedulian semua stakeholder, terlebih Pemerintah Daerah untuk melakukan serangkaian upaya yang bermuara pada cita-cita tersebut diatas.

2. Dalam rangka menumbuh kembangkan proses demokratisasi di Desa, salah satu wujud nyata adalah dihapusnya segala biaya pemilihan kuwu yang selama ini sebagian besar dibebankan kepada masyarakat (Calon Kuwu) selanjutnya wajib dibiayai oleh APBD dan bantuan APBDes.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam Pemilihan Kepala Desa sebagian besar biaya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada warga masyarakat (calon Kuwu), hal mana tidak berlaku bagi Pemilihan Kepala Eksekutif dari Pusat hingga Daerah dan Legislatif dari Pusat hingga Daerah. Sistem ini dipandang sebagai peluang yang bermuara pada kemunduran proses demokrasi di desa. Lebih jauh dari itu, karena system pemilihan formal yang tidak adil, maka kerap kali dijadikan bahan pembenaran (Justifikasi) bagi calon Kuwu terpilih untuk melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dalam hal pengelolaan keuangan desa –dimana- kepala desa adalah penanggung jawab pengelolaan keuangan desa.
Sebagai langkah inovasi, harus ada kamauan politik local (local political will) untuk mendorong hidupnya proses demokrasi di desa dengan cara menghapuskan biaya penyelenggaraan pemilihan kuwu dari calon kuwu, selanjutnya segala biaya penyelenggaraan pemilihan kuwu dibebankan kepada APBD dan Bantuan dari APBDes.

Rumus keuangan : Jumlah Desa x biaya pemilihan = Jumlah total
 302 desa x 40 juta = 12.080.000.000 (Dua Belas Milyar Delapan Puluh Juta rupiah

Angka tersebut diatas tidaklah sulit bagi keuangan daerah untuk mengalokasikannya jika Eksekutif Daerah dan DPRD memiliki komitmen besar mambangun demokrasi ditingkat desa menuju kemakmuran masyarakat desa.
Berdasarkan logika demokrasi, maka kost yang dikeluarkan oleh APBD dihubungkan dengan manfaat kehidupan demokrasi ditingkat desa, tidak ada alasan bagi Eksekutif Daerah dan DPRD untuk mengatakan “tidak cukup Anggaran Daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemilihan Kuwu di seluruh desa di Kabupaten Indramayu” tersebut. Hal ini merupakan langkah inovatif yang sangat terpuji untuk kemajuan masyarakat desa di Kabupaten Indramayu ke depan sehingga Visi REMAJA Kabupaten Indramayu dapat dirasakan manfaatnya. Lebih jauh, Kabupaten Indramayu ke depan dapat dijadikan Pilot Project skala Nasional sebagai Daerah Tingkat II yang pertama membebaskan biaya pemilihan kuwu dari anggota masyarakat (Calon Kuwu).

3. Mendesak pemkab Indramayu untuk memfasilitasi terciptanya produk - produk legislasi di tingkat desa yang berkeadilan dan kerakyatan dalam upaya percepatan Pembaharuan Pemerintahan Desa.

Dengan restrukturisasi kepemimpinan BPD seluruh Desa di kabupaten Indramayu, seyogyanya Pemerintah Kabupaten Indramayu bukan hanya selesai pada tahap pelantikan semata. Bayi yang baru lahir saja langsung diberi rangsangan serta ASI oleh Ibunya, oleh karenanya BPD sekarang ini ibarat bayi yang baru lahir yang membutuhkan rangsangan dari Pemerintah Kabupaten Indramayu sebagai upaya untuk menumbuhkan inovasi dan kreatifitas dalam menentukan langkahnya.
Peran Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam hal ini, wajib memberikan pembekalan yang representatif kepada BPD yang baru lahir demi keberlangsungan keberadaannya dan meningkatkan produktifitas kinerja untuk melahirkan produk – produk legislasi di Desa.

DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu bersama Rempug Wong Dermayu (RWD) berangkat dari rasa kepedulian, mengawali pemberian rangsangan kepada BPD yang baru lahir dengan mengadakan Workshop Perancangan Peraturan Desa, yang melibatkan peserta dari setiap utusan Kecamatan satu orang BPD. Namun hal ini kami sadari bahwa acara tersebut belum repesentatif dari seluruh desa di Kabupaten Indramayu. Oleh karenanya sebagai follow up atas dasar usulan peserta pada saat itu, pemerintah kabupaten Indramayu harus menindak lanjuti acara Workshop Perancangan Peraturan Desa yang diprakarsai oleh DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu dan Rempug Wong Dermayu (RWD).

4. Dalam upaya percepatan pembaharuan desa, Pemerintah Kabupaten Indramayu wajib mengkaji ulang tentang (politik anggaran) dana perimbangan keuangan Kabupaten – Desa yang rasional dan berkeadilan.
Perlu disadari bersama bahwa tumbuhnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan tolok ukur Pembangunan Daerah hingga Pembangunan Nasional adalah dari Desa. Tanpa Desa tidak mungkin ada Kabupaten/Kota, Pripinsi maupun Negara, kebudayaan nasional pastinya muncul dari Desa, hal ini merupakan wujud nyata bahwa Desa merupakan potensi yang sangat vital. Otonomi Daerah merupakan gerbang awal untuk meningkatkan potensi Desa.

Otonomi Daerah bukan hanya sebatas wacana, Reformasi Birokrasi bukan hanya sebatas konsep. Namun yang lebih penting bagaimana Pemerintah daerah memposisikan Desa sebagai embrio pertumbuhan Pembangunan Daerah hingga Nasional, yang harus dijaga dan di tingkatkan potensinya.

Pendapatan desa yang diamanatkan dalam pasal 68 diantaranya poin b dan c Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, bahwa paling sedikit 10% dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten / Kota dan dari retribusi daerah Kabupaten / Kota serta Alokasi Dana Desa paling sedikit 10% dari dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang diberikan ke Kabupaten/Kota yang dibagikan secara proporsional kepada seluruh desa.

Meninjau dari penjelasan pasal 68 poin b dan c bahwa ; Huruf b :Dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diberikan langsung kepada Desa. Dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa yang dialokasikan secara proporsional.

Huruf c : Yang dimaksud dengan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurang belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tigapuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD dan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Dengan demikian, perlu kiranya Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk mengkaji ulang bersama – sama Pemerintahan Desa ( Kuwu dan BPD ) dalam pemenuhan optimalisasi pendapatan desa, bukan hanya berpatokan pada batas minimal10% untuk ADD, akan tetapi sebagai wujud inovasi Pemerintah Kabupaten Indramayu guna mempercepat tumbuhnya pembaharuan desa dalam menopang pembangunan Daerah hingga Nasional harus ada keberanian untuk memberikan Alokasi Dana Desa lebih dari batas minimal yang konkritnya dari 10% menjadi 20% untuk seluruh desa di Kabupaten Indramayu.

5. BPD sebagai mitra Pemerintah Desa dan memiliki kedudukan yang sejajar secara yuridis formal dengan Pemerintah Desa, mendesak Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk meningkatkan insentif nominal bagi BPD sebagai langkah konkret untuk memberi daya rangsang kepada BPD dalam upaya peningkatan kinerja BPD.
Di Era Reformasi ini dimana kran demokrasi dibuka lebar-lebar, partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran (aspirasi) meningkat cukup signifikan. Badan Permusyawatan Desa (BPD) sebagai terminal aspirasi masyarakat di tingkatan Pemerintahan Desa dituntut bisa berfungsi secara efektif dan mampu menterjemahkan kemauan masyarakat dalam usaha membangun desanya. Tugas ini tidaklah ringan. Disamping keberadaan BPD masih dalam usia sangat muda, secara faktual, BPD kurang memiliki sensifitas dalam malakukan kerja-kerja politik, baik dalam tingkatan menyerap aspirasi maupun mengawal kebijakan Pemerintah Desa. Salah satunya disebabkan karena rendahnya sensifitas Politik Anggaran -baik tataran APBD Kabupaten terlebih ABPDes- yang memilki kecenderungan cukup untuk memberikan rangsangan secara manusiawi kepada Anggota BPD secara keseluruhan.

BPD sebagai bagian dari Pohon harapan masyarakat desa, agar dapat bekerja secara optimal untuk mewujudkan pembaharuan desa menuju kemandirian desa, hendaklah ada perhatian serius dalam persepsi anggaran yang memihak dan rasional, dalam hal ini Pemerintah Daerah untuk memberikan insentif secara layak dan manusiawi kepada BPD dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang semula 25% menjadi 40% dari 30% ADD untuk operasional Pemerintahan Desa. Serta adanya kepastian hak dari Pendapatan Asli Desa dengan proporsi untuk BPD 10% dari PADes.

Wednesday, January 06, 2010

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMI 2002-2003
STRUKTUR POLITIK, ELIT POLITIK DAN POLITIK PERTANIAN DI PEDESAAN

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
Dosen : Dr. Iberamsyah
Oleh : Tongato
NPM : 0101186002
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
Jakarta, 23 November 2002

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
A. ANALISA STRUKTUR POLITIK DESA DAN KELURAHAN
Struktur politik desa dan kelurahan merupakan struktur politik paling rendah dalam bangunan politik nasional. Meskipun demikian, struktur politik desa dan kelurahan mempunyai peran penting dalam bangunan struktur politik nasional. Sebab, disitulah kehidupan politik riil ada dengan segala dinamikanya. Berikut ini akan dianalisa struktur politik desa dan kelurahan.
Struktur Politik Desa
Perkataan desa hanya dikenal di pulau Jawa. Ada beberapa penyebutan lain yang merujuk pada pengertian desa, yaitu dusun, kuta, gampong, nagari dan seterusnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) udik atau dusun; (3) tempat; tanah; daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.1
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1, yang disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Pasal 94, Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif, yakni menjalankan amanat masyarakat desa yang tertuang dalam Peraturan Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh kepala desa yang telah dipilih secara langsung warga masyarakat desa untuk masa jabatan 8 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangakat desa yang berstatus pegawai negeri, seperti sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepala lingkungan.
Badan Perwakilan Desa adalah wakil-wakil masyarakat desa yang berada di tiap rukun warga. BPD menjalankan tugas sebagai badan legislatif. Dalam Pedoman Umum Pengaturan Desa, Kepmendagri disebutkan bahwa parlemen desa (BPD) beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Mereka adalah pemuka agama, adat, orsospol, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPD ini berhak menyatakan diri sebagai wakil rakyat di daerah rukun ketetanggaannya.
Gambaran seperti ini jelas akan memunculkan masalah yakni ketika ada perbedaan pendapat yang tak bisa dipecahkan tentang suatu masalah. Kepala desa bisa mengatasnamakan rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga BPD. Hal itu dikarenakan angota BPD merupakan wakil rakyat yang dipilih. Dan masalah seperti ini akan diperumit lagi dengan adanya pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa BPD bisa “memecat” kepala desa. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan kepala desa sebetulnya belum sepenuhnya otonom.
Struktur Politik Kelurahan
Kalau pengertian desa merujuk pada suatu wilayah di pedalaman/luar kota, maka pengertian kelurahan lebih pada wilayah perkotan. Dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Ibukota Negara Republik Indonesia, Bab V, pasal 24 dan pasal 27 disebutkan bahwa pemerintah kelurahan terdiri dari Pemerintahan Kelurahan dan Dewan Kelurahan.
Pemerintahan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sebagai eksekutif pemerintahan. Dalam tugas sehariu-harinya, lurah dibantu perangkat kelurahan yang juga berstatus pegawai negeri. Lurah diangkat oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur. Kedudukan lurah cukup kuat. Ia tak bertanggung-jawab kepada Dewan Kelurahan, tapi kepada atasannya, yaitu camat, bupati/walikota dan gubernur.
Sementara itu, Dewan Kelurahan merupakan badan legislatif. Keanggotaannya adalah wakil-wakil masyarakat yang berada di tiap rukun warga. Fungsi Dewan Kelurahan adalah membantu lurah dalam menampung aspirasi warga, memberikan usul dan saran kepada lurah, menjelaskan kebijakan pemerintah, membantu dalam hal pemberdayaan masyarakat, termasuk juga mengajukan anggota dewan kota/kabupaten.2
Kedudukan Dewan Kelurahan dan Pemerintahan Kelurahan yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, lurah sebagai pegawai negeri, kedudukannya sangat kuat. Lurah bisa saja mengabaikan begitu saja saran atau usul Dewan Kelurahan terhadap suatu masalah yang kiranya akan merugikan kepentingannya. Ia tidak takut untuk “dipecat” karena ia berpedoman pada kepatuhan sebagai pegawai negeri yang harus tunduk kepada atasannya. Selain itu juga, Dewan Kelurahan tidak mempunyai kekuatan politik apa-apa seandainya saran atau usul kurang/tidak diperehatikan lurah. Dengan demikian, lurah sebetulnya berkedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di atasnya, ia tak harus tunduk pada dewan Kelurahan.
Sementara itu, tumbuh kesan bahwa keberadaan Dewan Kelurahan hanyalah sebagai “tempelan” saja. Dewan Kelurahan ada, namun tak mempunyai kekuatan politik dalm ikut menentukan jalannya pemerintahan kelurahan. Disisi lain, Dewan Kelurahan juga lemah kedudukannya karena tidak bisa menentukan anggaran pembangunan. Masalah anggaran sepenuhnya berada di tangan lurah. Pengawasan terhadap lurah dalam maslah anggaran juga tak bisa dilakukan. Sebab lurah hanya bisa bertanggung jawab kepada atasannya, bukan kepada Dewan Kelurahan. Dengan demikian, hadirnya Dewan Kelurahan yang dimaksudkan untuk kemandirian dan partisipasi masyarakat di era otonomi ini belum tercapai secara maksimal.
B. ANALISA PERANAN ELITE FORMAL DAN INFORMAL DESA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993) kata elite mempunyai dua pengertian, yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kelompok-kelompok elit ini sifatnya sangat heterogen.3 Mereka terdapat dalam komunitas agama, politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Kedudukan mereka sebagai ekit bisa berubah sesuai dengan situasi dan dengan siapa mereka mengadakan interaksi. Pola interaksi, akomodasi, konflik dan lain sebagainya.4
Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik , memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya.5 Mereka ini ada yang berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa, kepala hansip, ketua RW dan ketua RT. Sedangkan elite informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa.6 Mereka itu bisa kyai, guru, militer, orang kaya dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menganalisis peranan kepala desa sebagai elit formal dan kyai sebagai elit informal di pedesaan sebagai contoh.
Peranan Kepala Desa
Peranan kepala desa dalam struktur masyarakat desa sangat besar. Hal ini karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masyarakatnya masih bercorak paternalistik. Oleh karena itu apa yang dianggap baik dan benar, yang dianjurkan, yang dikatakan dan dilakukan oleh kepala desa merupakan pedoman dan contih langsung bagi “anak buahnya” untuk melakukan tindakan yang sama.7
Seorang kepala desa, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya. Kepala desa adalah patron bagi masyarakat desa. Agar kepala desa mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya, ia selau mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya secara geneologis dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam kasus pengaitan geneologis ini juga dilakukan dengan nenek moyangnya yang pernah menjadi kepala desa dahulu.8
Pengaitan secara geneologis ini dimaksudkan untuk memperkuat perannya dalam memegang kekuasaan dan wewenang. Sebab tanpa legitimasi tersebut, maka perannya sebagai pemimpin tertinggi desa akan hilang.
Selain dengan mengaitkan secara geneologis, kepala desa sejak tahun 1950-an juga memanfaatkan berbagai kekuatan sosial politik , seperti partai plitik. Semasa Orde Baru, demi tegaknya legitimasi kedudukannya, para kepala desa mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan Karya (Golkar). Oleh karena itu, tak aneh bila Golkar memperoleh kemenangan di hampir seluruh desa di Indonesia. Mereka mempunyai target kemenangan bagi Golkar di desanya.9 Ini nampaknya sebagai imbalan atas keterkaitannya dengan Golkar yang telah memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan.
Dalam proses pembangunan desa, peran kepala desa juga sangat besar. Menurut pengamatan Hofsteede (1992) terhadap peran kepala desa di 4 desa di Jawa Barat membuktikan hal itu. Para kepala desa yang diteliti menunjukkan bahwa mereka sebagai pengambil prakarsa dalam suatu proyek pembangunan. Mereka mendiskusikan dan seterusnya merapatkan dalam rapat desa untuk mengambil keputusan pelaksanaan suatu proyek.
Ada beberapa faktor yang menyebabakan peran kepala desa demikian besar, yaitu pertama, kepala desa dokebanyakan desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. Mereka bagaikan raja-raja kecil di desanya. Hal itu ditambah sikap masyarakat yang bersifat patenalistik.
Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil pemerintah di desa. Hal ini karena bupatilah yang membuat keputusan akhir dan memberi surat pengangkatannya, meskipun kepala desa dipilih oleh rakyat secara langsung.10
Peranan Kyai
Kyai merupakan sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang menguasai dan mempraktekkan ajaran agama Islam secara ketat. Kyai sebagai tokoh informal juga mempunyai peran yang sangat besar.
Peran utama kyai adalah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan fatwa agama tentang masalah keyakinan dan praktik keislaman masyarakat. Otoritas ini diperkuat dengan adanya masyarakat yang paternalistik dan hubungan antarkyai.11 Di desa-desa Jawa, para kyai mempunyai hubungan kuat dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini merupakan sarana mempromosikan kyai dalam kepemimpinan lokal bahkan nasional.
Selain itu, hubungan antarkayai yang biasanya tergabung dalam organisasi NU, para kyai dalam usaha menambah klaim kekuasaan dan wewenangnya adalah jamaah Islam. Semakin besar jumlah jamaah yang berada di belakangnya, maka semakin berpengaruhlah kyai tersebut.12
C. ANALISA POLITIK PERTANIAN DI DESA
Politik pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian. Ada dua metode dalam mempelajari politik pertanian,13 yaitu pertama, melalui analisa teknik ekonomi. Melalui teknik ini, kita dapat mempergunakan berbagai teori ekonomi untuk merumuskan politik pertanian, melaksanakan dan menilainya. Alat penilai yang paling sering dipakai dalam hal ini adalah analisis benefit-cost yang mudah dilakukan untuk memulai berbagai proyek-proyek investasi.
Kedua, melalui analisis kelembagaan. Artinya, politik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan dengan mana alokasi sumber daya terjadi dan diusahakan. Dalam definisi Tinbergen, politik pertanian macam ini termasuk politik pertanian kualitatif. Hal ini dikarenakan menyangkut perubahan lembaga.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mempergunakan analisis kelembagaan yang diterapkan terhadap politik beras sebagai salah satu bagian dari politik pertanian. Pemerintah melihat bahwa masalah perberasan merupakan masalah yang sangat vital. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Jika masalah beras ini tak dikelola secara baik, bisa saja hal itu menjadi isu politik yang mampu menggiyahkan sendi kekuasaan pemerintah.
Melihat begitu pentingnya masalah perberasan, maka pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) tahun 1969 yang mempunyai tugas utama melaksanakan politik beras.14 Sasaran utama Bulog adalah mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/padi, baik secara langsung melaui pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar bebas maupun melaui kebijakan stok beras.
Setelah mengeluarkan kebijakan mempertahankan harga maksimum dan minimum, pemerintah kemudian meletakkan kebijakan harga penyangga (support price) untuk memberikan perangsang pada petani padi. Hal ini dicapai antara lain dengan apa yang dikenal dengan rumus tani, yaitu satu kilogram pupuk ures dijual pemerintah kepada petani dengan harga yang sama dengan satu kilogram beras. Kebijakan ini ditanggapi positif para petani sehingga pada pertengahan tahun 1972 pemerintah bahkan merasa khawatir akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan terget produksi.
Kekhawatiran tersebut di atas ternyata tak terbukti, karena pada tahun yang sama terjadi kegagalan panen akibat kemarau panjang. Meskipun demikian, kebijakan peningkatan produksi beras lebih dikenal dengan Bimas (bimbingan massal) tetap berhasil meningkatkan produksi beras rata-rata 4,7% per tahun dalam Pelita I, walaupun harus diakui tidak sampai pada terjadinya swasembada beras.
Tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Pelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Saat itu pemerintah mengimpor beras (hampir 30% dari seluruh beras yang dipasarkan di pasaran dunia). Keadaan ini membuat pemerintah mengadakan perubahan kebijakn pada Pelita II. Sasrannya bukan lagi pada swasembada beras, akan tetapi swasembada pangan, yaitu dengan terutama berusaha mencapai terget pemenuhan kalori dan protein yang dapat dipenuhi dari berbagai bahan pangan seperti jagung, ketela, sagu dan tanaman kacang-kacangan. Disini titik tekan kebijakan pemerintah bukan lagi pada beras, tapi bahan pangan pokok secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut didasrkan pada realitas bahwa sebagian penduduk Indonesia makanan pokoknya ada yang non beras. Selain itun juga adanya potensi pangan yang besar di luar beras.15 Contohnya, Irian Jaya dan Maluku yang penduduk aslinya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Daerah-daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Jadi dsini yang penting adalah pemenuhan kalori yang dapat dipenuhi oleh makanan pokok selain beras. Masalahnya adalah di beberapa daerah yang makanan pokoknya non beras malah sulit memperoleh bahan makanan tersebut dibanding dengan beras. Selain itu sudah tercipta imej dalam masyarakat Indonesia bahwa makan beras identik dengan kemajuan. Masyarakat yang makanan pokoknya non beras dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan.***

Daftar Pustaka

Hofsteede, W.M.F., Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992

Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa. Yogyakarta: Media Pressindo, 2000

Mas’oed, Mohtar & Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991

Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987

Nurhadi, Robi, “Desaku Sayang, Kelurahanku,” makalah diskusi Program Pascasarjana Ilmu Politik UNAS, 2002

Prisma No. 10, Oktober 1982

Suhartono dkk., Politik Lokal, Yogyakarta: Lapera, 2001

Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999

Syamsuddin, Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998

Tholkhah, Imam, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001



1 Suhartono dkk. Politik Lokal. Yogyakarta: Lapera, 2001 h 9
2 Robi Nurhadi, “Desaku Sayang, Kelurahamku Malang” makalah presentasi di depan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS.
3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999 h. 76
4 M Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit dalam Perspektif Sejarah,” dalam M Mashur Amin et al. Kelompok Elit Dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jalarta: YIIS, 1988 h. 12
5 Gaetamo Mosca seperti dikutuip Robert D. Putman,”Studi Perbandingan Elit Politik,” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, l991 h. 77.
6 W.M.F. Hofsteede, Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 h. 47 – 48.
7 M Syahbudin Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, Yogyakarta: Media Pressindo, 2000 h. 19
8 Ibid h. 13 – 14.
9 Syamsuddin Haris, (ed.) Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998 h 166 – 167.
10 Prijono Tjiptoherijanto & Yumiko M. Prijono. Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983 h. 91.
11 Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, h. 78.
12 Ibid h. 78 – 79.
13 Mubyarto, Politik Pertanian & Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987 h. 69 – 70.
14 Uraian tentang politik beras dengan segala aspeknya dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari Mubyarto, op cit hal. 72 – 78.
15 M. Satari, “ Produksi Beras Masih Salah Arah,” dalam Prisma No. 10, Oktober 1982 h. 59 – 61.
 
POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA