SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN

Monday, December 07, 2009

PAUD Sebuah Catatan

PAUD singkatan dari Pendidikan Anak Usia Dini. Tetapi, cakupan persoalannya tidak sependek singkatannya. Sebagai contoh, sesuai Pasal 28 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa PAUD mencakup usia 0-6 tahun. Namun ketika Anda bertanya: mengapa urusan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) yang mendidik anak-anak usia 4-6 tahun tidak dimasukkan ke Direktorat PAUD? Nah, jawabannya bisa panjang.

Meski PAUD di Indonesia usianya terbilang sangat muda, yaitu sejak 1997/1998 melalui proyek Bank Dunia, namun program ini cepat menyeruak ke jajaran isu pendidikan papan atas. Bahkan kini PAUD menjadi salah satu dari 10 program prioritas Departemen Pendidikan Nasional.

Sejumlah tokoh penting, mulai pimpinan organisasi wanita (Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, PKK, Bhayangkari, dan lain-lain), dokter, pakar dari perguruan tinggi, birokrat, hingga istri-istri gubernur, walikota/bupati, camat, sampai lurah, terlibat aktif dalam perancangan dan pelaksanaan program PAUD. Pendeknya, demam PAUD kini tengah melanda seantero negeri. Puluhan ribu lembaga PAUD sudah didirikan, yang menyodok sampai di perkampungan-perkampungan pelosok. Boleh jadi, Dr. Gutama, Direktur PAUD Depdiknas, tersenyum lega menyaksikan perkembangan PAUD yang luar biasa dahsyat ini.

Lantaran mencakup usia 0-6 tahun, PAUD meliputi formal (TK) dan nonformal (Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Minggu, Taman Pendidikan Al-Qur’an, Pos PAUD, dan lain-lain). Kehadiran pendidikan nonformal, secara teoritis-filosofis dimaksudkan sebagai komplemen pendidikan formal. Namun dalam pelbagai kasus kita jumpai di lapangan, antara pendidikan formal dan nonformal tidak jarang berada dalam posisi yang saling berhadapan.

Begitu juga PAUD formal dan nonformal. Fakta di lapangan menunjukkan dengan gamblang bahwa perseteruan diam-diam kerap terjadi antara mereka yang mengurusi PAUD formal dan nonformal. Persoalannya, bagaimana mencari upaya secara cerdas untuk meredakan ketegangan itu, dan semuanya dipersembahkan untuk optimalisasi layanan pendidikan bagi anak.

Asumsi-asumsi yang mengemuka di lapangan yang menganggap bahwa TK itu elitis, mahal, formalistik, kaku, hingga pemaksaan penyeragaam terhadap keunikan anak, mestinya tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Begitu pula sebaliknya, PAUD nonformal yang dianggap katrok alias ndeso, ala kadarnya, asal jalan, tak punya standar, juga perlu mendapat perhatian serius.

Tampaknya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengambil nilai-nilai positif yang terdapat pada TK dan PAUD nonformal, kemudian dipadu menjadi satu adonan yang enak dicerna. Sementara nilai-nilai negatifnya dibuang jauh-jauh. Langkah yang dilakukan Dr. Rasiyo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, untuk mengintegrasikan TK dan PAUD nonformal agaknya patut disambut positif. Sehingga dikotomi PAUD formal dan nonformal, yang sebenarnya membingunkan dan semakin menumbuhkan pertentangan, pada akhirnya bisa dihilangkan.

Perkembangan PAUD nonformal yang luar biasa pada gilirannya membutuhkan banyak guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum siap. Dari ratusan ribu guru PAUD, boleh jadi 90% lulusan SMA sederajat. Padahal, potensi anak usia dini akan berkembang optimal jika mendapat rangsangan secara tepat. Jika gurunya tidak paham tentang anak, bagaimana bisa optimal? Apalagi honor mereka sebulan ada yang cuma Rp 30.000.

Inilah dilema raksasa yang dihadapi program PAUD. Kondisi ini bisa dibandingkan dengan periode tahun 1970-an hingga 1980-an. Saat itu, untuk menggenjot perluasan akses pendidikan sekolah dasar, pemerintah membangun ratusan ribu SD melalui proyek SD Inpres. Untuk memenuhi gurunya, diangkat ratusan ribu guru yang juga dinamakan Guru Inpres.

Apa yang terjadi? Karena kebutuhan guru baru banyak, sementara suplai lulusan SPG sedikit, maka lulusan SMP, STM, SMA, bahkan SD rame-rame diangkat jadi guru SD. Misalnya, pada tahun 1985/1986 terjadi pengangkatan guru SD secara spektakuler, yaitu 141.324 guru. Padahal kemampaun SPG waktu itu cuma menghasilkan sekitar 31.000 lulusan. Praktis, sisanya yang sekitar 110.000 berasal dari non SPG. Mereka dilatih, toh tak memberi hasil optimal. Inilah yang dianggap sebagai salah satu biang kerok bobroknya mutu pendidikan dasar kita hingga sekarang. Hal itu mesti menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait kebutuhan guru PAUD dewasa ini.

Sembari menunggu kebijakan baru untuk mengatasi kekurangan dan mutu guru PAUD nonformal, agaknya langkah darurat yang perlu segera diambil adalah menyediakan tenaga pendamping bagi para guru PAUD untuk lebih memahami tentang anak, teknik mengajar yang tepat, teknik bermain, hingga bagaimana cara mengatasi jika ada persoalanyang muncul. Tenaga itu harus stan by dan siap diminta bantuan kapan saja. Mestinya tugas itu dilakukan oleh penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Tetapi, apakah kualifikasi dan kompetensi mereka memadai?

Oleh karena itu, agaknya perlu ditaruh tenaga psikolog anak, misalnya di setiap kecamatan. Mereka menjadi pendamping sekaligus memberi training kepada guru. Dengan demikian, urusan teknis pembelajaran bisa diselesaikan secara cepat, tepat, dan secara akademis bisa dipertanggungjawabkan. Juga sekaligus untuk mencegah stigma bahwa PAUD nonformal dikelola asal-asalan. Saiful Anam

No comments: