SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN

Thursday, March 03, 2011

Friday, October 29, 2010

Menjawab Kegelisahan Perangkat Desa

Perjuangan Perangkat Desa untuk menuntut persamaan nasib dengan rekan sejawatnya yaitu Sekretaris Desa yang telah lebih dahulu diangkat PNS berdasar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sering mendapat kritikan, hambatan dan gangguan. Kritikan, hambatan dan gangguan yang dilontarkan atau dilakukan oleh pihak di luar Perangkat Desa dan lebih dikarenakan belum adanya kesamaan pandangan dan pengertian perjuangan perangkat desa.

Tulisan ini mencoba memberikan jawaban kegelisahan dan kegundahan dari para pihak yang kurang sependapat karena mungkin kurang mengerti dan memahami perjuangan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI). Beberapa pernyataan dan pertanyaan yang sempat terlontar, akan saya coba untuk memberikan penjelasannya.

PPDI Mimpi dan Melakukan Pembohongan
  • Tidak ada mimpi harus dilakukan oleh setiap orang untuk mencapai sebuah harapan sebuah perbaikan dari kondisi yang diterima saat ini. Si miskin bermimpi untuk kaya, si papa bermimpi untuk berdaya, buruk rupa bermimpi untuk cantik jelita. Mimpi mimpi itu pasti sekedar mimpi bila tidak dilakukan usaha untuk meraihnya. Dulu kita selalu katakana bermimpi kalau orang bisa mencapai rembulan, tetapi dengan usaha keras dan cerdas dari para pemikir antariksa, sekarang apabila kita mempunyai dana dan kesiapan fisik serta mental, wisata ke bulan pun dapat dilakukan. Jadi sampai saat ini memang benar, Perangkat Desa diangkat PNS adalah mimpi, tetapi dengan kerja keras dan cerdas serta tentunya Tuhan mengijinkan, maka Perangkat Desa menjadi PNS bukanlah mimpi belaka.
  • Pembohongan, sering dilontarkan oleh para pihak atas perjuangan PPDI. Sejauh yang saya tahu dan Alhamdulillah, dengan adanya media teknologi informasi yang semakin mudah dan murah, maka dapat saya pastikan tidak ada usaha pembohongan atas kerja PPDI selama yang saya ikuti. Semua informasi capaian adalah sebuah realitas dan dapat dilihat bukti kongkritnya. Mungkin akan benar menjadi pembohongan bila PPDI mengatakan Perangkat Desa “pasti” diangkat PNS, karena belum secara legal formal Undang Undang itu menyebutkan. Oleh karenanya, Perangkat Desa diangkat PNS adalah sebuah usaha besar dan berat bagi PPDI, bukan pembohongan oleh PPDI.
Pemerintah Tidak Akan Mampu Mendanai
  • Kita kadang memandang begitu besar biaya yang harus ditanggung APBN atas pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS, sementara dari hasil audiensi dengan Departemen Keuangan dengan Direktur EPIKD dan Kasudit Evaluasi Keuangan Daerah (Bapak Putut) Rabu Pagi, 22 September 2010, menyangkut usulan PPDI untuk Perangkat Desa diangkat PNS, telah dilakukan simulasi penghitungan beban APBN yang dimiliki oleh Pemerintah.
  • Dalam simulasi yang diperkirakan kebutuhan untuk mengangkat Perangkat Desa menjadi PNS adalah sebesar Rp 12 Trilyun, pihak EPIKD memberikan gambaran bahwa dana itu bisa dianggap besar, bisa juga dianggap kecil. Hal ini dari kondisi keuangan negara yang memiliki APBN senilai Rp 1.300 Trilyun, sebenarnya pemerintah hanya bisa menggunakan anggaran dengan leluasa lebih kurang 10% yaitu Rp 130 Trilyun, dimana sudah masuknya anggaran yang 90% untuk subsidi BBM, Pendidikan, pembayaran utang, transfer daerah, belanja pembangunan, dan lain lain. Jadi dengan kata lain asal ada kemauan politik, anggaran negara mampu untuk mencukupi pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS.
Adat Istiadat dan Otonomi Desa Akan Hilang Ketika Perangkat Desa Diangkat PNS
  • Hilangnya adat istiadat atau otonomi desa bukan disebabkan oleh pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS. Hilangnya sebuah adat istiadat hanya terjadi karena kehendak bersama dari masyarakat desa itu sendiri. Keengganan melakukan adat dan tradisi bisa juga disebabkan oleh kesadaran atas tidak tepatnya tradisi itu dipertahankan atau hal lain. Seumpama adat potong ruas jari ketika ada keluarga meninggal dunia di Papua, pembelajaran bersenggama bagi pengantin pria yang dilakukan oleh seorang perempuan yang disebut Gowok di Banyumas, adalah contoh adat yang hilang atas kesepakatan masyarakat. Bahkan dukungan dari Pemerintah Kabupaten/Kota atau Provinsi yang dalam hal ini seluruh pejabatnya PNS di luar Kepala Daerahnya ada yang sadar dan mampu menghidupkan kembali adat tradisi dengan anggarannya meski terkadang hanya dijadikan agenda wisata. Jadi Perangkat Desa diangkat PNS atau tidak, tidak ada kaitannya dengan hilangnya adat.
  • Desa dahulu adalah wilayah yang merdeka (perdikan), dimana desa mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, dan Kepala Desa tidak diatur dalam masa jabatan tertentu, sampai sampai dulu Kepala Desa di Jawa sering disebut ”Bupati Cilik” karena otorisasinya yang besar atas wilayahnya. Ini semua sudah hilang.
  • Mochammad Hatta dalam Kongres Pamong Praja di Solo tahun 1955 melontarkan pandangann yang dikenal sebagai Konsepsi Hatta Tentang Otonomi. Bung Hatta mengatakan bahwa sebaik-baiknya otonomi apabila diletakkan pada Kabupaten/Kota serta Desa, sedangkan Provinsi bersifat administratif belaka. Pemikiran Hatta untuk memperkuat Desa tidak lepas dari kenyataan bahwa Desa pada masa itu merupakan tempat kehidupan dan penghidupan masyarakat. Dengan memperkuat Desa berarti mendekatkan pelayanan Pemerintahan pada unit yang terdekat dengan masyarakat.
  • Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi Nomor 7 yang menekankan adanya otonomi bertingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Desa atau dengan nama lain yang sejenis. Isi selengkapnya dari rekomendasi Nomor 7 yaitu sebagai berikut : Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap Provinsi, Kabupaten/Kota, Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya.
  • Jadi sebenarnya di Indonesia telah menyepakati otonomi Desa, atau daerah otonom tingkat III, dan bila konsep otonomi desa ini diberlakukan maka seluruh Perangkat Desa (Kepala Desa tidak termasuk di dalamnya) merupakan sepantasnya dan tepatnya diangkat PNS. Jadi tuntutan Perangkat Desa untuk diangkat PNS justru menjadi salah satu alat dorong untuk menuju Desa bisa menjadi otonom/ dan konsep otonomi tingkat III dapat dimulai.
Indonesia Akan Menjadi Negara PNS
  • Adanya pandangan bahwa pengangkatan ratusan ribu Perangkat Desa menjadi PNS akan membuat Indonesia menjadi negara PNS, menurut saya agak berlebihan. Tahun ini Kemendagri sedang menyelesaikan masalah rasio PNS. Untuk menentukan rasio ideal, tak bisa semata-mata dilihat jumlah PNS dengan penduduknya tetapi juga luas wilayah suatu daerah, termasuk aksesabilitas dan transportasi. Setelah adanya rasio ideal daerah yang ditetapkan, maka kita baru bisa melihat apakah Perangkat Desa diangkat PNS menjadikan rasio PNS terlalu tinggi atau tidak.
  • Dalam konsepsi reformasi birokrasi yang diterapkan, salah satu yang akan dilaksanakan adalah Minimal Structure dan Maximal Function di tingkat Pusat. Untuk tingkat daerah dan Desa pastilah disesuaikan dengan kebutuhan melihat pada kondisi jumlah penduduk, luas wilayah dan aksestabiltasnya. Jadi jangan serta merta menghakimi bila Perangkat Desa diangkat menjadi PNS, Indonesia menjadi negara PNS.
Desa Akan Berubah Menjadi Kelurahan
  • Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan kelurahan dalam hak mengatur wlayahnya sangat terbatas, salah satunya tidak lagi dikenal hak asal-usul dan adat istiadat. Desa dapat berubah menjadi Kelurahan dengan kesepakatan dari warga masyarakat.
  • Dengan Perangkat Desa diangkat menjadi PNS tidak otomatis Desa berubah menjadi Kelurahan, karena pimpinan wilayah masih Kepala Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat. Perubahan menjadi Kelurahan apabila Kepala Desa diangkat menjadi PNS atau diisi PNS dan menjadi Kepala Kelurahan.
Semoga catatan kecil ini bisa memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana memahami semangat Perangkat Desa untuk diangkat PNS. Beberapa pertanyaan lain yang sempat ada beredar akan coba saya berikan penjelasan dari prespektif saya sebagai penasehat PPDI.


Ketua Dewan Penasehat Pengurus Pusat PPDI

Koleksi Foto : Solichin   (PPDI Purworejo)

Sunday, June 13, 2010

Menuju Otonomi Rakyat Desa

Menuju Otonomi Rakyat Desa

(Catatan dari Workshop Teknik Pembuatan Peraturan Desa) 

ABPEDSI sebagai agen Pembaharuan Desa
Indramayu memiliki 303 desa dan 8 kelurahan yang tersebar di 31 Kecamatan. Otonomi Desa yang merupakan amanat dari Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 semestinya dijalankan sesuai dengan maksud yang terkandung didalamnya. Kenyataanya, Otonomi Desa masih sebatas wacana belaka. Kini saatnya Otonomi Desa dijabarkan ditingkat lapangan sesuai dengan maksud dan tujuannya. Caranya? Sudahi wacana!!! Mari kita bekerja!!! Bekerja untuk Pembaharuan Desa.

Tanggal 2 Juni 2007 dilangsungkan Workshop Tekhnik Pembuatan Peraturan Desa bertema : ”Penguatan Partisipasi Masyarakat Desa Dalam Mewujudkan Kemandirian Pemerintahan Desa” diselenggarakan DPD ABPEDSI (Assosiasi Badan Permusyawaratan Desa Seluruh Indonesia) Kabupaten Indramayu bekerja sama dengan Rempug Wong Dermayu (RWD) bertempat di Aula Islamic Centre Indramayu. Acara ini dibuka oleh ASDA I Setda Pemkab Indramayu dengan diikuti 26 orang anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) utusan dari Perwakilan Kecamatan se-Wilayah Kabupaten Indramayu. Ketika memberikan sambutannya, ASDA I menyatakan :

“Di Era dibukanya kran demokrasi, partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran meningkat cukup signifikan, Badan Permusyawatan Desa (BPD) sebagai terminal aspirasi masyarakat desa di tingkatan Pemerintahan Desa semestinya bisa berfungsi secara efektif dan mampu menterjemahkan kemauan masyarakat untuk usaha membangun desanya“.

Sementara Saefudin, BA (Ketua ABPEDSI Kab. Indramayu) mengatakan bahwa acara workshop ini merupakan kepedulian ABPEDSI dan RWD Kabupaten Indramayu yang diharapkan mampu mendorong setiap anggota BPD untuk memiliki persepsi yang sama dalam mewujudkan Otonomi Desa menuju perwujudan Pembaharuan Desa.

Ada persoalan klasik yang mengemuka diarena workshop yaitu mengenai kesulitan bagi BPD untuk membangun kemitraan dengan Eksekutif Desa (Pemerintah Desa/ Kuwu) secara normatif, sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 maupun Perda Nomor 8 Tahun 2006 yang mengatur secara khusus Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Menurut kajian peserta workshop, bila mempelajari tata aturan perundangan yang berlaku, maka Tupoksi (tugas pokok dan fungsinya) Kuwu disamping melaksanakan tugas perbantuan dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah, juga berkewajiban menjalankan aspirasi warganya dan selanjutnya direduksi dalam suatu Peraturan Desa (Perdes). Kenyataannya, terdapat banyak desa yang belum memiliki Perdes, setidaknya belum memiliki Perdes yang baik, akomodatif serta sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Padahal, Peraturan Desa merupakan payung hukum untuk menjalankan kebijakan pembangunan di desanya. Lain halnya dengan Peraturan Desa yang mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB-Des) memang dibuat secara rutin oleh Kuwu.

Gambaran tersebut hampir dialami seluruh Penyelenggara Pemerintahan Desa di Kabupaten Indramayu. Hal ini mengemuka dan disuarakan peserta dalam acara dialog peserta. Apa yang semestinya menjadi solusi perbaikannya ? adalah sebuah pertanyaan yang belum bisa terjawab, sejak diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah hingga kini.

Ali Mustadi Sekjen RWD (Rempug Wong Dermayu) – menyatakan bahwa terpuruknya kondisi penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam memberikan pelayanan publik bersumber pada rendahnya tingkat keilmuan yang dimiliki oleh pelaku Pemerintahan Desa. Untuk itu dipandang perlu adanya peningkatan skill kepemimpinan serta perubahan paradigma secara utuh khususnya para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

Sedangkan Golib Munawar, SH (Pemateri Bedah Perda Nomor 8 Tahun 2006) menilai pesimis terhadap usaha-usaha para pihak dalam mewujudkan Otonomi Desa secara bottom up. Salah satu kendalanya adalah kompetensi Kuwu sebagai pemimpin di desanya untuk menterjemahkan aspirasi masyarakat yang dipimpinnya masih belum merata. Lebih lanjut Golib Munawar mengungkapkan bahwa solusi jalan pintas guna mewujudkan Pembaharuan Desa di Indramayu adalah adanya political will dari Pejabat Politik di tingkat Daerah.

Di akhir acara para peserta yang merupakan perwujudan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) se-Kabupaten Indramayu merekomendasikan kepada DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu bersama Rempug Wong Derrmayu (RWD) untuk menyuarakan terwujudnya Pembaharuan Desa menuju keadilan sosial bagi masyarakat desa.

Diantara rekomendasinya adalah sebagai berikut :
1. Mendorong semua stakeholder yang ada di Indramayu dan khususnya Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk memiliki kepedulian terhadap peningkatan kapasitas BPD dalam rangka menumbuh kembangkan proses demokratisasi ditingkat Desa.
ABPEDSI dan RWD menyadari betul mengenai kondisi SDM Badan Permusyawaratan Desa seluruh Indramayu terkait proses demokratisasi di desa. Hal ini merupakan oto kritik ABPEDSI sebagai wadah komunikasi BPD se Kabupaten Indramayu dan kepedulian Rempug Wong Dermayu (RWD) untuk selanjutnya melakukan langkah-langkah pembaharuan dan peningkatan kapasitas keilmuan BPD. Upaya peningkatan skill BPD sebagai salah satu lembaga Pemerintahan Desa tersebut harus bermuara pada peningkatan kinerja sehingga proses demokratisasi di desa dapat berjalan dengan baik. Salah satu langkah untuk mewujudkannya adalah adanya kepedulian semua stakeholder, terlebih Pemerintah Daerah untuk melakukan serangkaian upaya yang bermuara pada cita-cita tersebut diatas.

2. Dalam rangka menumbuh kembangkan proses demokratisasi di Desa, salah satu wujud nyata adalah dihapusnya segala biaya pemilihan kuwu yang selama ini sebagian besar dibebankan kepada masyarakat (Calon Kuwu) selanjutnya wajib dibiayai oleh APBD dan bantuan APBDes.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam Pemilihan Kepala Desa sebagian besar biaya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada warga masyarakat (calon Kuwu), hal mana tidak berlaku bagi Pemilihan Kepala Eksekutif dari Pusat hingga Daerah dan Legislatif dari Pusat hingga Daerah. Sistem ini dipandang sebagai peluang yang bermuara pada kemunduran proses demokrasi di desa. Lebih jauh dari itu, karena system pemilihan formal yang tidak adil, maka kerap kali dijadikan bahan pembenaran (Justifikasi) bagi calon Kuwu terpilih untuk melakukan perbuatan-perbuatan tidak terpuji dalam hal pengelolaan keuangan desa –dimana- kepala desa adalah penanggung jawab pengelolaan keuangan desa.
Sebagai langkah inovasi, harus ada kamauan politik local (local political will) untuk mendorong hidupnya proses demokrasi di desa dengan cara menghapuskan biaya penyelenggaraan pemilihan kuwu dari calon kuwu, selanjutnya segala biaya penyelenggaraan pemilihan kuwu dibebankan kepada APBD dan Bantuan dari APBDes.

Rumus keuangan : Jumlah Desa x biaya pemilihan = Jumlah total
 302 desa x 40 juta = 12.080.000.000 (Dua Belas Milyar Delapan Puluh Juta rupiah

Angka tersebut diatas tidaklah sulit bagi keuangan daerah untuk mengalokasikannya jika Eksekutif Daerah dan DPRD memiliki komitmen besar mambangun demokrasi ditingkat desa menuju kemakmuran masyarakat desa.
Berdasarkan logika demokrasi, maka kost yang dikeluarkan oleh APBD dihubungkan dengan manfaat kehidupan demokrasi ditingkat desa, tidak ada alasan bagi Eksekutif Daerah dan DPRD untuk mengatakan “tidak cukup Anggaran Daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemilihan Kuwu di seluruh desa di Kabupaten Indramayu” tersebut. Hal ini merupakan langkah inovatif yang sangat terpuji untuk kemajuan masyarakat desa di Kabupaten Indramayu ke depan sehingga Visi REMAJA Kabupaten Indramayu dapat dirasakan manfaatnya. Lebih jauh, Kabupaten Indramayu ke depan dapat dijadikan Pilot Project skala Nasional sebagai Daerah Tingkat II yang pertama membebaskan biaya pemilihan kuwu dari anggota masyarakat (Calon Kuwu).

3. Mendesak pemkab Indramayu untuk memfasilitasi terciptanya produk - produk legislasi di tingkat desa yang berkeadilan dan kerakyatan dalam upaya percepatan Pembaharuan Pemerintahan Desa.

Dengan restrukturisasi kepemimpinan BPD seluruh Desa di kabupaten Indramayu, seyogyanya Pemerintah Kabupaten Indramayu bukan hanya selesai pada tahap pelantikan semata. Bayi yang baru lahir saja langsung diberi rangsangan serta ASI oleh Ibunya, oleh karenanya BPD sekarang ini ibarat bayi yang baru lahir yang membutuhkan rangsangan dari Pemerintah Kabupaten Indramayu sebagai upaya untuk menumbuhkan inovasi dan kreatifitas dalam menentukan langkahnya.
Peran Pemerintah Kabupaten Indramayu dalam hal ini, wajib memberikan pembekalan yang representatif kepada BPD yang baru lahir demi keberlangsungan keberadaannya dan meningkatkan produktifitas kinerja untuk melahirkan produk – produk legislasi di Desa.

DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu bersama Rempug Wong Dermayu (RWD) berangkat dari rasa kepedulian, mengawali pemberian rangsangan kepada BPD yang baru lahir dengan mengadakan Workshop Perancangan Peraturan Desa, yang melibatkan peserta dari setiap utusan Kecamatan satu orang BPD. Namun hal ini kami sadari bahwa acara tersebut belum repesentatif dari seluruh desa di Kabupaten Indramayu. Oleh karenanya sebagai follow up atas dasar usulan peserta pada saat itu, pemerintah kabupaten Indramayu harus menindak lanjuti acara Workshop Perancangan Peraturan Desa yang diprakarsai oleh DPD ABPEDSI Kabupaten Indramayu dan Rempug Wong Dermayu (RWD).

4. Dalam upaya percepatan pembaharuan desa, Pemerintah Kabupaten Indramayu wajib mengkaji ulang tentang (politik anggaran) dana perimbangan keuangan Kabupaten – Desa yang rasional dan berkeadilan.
Perlu disadari bersama bahwa tumbuhnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan tolok ukur Pembangunan Daerah hingga Pembangunan Nasional adalah dari Desa. Tanpa Desa tidak mungkin ada Kabupaten/Kota, Pripinsi maupun Negara, kebudayaan nasional pastinya muncul dari Desa, hal ini merupakan wujud nyata bahwa Desa merupakan potensi yang sangat vital. Otonomi Daerah merupakan gerbang awal untuk meningkatkan potensi Desa.

Otonomi Daerah bukan hanya sebatas wacana, Reformasi Birokrasi bukan hanya sebatas konsep. Namun yang lebih penting bagaimana Pemerintah daerah memposisikan Desa sebagai embrio pertumbuhan Pembangunan Daerah hingga Nasional, yang harus dijaga dan di tingkatkan potensinya.

Pendapatan desa yang diamanatkan dalam pasal 68 diantaranya poin b dan c Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, bahwa paling sedikit 10% dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten / Kota dan dari retribusi daerah Kabupaten / Kota serta Alokasi Dana Desa paling sedikit 10% dari dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang diberikan ke Kabupaten/Kota yang dibagikan secara proporsional kepada seluruh desa.

Meninjau dari penjelasan pasal 68 poin b dan c bahwa ; Huruf b :Dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diberikan langsung kepada Desa. Dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa yang dialokasikan secara proporsional.

Huruf c : Yang dimaksud dengan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurang belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tigapuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD dan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

Dengan demikian, perlu kiranya Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk mengkaji ulang bersama – sama Pemerintahan Desa ( Kuwu dan BPD ) dalam pemenuhan optimalisasi pendapatan desa, bukan hanya berpatokan pada batas minimal10% untuk ADD, akan tetapi sebagai wujud inovasi Pemerintah Kabupaten Indramayu guna mempercepat tumbuhnya pembaharuan desa dalam menopang pembangunan Daerah hingga Nasional harus ada keberanian untuk memberikan Alokasi Dana Desa lebih dari batas minimal yang konkritnya dari 10% menjadi 20% untuk seluruh desa di Kabupaten Indramayu.

5. BPD sebagai mitra Pemerintah Desa dan memiliki kedudukan yang sejajar secara yuridis formal dengan Pemerintah Desa, mendesak Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk meningkatkan insentif nominal bagi BPD sebagai langkah konkret untuk memberi daya rangsang kepada BPD dalam upaya peningkatan kinerja BPD.
Di Era Reformasi ini dimana kran demokrasi dibuka lebar-lebar, partisipasi masyarakat dalam bentuk pemikiran (aspirasi) meningkat cukup signifikan. Badan Permusyawatan Desa (BPD) sebagai terminal aspirasi masyarakat di tingkatan Pemerintahan Desa dituntut bisa berfungsi secara efektif dan mampu menterjemahkan kemauan masyarakat dalam usaha membangun desanya. Tugas ini tidaklah ringan. Disamping keberadaan BPD masih dalam usia sangat muda, secara faktual, BPD kurang memiliki sensifitas dalam malakukan kerja-kerja politik, baik dalam tingkatan menyerap aspirasi maupun mengawal kebijakan Pemerintah Desa. Salah satunya disebabkan karena rendahnya sensifitas Politik Anggaran -baik tataran APBD Kabupaten terlebih ABPDes- yang memilki kecenderungan cukup untuk memberikan rangsangan secara manusiawi kepada Anggota BPD secara keseluruhan.

BPD sebagai bagian dari Pohon harapan masyarakat desa, agar dapat bekerja secara optimal untuk mewujudkan pembaharuan desa menuju kemandirian desa, hendaklah ada perhatian serius dalam persepsi anggaran yang memihak dan rasional, dalam hal ini Pemerintah Daerah untuk memberikan insentif secara layak dan manusiawi kepada BPD dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang semula 25% menjadi 40% dari 30% ADD untuk operasional Pemerintahan Desa. Serta adanya kepastian hak dari Pendapatan Asli Desa dengan proporsi untuk BPD 10% dari PADes.

Sunday, May 09, 2010

BPS Indramayu menerjunkan 3.912 orang petugas Sensus Penduduk 2010 (SP 2010)

BPS Indramayu Terjunkan 3.912 Petugas SP2010 PDF Cetak E-mail
Kantor Biro Pusat Statistik (BPS) Indramayu menerjunkan 3.912 orang petugas Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang berkerja dengan sistem kontrak mulai 1 Mei - 31 Mei 2010.
Kepala BPS Indramayu Kardono, dihubungi Senin (3/5) mengemukakan, 3.912 orang petugas SP2010 itu terbagi dalam 978 tim. Masing-masing tim  beranggotakan empat orang dibawah seorang koordinator. Pembagian tim itu kata Kardono dilakukan supaya tercapai pendataan akurat. Sehingga di antara petugas saling terjadi cross check.
SP2010 meliputi kegiatan pendataan nama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, ketenagakerjaan, suku bangsa, kematian dan kelahiran, fasilitas kepemilikan rumah yang meliputi listrik, sanitasi, sertifikat penduduk seluruhnya mencakup 40-an item yang harus data.
Dikatakan, petugas SP2010 bekerja melalui sistem kontrak selama satu bulan terhitung mulai 1 Mei - 31 Mei 2010. Petugas SP2010 memperoleh honor Rp. 2,3 Juta per orang. Sedang koordinatornya mendapatkan honor Rp. 2,8 juta per orang. Honor akan dibayarkan melalui rekening masing-asing petugas pada bank yang ditunjuk pada akhir masa kegiatan.
Dikatakan, tujuan SP2010 adalah menghitung jumlah penduduk serta mengumpulkan informasi dasar kependudukan dan perumahan masyarakat Indonesia.
“Manfaat SP2010 adalah memperoleh informasi dasar kependudukan dan perumahan yang diperlukan untuk bahan evaluasi pembangunan  serta untuk menyusun perencanaan pembangunan kependudukan, sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia di masa mendatang. (Sudirman)

Wednesday, April 28, 2010

Problematika Posisi dan Kelembagaan Desa

Problematika Posisi dan Kelembagaan Desa PDF Cetak
Ditulis oleh Mardyanto Wahyu Tryatmoko   
Senin, 22 Februari 2010 11:11
Setelah mendapatkan banyak tekanan dari masyarakat desa, pemerintah dan DPR berjanji akan membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Desa pada tahun ini. Persoalannya adalah apakah RUU tentang desa yang akan dibahas oleh pemerintah dan DPR dapat serta merta memberikan jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perangkat desa yang lebih baik dibandingkan dengan regulasi sebelumnya. Apakah UU (undang-undang) tentang desa yang baru akan mampu meredam tuntutan masyarakat desa yang beragam dari sisi kepentingan politik, ekonomi, dan budaya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, upaya minimal yang harus dilakukan pemerintah adalah mencermati dan memperbaiki kekurangan pengaturan tentang desa yang termuat di dalam UU 22/1999 dan UU 32/2004. Meskipun demikian, hal ini tidak mudah. Banyak persoalan substantif yang belum terpecahkan, dan bahkan banyak persoalan yang muncul akibat peraturan yang tidak sesuai dengan keberagaman desa. Persoalan utamanya adalah berbagai regulasi yang ada, belum mampu mendefinisikan posisi desa secara tepat dalam struktur pemerintahan di Indonesia. Apakah desa akan diletakkan sebagai daerah otonom berdasarkan asal-usul, atau sebagai bagian integral dari wilayah pemerintahan kabupaten. UU 22/1999 dan UU 32/2004 menempatkan desa sebagai wilayah administrasi bagian dari kabupaten dan sekaligus memberikan kebebasan kepada desa untuk mengaktualisasikan hak asal-usul atau adat setempat. Ambivalensi posisi desa ini ternyata berdampak pada lemahnya kelembagaan desa, terutama di daerah yang masih memiliki adat yang kuat dan beragam. Kelemahan kelembagaan desa dapat dicermati dalam tiga parameter yaitu struktur pemerintahan, kewenangan, dan keuangan desa.

Struktur Pemerintahan Desa
Secara prinsip, desa adat dan desa administratif (contoh kelurahan) memiliki struktur birokrasi pemerintahan yang berbeda. Desa adat memiliki struktur birokrasi yang berbeda di setiap daerah. Mereka yang menjabat dalam kepemimpinan desa, umumnya diangkat dan diberhentikan atas dasar musyawarah, keturunan, atau kasta. Penggajian atau renumerasi biasanya diberikan kepada mereka dari sumber daya alam. Struktur birokrasi disusun berdasarkan urusan-urusan yang ada di desa.

Kondisi ini sangat berbeda dengan desa administratif atau yang lebih jelas dapat dicermati sebagai kelurahan. Di desa administratif, struktur birokrasi ditentukan oleh pemerintah di atasnya, sehingga status pegawai negeri sipil (PNS) dapat disandang oleh perangkat desa. Sangat wajar jika gaji diberikan oleh negara karena urusan lebih banyak berasal dari pemerintah atas.

UU 22/1999 dan UU 32/2004 mencoba menggabungkan antara desa adat dan desa administrasi, sehingga bangunan struktur birokrasi desa menjadi tidak jelas. UU 32/2004 mengatur desa dengan sangat aneh. Kepala desa dipilih secara langsung, sekretaris desa dijabat oleh PNS, dan perangkat desa lainnya diangkat oleh kepala desa dengan kedudukan (pelaksana teknis daerah dan unsur kewilayahan) yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Keganjilan ini merupakan kelemahan kelembagaan desa yang seringkali menimbulkan kecemburuan, ketidak-puasan dan bahkan konflik. Demonstrasi para perangkat desa yang menuntut status PNS merupakan contoh dari ketidakpuasan ini.

Akibat dari pemaksaan pencampuran kewenangan adat dan administrasi negara kedalam satu struktur birokrasi, pemerintahan desa tidak berjalan optimal. Bahkan di beberapa desa di Maluku Tenggara misalnya tidak memiliki perangkat desa yang utuh karena terhambat persoalan kasta. Di kasus lain, kepala desa yang notabene juga merupakan kepala adat sengaja menggunakan aturan yang ada untuk mendudukan anaknya sebagai sekretaris desa karena ada jaminan status PNS bagi kedudukan ini. Posisi ini jelas berpotensi konflik, setidaknya dapat mengganggu pemerintahan desa karena kecemburuan perangkat desa lainnya yang tidak memiliki status PNS.

Persoalan yang juga penting adalah masa jabatan lembaga-lembaga desa (kepala desa, BPD, dan perangkat desa). Di satu sisi, pemerintah memberi peluang terhadap mekanisme pemilihan, tetapi disisi lain pemerintah membatasi masa jabatan kades dan BPD. UU 22/1999 memberikan batasan sepuluh tahun untuk masa jabatan kepala desa, sedangkan UU 32/2004 membatasinya enam tahun. Kini perangkat desa menuntut sepuluh tahun masa jabatan Kades. Jika pemerintah juga mengakui kearifan lokal, tentu masa jabatan lembaga-lembaga ini tidak harus dibatasi. Setiap desa memiliki tradisi yang sulit diintervensi dan diseragamkan oleh Negara. Namun, jika pemerintah menghendaki pembatasan masa jabatan lembaga-lembaga ini untuk kepentingan urusan pemerintahan formal, harus dipikirkan mengenai solusi tempat bagi berlangsungnya kepentingan atau kewenangan adat. Jangan sampai rotasi jabatan pemerintahan administratif mengganggu keberlangsungan adat lokal.

Kewenangan (urusan) Desa
Berdasarkan hak asal-usul, tentu setiap desa memiliki kekhasan jenis kewenangan dan cara mengelola kewenangan itu. Namun, dengan dalih meningkatkan pembangunan nasional, pemerintah menjalankan urusannya hingga ke ranah desa. Akibatnya, perangkat desa tidak hanya mengurusi kewenangan aslinya tetapi juga menjalankan urusan kabupaten dan tugas pembantuan dari propinsi dan pemerintah pusat. Oleh sebab itu perangkat desa merasa kewenangan yang dijalankannya terlalu besar, dan tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.

Jika desa diposisikan sebagai kesatuan masyarakat adat, jenis kewenangan desa diserahkan kepada kebutuhan komunitasnya. Ini berarti pemerintah tidak perlu mengatur kewenangan kultural desa di dalam peraturan termasuk perda, bahkan dalam UU. Namun, jika pemerintah masih berkepentingan untuk meningkatkan pembangunan desa, harus ada penataan yang terpisah untuk lembaga yang menangani kewenangan administratif dan adat. Sudah saatnya pemerintah lebih mempertegas pengaturan kewenangan administratif, dan disesuaikan dengan desain struktur birokrasi formal beserta pembiayannya. Urusan adat tetap diakui tetapi pengorganisasiannya diserahkan kepada lembaga adat.

Keuangan Desa
Faktor keuangan desa merujuk kepada kemampuan masyarakat desa dalam mencukupi dan mengalokasikan sumber-sumber ekonomi. Seperti dijelaskan dalam regulasi (UU dan PP), sumber ekonomi desa berasal dari kekayaan asli desa dan bantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah (termasuk bagi hasil pajak dan retribusi kabupaten). Kenapa masyarakat desa menuntut pemerintah untuk mengalokasi anggaran sebesar 10 persen dari APBN langsung untuk desa? Ini karena dua alasan, yaitu keterbatasan masyarakat desa dalam menggali ekonomi di wilayahnya dan relatif rendahnya alokasi anggaran desa dari kabupaten.

Pemerintah tentu sadar bahwa desa masih sangat tergantung pada bantuan pemerintah. Pemerintah juga semestinya menyadari bahwa kemampuan kabupaten untuk mengalokasikan anggaran kepada desa adalah sangat terbatas. Apalagi kemampuan setiap kabupaten berbeda. Ada kabupaten yang bertahan hidup dengan hanya bertumpu pada DAU (dana alokasi umum). Mustahil bagi kabupaten tertinggal semacam ini akan dapat memberikan alokasi anggaran kepada desa, terlebih biaya pilkades menjadi tanggungjawab kabupaten.

Jika desa masih ditempatkan menjadi bagian dari kabupaten, pemerintah harus memantau kemampuan kabupaten dalam menyediakan anggaran bagi desa. Pemerintah dapat memberikan bantuan kepada desa berupa dana alokasi khusus (DAK) melalui kabupaten yang tidak mampu. Bantuan kepada desa melalui DAK ini harus diprioritaskan untuk memberdayakan masyarakat desa agar mampu menggali potensi sumber ekonomi desa dan sekaligus mengurangi ketergantungan desa terhadap bantuan dari pemerintah.

Satu hal penting lainnya adalah alokasi anggaran untuk kesejahteraan perangkat desa. Jika pemerintah kesulitan mengatur proporsi dan jumlah layak penghasilan aparat desa, sudah saatnya seluruh perangkat desa yang berurusan dengan administrasi pemerintahan dijabat oleh PNS. Selain untuk menghindari kecemburuan, kebijakan ini cukup adil memberikan kesejahteraan perangkat desa. Alokasi untuk gaji perangkat desa ini otomatis termasuk dalam DAU kabupaten/kota. Sedangkan gaji perangkat lembaga adat dialokasikan dari hasil pendapatan asli desa, jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan desa. (Mardyanto Wahyu Tryatmoko) 
sumber :http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/230-problematika-posisi-dan-kelembagaan-desa

Monday, January 25, 2010

Program PAUD di Indramayu Makin Berkembang

Pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), sangat diutamakan. Sebab, PAUD merupakan masa keemasan (golden age) bagi pembentukan sumber daya manusia dalam membangun bangsa yang berkualitas.
Program PAUD tersebut berjalan dengan baik karena Pemerintah Kabupaten Indramayu, Pemerintah Provinsi Jabar, dan pemerintah pusat sama-sama memperhatikan termasuk menyediakan anggaran yang saat ini dibutuhkan.
Keberhasilan pelaksanaan PAUD di Indramayu karena adanya perhatian besar dari Bupati Indramayu Irianto Mahfudz Sidik Syafiuddin dan Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Indramayu Hj Anna Sophana SH.
Mereka intensif melakukan pembinaan kepada para pendidik PAUD (guru-guru program PAUD) untuk meningkatkan profesionalisme dalam pembelajaran, peningkatan kinerja, dan peningkatan kesejahteraan.
Demikian diutarakan Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu Drs HA Kholik MA yang didampingi Kepala Seksi PAUD Dra Hj Sri Sunarti ketika dikonfirmasi Suara Karya, Selasa (24/11), di ruang kerjanya.
Kholik memaparkan bahwa PAUD pada pendidikan luar sekolah terdiri dari kelompok bermain yang saat ini di Indramayu ada 55 kelompok. Sedangkan untuk bina keluarga balita (BKB) pos pelayanan terpadu (Posyandu) PAUD sebanyak 30 kelompok. Adapun di sisi lainnya yaitu BKB kesiapan masuk sekolah terdapat 434 kelompok ditambah 2 kelompok TPA.
Untuk jumlah anak usia dini (0-6 tahun) di Indramayu tahun 2009 mencapai 136.820 anak.
Sebagian besar telah terlayani melalui pendidikan taman kanak-kanak (TK) dan non-TK. Jumlah tenaga pendidik dari pendidikan nonformal (PNF) untuk laki-laki 14 orang dan perempuan 2.530 orang, sedangkan jumlah tenaga kependidikan PNF laki-laki 14 orang dan perempuan 142 orang.
Kholik menyebutkan, pihaknya masih menghadapi kendala dalam pengembangan PAUD, antara lain masih adanya orangtua yang belum mempunyai kesadaran membawa anak balitanya mengikuti PAUD. Kemudian masih belum meratanya kelulusan tenaga pendidik PAUD.
"Solusinya, antara lain, mengadakan pelatihan bagi tenaga pendidik PAUD agar ada persepsi yang sama tentang pembelajaran program PAUD.
Di lain pihak juga mengadakan sosialisasi tentang pendidikan anak usia dini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, PKK, Bappeda, dan instansi yang terkait," kata Kholik.
Ia juga mengharapkan tambahan dukungan pendanaan untuk honor tenaga pendidik dan keperluan sarana dan prasarana.
(Sumber : SUARAKARYA-ONLINE.com, 25 November 2009)

Tuesday, January 12, 2010

IIS DAHLIA: Ikut Bikin Dangdut Naik kelas (Bagian 1)


Dari : Femina-online.com

SEMPAT MALU DISEBUT GADIS INDRAMAYU
Sejak kecil ia sudah bercita-cita jadi penyanyi. Sejak kecil pula ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal jadi orang terkenal. Salah satunya: sikapnya agak ngebos!

Wanita muda itu masih terbaring lunglai ketika dukun bayi ber­nama Mbok Wartem memperlihatkan bayi perempuan mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi imut-imut itu berwajah cantik, ber­kulit putih, dan berambut hitam lebat. Tapi, Mbok Wartem sen­diri merasa heran. Selama puluhan tahun berpraktik menjadi dukun bayi di Desa Kertajaya, Bongas, Indramayu, ia belum pernah me­­­­lihat kelahiran bayi seperti yang satu ini. Orang Indramayu me­nyebutnya tali ori, atau lehernya terlilit usus. Juga ada usus lain yang menyelempang da­­ri pundak ke arah perut, seperti layaknya selempang di seragam pejabat tinggi militer.

Menurut kepercayaan orang-orang tua zaman itu, usus yang me lilit leher itu merupakan pertanda bahwa nantinya bayi perempuan itu akan selalu tampak cantik saat mengenakan baju dan warna apa pun. Selain itu, selempang usus dari arah pundak ke arah perut juga dianggap pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang ternama. “Mungkin dia nanti akan menjadi sinden terkenal,” ramal mereka. Setelah dikandung hampir 11 bulan, bayi yang lahir pada 29 Desember 1972 ini diberi nama Iis Lailiyah. Dialah Iis Dahlia, yang sekarang kita kenal sebagai penyanyi dangdut populer.

SENANG TAMPIL SEJAK KECIL
Usia Qomariyah baru 16 tahun saat melahirkan putri keduanya itu. Maklum, saat menikah dengan Makmuri, ayah Iis, usianya baru 14 tahun. Saat itu Qomariyah bahkan sudah menjadi janda muda yang cantik dengan satu orang putri bernama Elsi Sukaesih. Sementara Makmuri yang menjadi guru Qomariyah di sekolah ibtidaiyah di kampung itu adalah duda beranak satu. Dari istri pertamanya, Mak­­­muri memperoleh seorang putri bernama Tati Hamami. Qo­mariyah adalah putri tuan tanah di daerah itu, sementara Mak­muri seorang pegawai Kantor Urusan Agama yang tinggal di wi­layah Singaraja, Kota Indramayu.

Sejak mulai bisa berjalan dan berbicara, Iis kecil tergolong sa­ngat aktif dan cerewet. Setiap kali mendengar suara nyanyian di ra­dio atau teve, ia langsung berlenggak-lenggok menari sembari mengikuti irama lagu. Berbeda dari teman-teman seusianya yang bercita-cita ingin menjadi presiden, dokter, atau insinyur, sejak ke­cil Iis dengan mantap selalu mengatakan ingin menjadi pe­nyanyi. Jawaban itu tidak pernah berubah sampai akhirnya ia masuk se­kolah SD, SMP, bahkan SMA.

Menurut Qomariyah, kegilaan Iis terhadap musik sudah dimulai sejak putrinya itu duduk di bangku kelas 4 SD. Hampir setiap ha­ri Iis nongkrong sendirian di kamar, bahkan kadang-kadang me­nguncinya dari dalam. Tidak bosan-bosannya Iis mendengarkan kaset lagu-lagu dangdut terbaru saat itu, juga lagu-lagu pop terkenal, lalu ia catat liriknya. Pada masa itu, Elvie Sukaesih sedang naik daun, dan nama Evie Tamala baru mu­lai merambat naik. Dalam pes­ta perkawinan atau perayaan 17 Agustus, tanpa malu-malu Iis tampil naik panggung, menyumbangkan lagu dengan iringan organ tunggal.

Lama-kelamaan Qomariyah pun jengkel melihat ulah putrinya itu. Soalnya, dari hari ke hari kegiatan Iis hanya mendengarkan mu­sik dan menyanyi. “Nok, tiap hari, kok, kerjamu begitu-begitu sa­ja, sama sekali tidak mau membantu Mami memasak, menyapu, atau mencuci piring. Jangan hanya dengerin musik melulu!” Tapi, omelan Qomariyah tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Iis. Gadis remaja itu tetap saja asyik dengan kaset-kaset musiknya.

Untunglah, otak Iis lumayan encer sehingga ia tidak pernah ting­gal kelas. Setiap pagi Iis sekolah di SD Negeri Kertajaya, tidak jauh dari rumahnya. Siangnya, setelah istirahat sejenak, ia lang­sung mengayuh sepeda menuju Madrasah Ibti­daiyah Bongas yang letak­nya lumayan jauh, hingga pukul 4 sore. Di kampungnya, hanya Iis dan kakak-kakaknya yang belajar di ma­drasah itu. Setelah magrib, ia harus mengaji dan belajar sembari ditunggui ayahnya.

Pada hari-hari tertentu, Iis bersama kakak-kakaknya dikirim oleh guru SD atau madrasahnya untuk mengikuti berbagai lomba, baik tingkat kecamatan, bahkan kabupaten. Ada lomba menyanyi, me­­nari, membaca Al-Quran, baca puisi, dan sebagainya. Setiap kali mengikuti seleksi, Iis bersama kedua kakaknya selalu tampil sebagai juara di sekolahnya. Alhasil, ketiganya pula yang dikirim untuk mewakili sekolah ke lomba-lomba tingkat kecamatan atau kabupaten.

SUKA PANJAT POHON
Iis merasa bersyukur lahir di kampung, mendapat pendidikan agama yang baik, dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan setempat. Se­perti anak-anak perempuan pada umumnya, semasa kanak-kanak Iis dan kedua kakaknya sangat menyukai boneka. Oleh Qomariah mereka tidak dibelikan boneka dari toko, melainkan dib­uatkan sendiri dari baju-baju bekas. Ketika sudah mulai agak besar, Iis membuat sendiri boneka-boneka dari lempung (tanah liat) yang dibentuk seperti bayi dan diberi baju dari kain-kain bekas.Pada ke­sempatan lain, Iis teman-temannya juga sering bermain di kali, ladang, atau memanjat pohon. Awalnya, Iis dan kedua kakaknya dilarang memanjat pohon oleh ayahnya. Tapi, karena hampir semua anak perempuan di kampungnya mahir memanjat, ketiga gadis kecil itu diam-diam belajar memanjati pohon-pohon tinggi setiap kali ayah mereka sedang di kantor.

Suatu hari, ketika tengah asyik memanjat pohon jambu di depan rumahnya, Iis mendengar suara skuter ayahnya. Ia pun buru-buru turun dan akhirnya terpeleset lalu terjatuh dari pohon itu. Anehnya, meski tangan dan sebagian tubuhnya terasa sakit, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi justru buru-buru kabur jauh-jauh ke rumah tetangga. “Daripada dimarahi Papi, lebih baik saya kabur, meski badan saya berdarah-darah,” ujarnya, tertawa.

Tapi, belakangan, sikap ayahnya agak melunak dan tidak lagi me­larang gadis-gadis kecilnya memanjat pohon. Makmuri bahkan me­nyuruh membuatkan rumah-rumahan di atas pohon jambu itu. Di rumah pohon itulah Iis sering kali menghabiskan waktunya bersama ka­kak-kakak maupun teman-temannya, sambil makan rumbah (pe­cel) tao­ge dan rempeyek kacang hijau.

Qomariyah membenarkan bahwa sifat Iis semasa kanak-kanak sangat keras. “Kalau punya kemauan, harus dituruti. Kalau tidak, dia marah atau menangis berkepanjangan. Kalau dilarang papinya nonton musik atau sandiwara, misalnya, dia pasti akan nekat pergi. Begitu ayahnya tidur, ia langsung kabur. Anak-anak saya yang lain tidak mungkin berani berbuat senekat itu,” tutur Qomariyah, ge­leng-geleng kepala.

“Selain itu, Iis juga ingin selalu diistimewakan dibanding kakak-kakaknya. Kalau pakai sandal atau pakaian, tidak mau yang jelek. Ka­lau kepunyaannya sudah jelek, ia enak saja menyambar kepunyaan kakaknya. Kakaknya tentu saja marah sehingga akhirnya keduanya berantem. Selain itu, kalau dibelikan pakaian atau apa saja, ia selalu ingin yang bagus dan mahal. Akibatnya, kakak-kakaknya jadi iri,“ ke­nang Qomariyah, sambil tertawa. Tapi, lain di rumah, lain pula di tempat main. Di mata teman-temannya, Iis justru dikenal baik hati dan dermawan. “Dia selalu me­maksa saya untuk memberinya uang banyak-banyak agar bisa mentraktir teman-teman mainnya. Atau, kalau disuruh belanja dengan uang yang agak besar, kembaliannya pasti dia habiskan untuk ngejajanin teman-temannya. Sejak dulu gayanya memang seperti bos!” Qomariyah tertawa geli.


Bersambung...