SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA

SELAMAT DATANG DI HALAMAN WEBSITE DESA KERTAJAYA
SIAGA MELAYANI MASYARAKAT & GIAT MEMBANGUN

Monday, January 25, 2010

Program PAUD di Indramayu Makin Berkembang

Pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar), sangat diutamakan. Sebab, PAUD merupakan masa keemasan (golden age) bagi pembentukan sumber daya manusia dalam membangun bangsa yang berkualitas.
Program PAUD tersebut berjalan dengan baik karena Pemerintah Kabupaten Indramayu, Pemerintah Provinsi Jabar, dan pemerintah pusat sama-sama memperhatikan termasuk menyediakan anggaran yang saat ini dibutuhkan.
Keberhasilan pelaksanaan PAUD di Indramayu karena adanya perhatian besar dari Bupati Indramayu Irianto Mahfudz Sidik Syafiuddin dan Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Indramayu Hj Anna Sophana SH.
Mereka intensif melakukan pembinaan kepada para pendidik PAUD (guru-guru program PAUD) untuk meningkatkan profesionalisme dalam pembelajaran, peningkatan kinerja, dan peningkatan kesejahteraan.
Demikian diutarakan Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu Drs HA Kholik MA yang didampingi Kepala Seksi PAUD Dra Hj Sri Sunarti ketika dikonfirmasi Suara Karya, Selasa (24/11), di ruang kerjanya.
Kholik memaparkan bahwa PAUD pada pendidikan luar sekolah terdiri dari kelompok bermain yang saat ini di Indramayu ada 55 kelompok. Sedangkan untuk bina keluarga balita (BKB) pos pelayanan terpadu (Posyandu) PAUD sebanyak 30 kelompok. Adapun di sisi lainnya yaitu BKB kesiapan masuk sekolah terdapat 434 kelompok ditambah 2 kelompok TPA.
Untuk jumlah anak usia dini (0-6 tahun) di Indramayu tahun 2009 mencapai 136.820 anak.
Sebagian besar telah terlayani melalui pendidikan taman kanak-kanak (TK) dan non-TK. Jumlah tenaga pendidik dari pendidikan nonformal (PNF) untuk laki-laki 14 orang dan perempuan 2.530 orang, sedangkan jumlah tenaga kependidikan PNF laki-laki 14 orang dan perempuan 142 orang.
Kholik menyebutkan, pihaknya masih menghadapi kendala dalam pengembangan PAUD, antara lain masih adanya orangtua yang belum mempunyai kesadaran membawa anak balitanya mengikuti PAUD. Kemudian masih belum meratanya kelulusan tenaga pendidik PAUD.
"Solusinya, antara lain, mengadakan pelatihan bagi tenaga pendidik PAUD agar ada persepsi yang sama tentang pembelajaran program PAUD.
Di lain pihak juga mengadakan sosialisasi tentang pendidikan anak usia dini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan, PKK, Bappeda, dan instansi yang terkait," kata Kholik.
Ia juga mengharapkan tambahan dukungan pendanaan untuk honor tenaga pendidik dan keperluan sarana dan prasarana.
(Sumber : SUARAKARYA-ONLINE.com, 25 November 2009)

Tuesday, January 12, 2010

IIS DAHLIA: Ikut Bikin Dangdut Naik kelas (Bagian 1)


Dari : Femina-online.com

SEMPAT MALU DISEBUT GADIS INDRAMAYU
Sejak kecil ia sudah bercita-cita jadi penyanyi. Sejak kecil pula ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal jadi orang terkenal. Salah satunya: sikapnya agak ngebos!

Wanita muda itu masih terbaring lunglai ketika dukun bayi ber­nama Mbok Wartem memperlihatkan bayi perempuan mungil yang baru saja dilahirkannya. Bayi imut-imut itu berwajah cantik, ber­kulit putih, dan berambut hitam lebat. Tapi, Mbok Wartem sen­diri merasa heran. Selama puluhan tahun berpraktik menjadi dukun bayi di Desa Kertajaya, Bongas, Indramayu, ia belum pernah me­­­­lihat kelahiran bayi seperti yang satu ini. Orang Indramayu me­nyebutnya tali ori, atau lehernya terlilit usus. Juga ada usus lain yang menyelempang da­­ri pundak ke arah perut, seperti layaknya selempang di seragam pejabat tinggi militer.

Menurut kepercayaan orang-orang tua zaman itu, usus yang me lilit leher itu merupakan pertanda bahwa nantinya bayi perempuan itu akan selalu tampak cantik saat mengenakan baju dan warna apa pun. Selain itu, selempang usus dari arah pundak ke arah perut juga dianggap pertanda bahwa bayi itu kelak akan menjadi orang ternama. “Mungkin dia nanti akan menjadi sinden terkenal,” ramal mereka. Setelah dikandung hampir 11 bulan, bayi yang lahir pada 29 Desember 1972 ini diberi nama Iis Lailiyah. Dialah Iis Dahlia, yang sekarang kita kenal sebagai penyanyi dangdut populer.

SENANG TAMPIL SEJAK KECIL
Usia Qomariyah baru 16 tahun saat melahirkan putri keduanya itu. Maklum, saat menikah dengan Makmuri, ayah Iis, usianya baru 14 tahun. Saat itu Qomariyah bahkan sudah menjadi janda muda yang cantik dengan satu orang putri bernama Elsi Sukaesih. Sementara Makmuri yang menjadi guru Qomariyah di sekolah ibtidaiyah di kampung itu adalah duda beranak satu. Dari istri pertamanya, Mak­­­muri memperoleh seorang putri bernama Tati Hamami. Qo­mariyah adalah putri tuan tanah di daerah itu, sementara Mak­muri seorang pegawai Kantor Urusan Agama yang tinggal di wi­layah Singaraja, Kota Indramayu.

Sejak mulai bisa berjalan dan berbicara, Iis kecil tergolong sa­ngat aktif dan cerewet. Setiap kali mendengar suara nyanyian di ra­dio atau teve, ia langsung berlenggak-lenggok menari sembari mengikuti irama lagu. Berbeda dari teman-teman seusianya yang bercita-cita ingin menjadi presiden, dokter, atau insinyur, sejak ke­cil Iis dengan mantap selalu mengatakan ingin menjadi pe­nyanyi. Jawaban itu tidak pernah berubah sampai akhirnya ia masuk se­kolah SD, SMP, bahkan SMA.

Menurut Qomariyah, kegilaan Iis terhadap musik sudah dimulai sejak putrinya itu duduk di bangku kelas 4 SD. Hampir setiap ha­ri Iis nongkrong sendirian di kamar, bahkan kadang-kadang me­nguncinya dari dalam. Tidak bosan-bosannya Iis mendengarkan kaset lagu-lagu dangdut terbaru saat itu, juga lagu-lagu pop terkenal, lalu ia catat liriknya. Pada masa itu, Elvie Sukaesih sedang naik daun, dan nama Evie Tamala baru mu­lai merambat naik. Dalam pes­ta perkawinan atau perayaan 17 Agustus, tanpa malu-malu Iis tampil naik panggung, menyumbangkan lagu dengan iringan organ tunggal.

Lama-kelamaan Qomariyah pun jengkel melihat ulah putrinya itu. Soalnya, dari hari ke hari kegiatan Iis hanya mendengarkan mu­sik dan menyanyi. “Nok, tiap hari, kok, kerjamu begitu-begitu sa­ja, sama sekali tidak mau membantu Mami memasak, menyapu, atau mencuci piring. Jangan hanya dengerin musik melulu!” Tapi, omelan Qomariyah tampaknya hanya numpang lewat saja di telinga Iis. Gadis remaja itu tetap saja asyik dengan kaset-kaset musiknya.

Untunglah, otak Iis lumayan encer sehingga ia tidak pernah ting­gal kelas. Setiap pagi Iis sekolah di SD Negeri Kertajaya, tidak jauh dari rumahnya. Siangnya, setelah istirahat sejenak, ia lang­sung mengayuh sepeda menuju Madrasah Ibti­daiyah Bongas yang letak­nya lumayan jauh, hingga pukul 4 sore. Di kampungnya, hanya Iis dan kakak-kakaknya yang belajar di ma­drasah itu. Setelah magrib, ia harus mengaji dan belajar sembari ditunggui ayahnya.

Pada hari-hari tertentu, Iis bersama kakak-kakaknya dikirim oleh guru SD atau madrasahnya untuk mengikuti berbagai lomba, baik tingkat kecamatan, bahkan kabupaten. Ada lomba menyanyi, me­­nari, membaca Al-Quran, baca puisi, dan sebagainya. Setiap kali mengikuti seleksi, Iis bersama kedua kakaknya selalu tampil sebagai juara di sekolahnya. Alhasil, ketiganya pula yang dikirim untuk mewakili sekolah ke lomba-lomba tingkat kecamatan atau kabupaten.

SUKA PANJAT POHON
Iis merasa bersyukur lahir di kampung, mendapat pendidikan agama yang baik, dan bisa bersosialisasi dengan lingkungan setempat. Se­perti anak-anak perempuan pada umumnya, semasa kanak-kanak Iis dan kedua kakaknya sangat menyukai boneka. Oleh Qomariah mereka tidak dibelikan boneka dari toko, melainkan dib­uatkan sendiri dari baju-baju bekas. Ketika sudah mulai agak besar, Iis membuat sendiri boneka-boneka dari lempung (tanah liat) yang dibentuk seperti bayi dan diberi baju dari kain-kain bekas.Pada ke­sempatan lain, Iis teman-temannya juga sering bermain di kali, ladang, atau memanjat pohon. Awalnya, Iis dan kedua kakaknya dilarang memanjat pohon oleh ayahnya. Tapi, karena hampir semua anak perempuan di kampungnya mahir memanjat, ketiga gadis kecil itu diam-diam belajar memanjati pohon-pohon tinggi setiap kali ayah mereka sedang di kantor.

Suatu hari, ketika tengah asyik memanjat pohon jambu di depan rumahnya, Iis mendengar suara skuter ayahnya. Ia pun buru-buru turun dan akhirnya terpeleset lalu terjatuh dari pohon itu. Anehnya, meski tangan dan sebagian tubuhnya terasa sakit, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi justru buru-buru kabur jauh-jauh ke rumah tetangga. “Daripada dimarahi Papi, lebih baik saya kabur, meski badan saya berdarah-darah,” ujarnya, tertawa.

Tapi, belakangan, sikap ayahnya agak melunak dan tidak lagi me­larang gadis-gadis kecilnya memanjat pohon. Makmuri bahkan me­nyuruh membuatkan rumah-rumahan di atas pohon jambu itu. Di rumah pohon itulah Iis sering kali menghabiskan waktunya bersama ka­kak-kakak maupun teman-temannya, sambil makan rumbah (pe­cel) tao­ge dan rempeyek kacang hijau.

Qomariyah membenarkan bahwa sifat Iis semasa kanak-kanak sangat keras. “Kalau punya kemauan, harus dituruti. Kalau tidak, dia marah atau menangis berkepanjangan. Kalau dilarang papinya nonton musik atau sandiwara, misalnya, dia pasti akan nekat pergi. Begitu ayahnya tidur, ia langsung kabur. Anak-anak saya yang lain tidak mungkin berani berbuat senekat itu,” tutur Qomariyah, ge­leng-geleng kepala.

“Selain itu, Iis juga ingin selalu diistimewakan dibanding kakak-kakaknya. Kalau pakai sandal atau pakaian, tidak mau yang jelek. Ka­lau kepunyaannya sudah jelek, ia enak saja menyambar kepunyaan kakaknya. Kakaknya tentu saja marah sehingga akhirnya keduanya berantem. Selain itu, kalau dibelikan pakaian atau apa saja, ia selalu ingin yang bagus dan mahal. Akibatnya, kakak-kakaknya jadi iri,“ ke­nang Qomariyah, sambil tertawa. Tapi, lain di rumah, lain pula di tempat main. Di mata teman-temannya, Iis justru dikenal baik hati dan dermawan. “Dia selalu me­maksa saya untuk memberinya uang banyak-banyak agar bisa mentraktir teman-teman mainnya. Atau, kalau disuruh belanja dengan uang yang agak besar, kembaliannya pasti dia habiskan untuk ngejajanin teman-temannya. Sejak dulu gayanya memang seperti bos!” Qomariyah tertawa geli.


Bersambung...

Saturday, January 09, 2010

Ketika Wacana Pemilihan Gubernur Oleh Lembaga Dewan Kembali Menguat

ICS Nilai Sebagai Kemunduran, DC Nyatakan Wajar-wajar Saja
Belakangan ini, wacana tentang pemilihan gubernur harus dilakukan oleh lembaga dewan dan bukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat kembali menguat dan undang-undang terkait hal itu sedang dibahas di pusat. Lalu bagaimana pandangan pengamat di Papua tentang hal itu?
Laporan : Kornelis Watkaat, Jayapura
Seiring dengan besarnya biaya untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) terutama untuk pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat, sementara di sisi lain ada yang menilai bahwa kewenangan yang dimiliki gubernur itu tidak sebanding dengan besarnya biaya untuk pemilihan secara langsung itu, maka wacana bahwa gubernur sebaiknya dipilih oleh lembaga dewan kembali ramai dibicarakan.
Terkait hal itu, UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah saat ini sedang direvisi oleh Pemerintah Pusat yang mana nantinya akan menghasilkan 3 undang-undang, yakni UU pemerintahan daerah, UU pemilihan umum kepala daerah/wakil kepala daerah, dan UU tentang pemerintahan desa.
Kita belum bisa memastikan apakah nantinya hasil revisi UU itu menyatakan bahwa Pemilukada tidak lagi melalui rakyat, tetapi oleh lembaga dewan, atau tetap dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Tentunya hal itu sudah pasti ada kelebihan dan kekurangannya.
Direktur Institute for Civil Strengthening (ICS) atau Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil Papua, Budi Setyanto, SH, menilai, jika Pemilukada akan kembali dilakukan melalui wakil rakyat seperti yang dilakukan sebelum era reformasi, maka itu merupakan suatu langkah kemunduran dari suatu proses demokrasi selama ini dibangun dan itu merupakan sebuah malapetaka yang besar.
“Memang benar bahwa Pemilukada secara langsung dinilai boros anggaran, tapi harus tahu itu sebuah konsekuensi dari proses demokrasi, karena dalam melaksanakan demokrasi yang benar membutuhkan biaya yang tinggi,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos di ruang kerjanya, Kamis (7/1).
Menurutnya, Pemilukada melalui dewan itu tidak representatif dan semua pihak tahu akan hal itu. Sebab jumlah wakil rakyat sangat sedikit baila dibanding jumlah masyarakat yang cukup banyak. Selain itu, ada kelemahan bahwa tidak ada jaminan bahwa wakil rakyat itu yang akan membawa aspirasi masyarakat secara tulus.
“Dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilakukan melalui dewan, ternyata justru ada muatan-muatan kepentingan politik, ekonomi yang terkait dengan isi perut oknum-oknum wakil rakyat itu. Sehingga bila ini dipraktekan kembali, sudah pasti pola permainannya kembali lagi dan akan sama seperti yang lalu,” tegasnya.
Dengan demikian kepala daerah yang terpilih bukan pilihan rakyat tapi pilihan segelintir orang yang memiliki kepentingan pribadi itu, apalagi saat ini tingkat kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi.
“Benar, Pemilukada langsung itu banyak kelemahannya, salah satunya terjadi money politik, primordialisme yang tinggi, banyak penyalagunaan anggaran yang seharusnya untuk kepentingan masyarakat tapi digunakan untuk Pemilukada, tapi harus dipahami bahwa dalam proses demokrasi Pemilukada langsung ini baru dilakukan sekali dan untuk mengukur keberhasilannya masih prematur jadi belum bisa diukur kan?,” ujarnya.
“Sejelek-jeleknya hasil Pemilukada itu akan lebih baik dari pada pemilihan dilakukan oleh wakil rakyat, meski money politik, tapi uang itu dinikmati oleh rakyat bukan anggota dewan yang hanya memikirkan kepentingannya itu. Pemilukada langsung ini pun akan menjadi media bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang lebih baik. Kalaupun mereka terpilih dari yang tidak baik, itu masyarakat bisa perbaiki pada Pemilukada berikutnya,” sambungnya.
Hal lainnya, adanya partisipasi masyarakat yang tinggi dan sikap apatis akan sendirinya hilang, sehingga kontrol dari masyarakat sipil akan tumbuh dengan baik. Demikian juga kepala daerah yang terpilih akan belajar tanggungjawab untuk memenuhi janji-janjinya saat kampanye.
Berbeda dengan Budi Setyanto, Kepala Pusat Kajian Demokrasi (Democratic Center) Uncen, DR. H. M. A. Musa'ad,M.Si menyatakan, memang hal itu sudah menjadi wacana tapi juga suatu pilihan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) apakah Pemilukada dilakukan langsung oleh rakyat atau melalui lembaga dewan. Namun sejauh ini wacana yang berkembang bahwa Pemilukada itu melalui dewan itu hanya ada pada tingkat pemilihan gubernur.
Berdasarkan itu, kata Musa’ad, sudah ada beberapa pertimbangannya. Pertama, tidak menyalahi aturan, karena pemilihan presiden itu langsung melalui rakyat, tapi Pemilukada itu menggunakan terminologi pemilihan secara demokratis. Dan berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa Pemilu langsung atau tidak langsung adalah kedua-duanya sah dan tidak bertentangan dewan UUD 1945. Sehingga keabsahan berdasarkan konstitusinya tidak menjadi soal.
Pertimbangan kedua ialah titik berat otonomi, apakah berada di provinsi ataukah di kabupaten/kota. Karena selama ini UU 32 Tahun 2004 itu dititikberatkan otonominya ke kabupaten/kota. Hal ini memunculkan pemikiran bahwa pemilihan langsung oleh rakyat di kabupaten/kota. Alasannya, karena yang mempunyai rakyat itu adalah kabupaten/kota.
Pertimbangan ketiga, bahwa dalam UU 32, provinsi itu ada dua status yang melekat padanya, yaitu sebagai daerah otonomi dan sebagai wilayah administratif.
Dimana, tentunya sebagai daerah otonom, itu melaksanakan urusan rumah tangga yang terbatas. Sedangkan sebagai wilayah administratif, seorang gubernur merupakan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, sehingga diharapkan proses seorang naik jadi gubernur tidak hanya jadi domain rakyat tapi juga jadi domaiannya pemerintah karena adanya dua fungsi itu.
Pertimbangan keempat, adanya indikasi peran gubernur dalam melaksanakan fungsinya cenderung mengedepankan tugasnya sebagai kepala daerah, sementara tugasnya sebagai wakil pemerintah pusat sangat lemah, bahkan ada gubernur yang ekstrim dan kurang loyal terhadap pemerintah pusat/presiden. Karena gubernur merasa ia dipilih langsung oleh rakyat, sehingga tidak bisa dijatuhkan oleh dewan.
“Empat landasan itu saya kira menjadi landasan pikir bagi pihak-pihak yang ingin Pemilukada dilaksanakan melalui DPRD. Dengan dipilih langsung oleh rakyat, maka gubernur yang nakal sudah pasti menolak untuk diintervensi oleh dewan dan pusat,” imbuhnya.
Dengan sejumlah hal itu, yang harus dipertegas adalah dimana letak sebenarnya otonomi, karena otonomi sekarang tidak jelas, terdapat pada posisi yang mana, apakah di provinsi ataukah di kabupaten/kota. Karena di provinsi juga ada otonomi demikian juga ada otonomi di kabupaten/kota.
“Kalau memang sepakat daerah tingkat dua sebagai daerah otonomi dan provinsi posisinya sebagai wilayah administratif, maka boleh gubernur boleh dipilih oleh DPRD dan itu wajar bahkan bila perlu gubernur ditunjuk langsung oleh presiden. Jadi perlu ditata dulu sistem otonominya,” pungkasnya.(*/fud) (scorpions)

Wednesday, January 06, 2010

Tuan dan Pelayan Masyarakat Desa Kertajaya


Inilah sosok tegap dari Tuan dan para pelayan masyarakat desa Kertajaya yang selalu siaga dalam menjalankan roda pemerintahan desa Kertajaya.
Duduk di tengah adalah :
Rusmono, SE Kuwu desa Kertajaya yang telah menjabat sejak tahun 1995 dan akan mengakhiri masa pengabdiannya sebagai kuwu pada bulan Pebruari 2013, didampingi oleh Jurutulis (Kapendi) dan Bekel Blok Babakan (Dawin) duduk berdampingan di sebelah kanan sedangkan duduk berdampingan di sebelah kiri adalah Bekel Blok Sabrangwetan (Warto Haryanto) dan Bekel Blok Kibuyut (Sutara), sedangkan di belakangnya berdiri berjajar dari sebelah kiri adalah Kliwon (Tasmin), Juru Keuangan/Bendahara (Tardin), Lurah polisi (Kanong M.), Raksabumi (Rastim), Lebe (Jaenudin) dan berpakaian Linmas adalah anggota Satgas Hansip (M. Radi).

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

JAWABAN UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL
TAHUN AKADEMI 2002-2003
STRUKTUR POLITIK, ELIT POLITIK DAN POLITIK PERTANIAN DI PEDESAAN

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
Dosen : Dr. Iberamsyah
Oleh : Tongato
NPM : 0101186002
PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK
UNIVERSITAS NASIONAL
Jakarta, 23 November 2002

POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA
A. ANALISA STRUKTUR POLITIK DESA DAN KELURAHAN
Struktur politik desa dan kelurahan merupakan struktur politik paling rendah dalam bangunan politik nasional. Meskipun demikian, struktur politik desa dan kelurahan mempunyai peran penting dalam bangunan struktur politik nasional. Sebab, disitulah kehidupan politik riil ada dengan segala dinamikanya. Berikut ini akan dianalisa struktur politik desa dan kelurahan.
Struktur Politik Desa
Perkataan desa hanya dikenal di pulau Jawa. Ada beberapa penyebutan lain yang merujuk pada pengertian desa, yaitu dusun, kuta, gampong, nagari dan seterusnya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993), desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) udik atau dusun; (3) tempat; tanah; daerah. Pengertian ini berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota.1
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1, yang disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.
Pasal 94, Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang secara bersama-sama menyelenggarakan pemerintahan di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif, yakni menjalankan amanat masyarakat desa yang tertuang dalam Peraturan Desa. Pemerintah Desa dipimpin oleh kepala desa yang telah dipilih secara langsung warga masyarakat desa untuk masa jabatan 8 tahun. Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangakat desa yang berstatus pegawai negeri, seperti sekretaris desa, kepala-kepala urusan dan kepala lingkungan.
Badan Perwakilan Desa adalah wakil-wakil masyarakat desa yang berada di tiap rukun warga. BPD menjalankan tugas sebagai badan legislatif. Dalam Pedoman Umum Pengaturan Desa, Kepmendagri disebutkan bahwa parlemen desa (BPD) beranggotakan pemuka-pemuka masyarakat yang ada di desa. Mereka adalah pemuka agama, adat, orsospol, golongan profesi dan unsur pemuka masyarakat lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa BPD ini berhak menyatakan diri sebagai wakil rakyat di daerah rukun ketetanggaannya.
Gambaran seperti ini jelas akan memunculkan masalah yakni ketika ada perbedaan pendapat yang tak bisa dipecahkan tentang suatu masalah. Kepala desa bisa mengatasnamakan rakyat, karena mereka dipilih langsung oleh rakyat, seperti juga BPD. Hal itu dikarenakan angota BPD merupakan wakil rakyat yang dipilih. Dan masalah seperti ini akan diperumit lagi dengan adanya pasal 103 UU No. 22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa BPD bisa “memecat” kepala desa. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan kepala desa sebetulnya belum sepenuhnya otonom.
Struktur Politik Kelurahan
Kalau pengertian desa merujuk pada suatu wilayah di pedalaman/luar kota, maka pengertian kelurahan lebih pada wilayah perkotan. Dalam UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintah Propinsi Daerah Ibukota Negara Republik Indonesia, Bab V, pasal 24 dan pasal 27 disebutkan bahwa pemerintah kelurahan terdiri dari Pemerintahan Kelurahan dan Dewan Kelurahan.
Pemerintahan Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sebagai eksekutif pemerintahan. Dalam tugas sehariu-harinya, lurah dibantu perangkat kelurahan yang juga berstatus pegawai negeri. Lurah diangkat oleh pemerintah daerah yang dalam hal ini Gubernur. Kedudukan lurah cukup kuat. Ia tak bertanggung-jawab kepada Dewan Kelurahan, tapi kepada atasannya, yaitu camat, bupati/walikota dan gubernur.
Sementara itu, Dewan Kelurahan merupakan badan legislatif. Keanggotaannya adalah wakil-wakil masyarakat yang berada di tiap rukun warga. Fungsi Dewan Kelurahan adalah membantu lurah dalam menampung aspirasi warga, memberikan usul dan saran kepada lurah, menjelaskan kebijakan pemerintah, membantu dalam hal pemberdayaan masyarakat, termasuk juga mengajukan anggota dewan kota/kabupaten.2
Kedudukan Dewan Kelurahan dan Pemerintahan Kelurahan yang demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, lurah sebagai pegawai negeri, kedudukannya sangat kuat. Lurah bisa saja mengabaikan begitu saja saran atau usul Dewan Kelurahan terhadap suatu masalah yang kiranya akan merugikan kepentingannya. Ia tidak takut untuk “dipecat” karena ia berpedoman pada kepatuhan sebagai pegawai negeri yang harus tunduk kepada atasannya. Selain itu juga, Dewan Kelurahan tidak mempunyai kekuatan politik apa-apa seandainya saran atau usul kurang/tidak diperehatikan lurah. Dengan demikian, lurah sebetulnya berkedudukan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di atasnya, ia tak harus tunduk pada dewan Kelurahan.
Sementara itu, tumbuh kesan bahwa keberadaan Dewan Kelurahan hanyalah sebagai “tempelan” saja. Dewan Kelurahan ada, namun tak mempunyai kekuatan politik dalm ikut menentukan jalannya pemerintahan kelurahan. Disisi lain, Dewan Kelurahan juga lemah kedudukannya karena tidak bisa menentukan anggaran pembangunan. Masalah anggaran sepenuhnya berada di tangan lurah. Pengawasan terhadap lurah dalam maslah anggaran juga tak bisa dilakukan. Sebab lurah hanya bisa bertanggung jawab kepada atasannya, bukan kepada Dewan Kelurahan. Dengan demikian, hadirnya Dewan Kelurahan yang dimaksudkan untuk kemandirian dan partisipasi masyarakat di era otonomi ini belum tercapai secara maksimal.
B. ANALISA PERANAN ELITE FORMAL DAN INFORMAL DESA
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia (l993) kata elite mempunyai dua pengertian, yaitu (1) orang-orang terbaik atau pilihan dalam suatu kelompok; (2) kelompok kecil orang-orang terpandang atau berderajat tinggi. Kelompok-kelompok elit ini sifatnya sangat heterogen.3 Mereka terdapat dalam komunitas agama, politik, ekonomi, adat, dan sebagainya. Kedudukan mereka sebagai ekit bisa berubah sesuai dengan situasi dan dengan siapa mereka mengadakan interaksi. Pola interaksi, akomodasi, konflik dan lain sebagainya.4
Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik , memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya.5 Mereka ini ada yang berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa, kepala hansip, ketua RW dan ketua RT. Sedangkan elite informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa.6 Mereka itu bisa kyai, guru, militer, orang kaya dan sebagainya. Dalam tulisan ini, penulis hanya akan menganalisis peranan kepala desa sebagai elit formal dan kyai sebagai elit informal di pedesaan sebagai contoh.
Peranan Kepala Desa
Peranan kepala desa dalam struktur masyarakat desa sangat besar. Hal ini karena kebanyakan desa-desa di Indonesia masyarakatnya masih bercorak paternalistik. Oleh karena itu apa yang dianggap baik dan benar, yang dianjurkan, yang dikatakan dan dilakukan oleh kepala desa merupakan pedoman dan contih langsung bagi “anak buahnya” untuk melakukan tindakan yang sama.7
Seorang kepala desa, mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya. Kepala desa adalah patron bagi masyarakat desa. Agar kepala desa mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya, ia selau mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya secara geneologis dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam kasus pengaitan geneologis ini juga dilakukan dengan nenek moyangnya yang pernah menjadi kepala desa dahulu.8
Pengaitan secara geneologis ini dimaksudkan untuk memperkuat perannya dalam memegang kekuasaan dan wewenang. Sebab tanpa legitimasi tersebut, maka perannya sebagai pemimpin tertinggi desa akan hilang.
Selain dengan mengaitkan secara geneologis, kepala desa sejak tahun 1950-an juga memanfaatkan berbagai kekuatan sosial politik , seperti partai plitik. Semasa Orde Baru, demi tegaknya legitimasi kedudukannya, para kepala desa mengidentifikasikan dirinya dengan Golongan Karya (Golkar). Oleh karena itu, tak aneh bila Golkar memperoleh kemenangan di hampir seluruh desa di Indonesia. Mereka mempunyai target kemenangan bagi Golkar di desanya.9 Ini nampaknya sebagai imbalan atas keterkaitannya dengan Golkar yang telah memperkuat kedudukannya dalam kekuasaan.
Dalam proses pembangunan desa, peran kepala desa juga sangat besar. Menurut pengamatan Hofsteede (1992) terhadap peran kepala desa di 4 desa di Jawa Barat membuktikan hal itu. Para kepala desa yang diteliti menunjukkan bahwa mereka sebagai pengambil prakarsa dalam suatu proyek pembangunan. Mereka mendiskusikan dan seterusnya merapatkan dalam rapat desa untuk mengambil keputusan pelaksanaan suatu proyek.
Ada beberapa faktor yang menyebabakan peran kepala desa demikian besar, yaitu pertama, kepala desa dokebanyakan desa mempunyai wewenang yang betul-betul nyata. Mereka bagaikan raja-raja kecil di desanya. Hal itu ditambah sikap masyarakat yang bersifat patenalistik.
Kedua, kepala desa mempunyai posisi yang kuat sebagai wakil pemerintah di desa. Hal ini karena bupatilah yang membuat keputusan akhir dan memberi surat pengangkatannya, meskipun kepala desa dipilih oleh rakyat secara langsung.10
Peranan Kyai
Kyai merupakan sebutan yang diberikan masyarakat terhadap seseorang yang menguasai dan mempraktekkan ajaran agama Islam secara ketat. Kyai sebagai tokoh informal juga mempunyai peran yang sangat besar.
Peran utama kyai adalah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan fatwa agama tentang masalah keyakinan dan praktik keislaman masyarakat. Otoritas ini diperkuat dengan adanya masyarakat yang paternalistik dan hubungan antarkyai.11 Di desa-desa Jawa, para kyai mempunyai hubungan kuat dengan organisasi sosial keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini merupakan sarana mempromosikan kyai dalam kepemimpinan lokal bahkan nasional.
Selain itu, hubungan antarkayai yang biasanya tergabung dalam organisasi NU, para kyai dalam usaha menambah klaim kekuasaan dan wewenangnya adalah jamaah Islam. Semakin besar jumlah jamaah yang berada di belakangnya, maka semakin berpengaruhlah kyai tersebut.12
C. ANALISA POLITIK PERTANIAN DI DESA
Politik pertanian merupakan kebijakan pemerintah untuk memperlancar dan mempercepat laju pembangunan pertanian. Ada dua metode dalam mempelajari politik pertanian,13 yaitu pertama, melalui analisa teknik ekonomi. Melalui teknik ini, kita dapat mempergunakan berbagai teori ekonomi untuk merumuskan politik pertanian, melaksanakan dan menilainya. Alat penilai yang paling sering dipakai dalam hal ini adalah analisis benefit-cost yang mudah dilakukan untuk memulai berbagai proyek-proyek investasi.
Kedua, melalui analisis kelembagaan. Artinya, politik pertanian yang menyangkut kerangka kelembagaan dengan mana alokasi sumber daya terjadi dan diusahakan. Dalam definisi Tinbergen, politik pertanian macam ini termasuk politik pertanian kualitatif. Hal ini dikarenakan menyangkut perubahan lembaga.
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan mempergunakan analisis kelembagaan yang diterapkan terhadap politik beras sebagai salah satu bagian dari politik pertanian. Pemerintah melihat bahwa masalah perberasan merupakan masalah yang sangat vital. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Jika masalah beras ini tak dikelola secara baik, bisa saja hal itu menjadi isu politik yang mampu menggiyahkan sendi kekuasaan pemerintah.
Melihat begitu pentingnya masalah perberasan, maka pemerintah mendirikan Badan Urusan Logistik (BULOG) tahun 1969 yang mempunyai tugas utama melaksanakan politik beras.14 Sasaran utama Bulog adalah mempertahankan harga maksimum dan minimum beras/padi, baik secara langsung melaui pembelian dan penjualan di pasar pedesaan dan pasar bebas maupun melaui kebijakan stok beras.
Setelah mengeluarkan kebijakan mempertahankan harga maksimum dan minimum, pemerintah kemudian meletakkan kebijakan harga penyangga (support price) untuk memberikan perangsang pada petani padi. Hal ini dicapai antara lain dengan apa yang dikenal dengan rumus tani, yaitu satu kilogram pupuk ures dijual pemerintah kepada petani dengan harga yang sama dengan satu kilogram beras. Kebijakan ini ditanggapi positif para petani sehingga pada pertengahan tahun 1972 pemerintah bahkan merasa khawatir akan terjadi kelebihan produksi dan mengusulkan penurunan terget produksi.
Kekhawatiran tersebut di atas ternyata tak terbukti, karena pada tahun yang sama terjadi kegagalan panen akibat kemarau panjang. Meskipun demikian, kebijakan peningkatan produksi beras lebih dikenal dengan Bimas (bimbingan massal) tetap berhasil meningkatkan produksi beras rata-rata 4,7% per tahun dalam Pelita I, walaupun harus diakui tidak sampai pada terjadinya swasembada beras.
Tidak tercapainya swasembada beras pada akhir Pelita I menyebabkan pemerintah meninjau kembali kebijakan berasnya. Saat itu pemerintah mengimpor beras (hampir 30% dari seluruh beras yang dipasarkan di pasaran dunia). Keadaan ini membuat pemerintah mengadakan perubahan kebijakn pada Pelita II. Sasrannya bukan lagi pada swasembada beras, akan tetapi swasembada pangan, yaitu dengan terutama berusaha mencapai terget pemenuhan kalori dan protein yang dapat dipenuhi dari berbagai bahan pangan seperti jagung, ketela, sagu dan tanaman kacang-kacangan. Disini titik tekan kebijakan pemerintah bukan lagi pada beras, tapi bahan pangan pokok secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut didasrkan pada realitas bahwa sebagian penduduk Indonesia makanan pokoknya ada yang non beras. Selain itun juga adanya potensi pangan yang besar di luar beras.15 Contohnya, Irian Jaya dan Maluku yang penduduk aslinya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Daerah-daerah ini memang sangat cocok untuk tanaman sagu. Jadi dsini yang penting adalah pemenuhan kalori yang dapat dipenuhi oleh makanan pokok selain beras. Masalahnya adalah di beberapa daerah yang makanan pokoknya non beras malah sulit memperoleh bahan makanan tersebut dibanding dengan beras. Selain itu sudah tercipta imej dalam masyarakat Indonesia bahwa makan beras identik dengan kemajuan. Masyarakat yang makanan pokoknya non beras dianggap sebagai masyarakat yang ketinggalan.***

Daftar Pustaka

Hofsteede, W.M.F., Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992

Latief, M. Syahbudin, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa. Yogyakarta: Media Pressindo, 2000

Mas’oed, Mohtar & Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991

Mubyarto, Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987

Nurhadi, Robi, “Desaku Sayang, Kelurahanku,” makalah diskusi Program Pascasarjana Ilmu Politik UNAS, 2002

Prisma No. 10, Oktober 1982

Suhartono dkk., Politik Lokal, Yogyakarta: Lapera, 2001

Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999

Syamsuddin, Haris, Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998

Tholkhah, Imam, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001



1 Suhartono dkk. Politik Lokal. Yogyakarta: Lapera, 2001 h 9
2 Robi Nurhadi, “Desaku Sayang, Kelurahamku Malang” makalah presentasi di depan mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UNAS.
3 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999 h. 76
4 M Masyhur Amin, “Kedudukan Kelompok Elit dalam Perspektif Sejarah,” dalam M Mashur Amin et al. Kelompok Elit Dan Hubungan Sosial di Pedesaan. Jalarta: YIIS, 1988 h. 12
5 Gaetamo Mosca seperti dikutuip Robert D. Putman,”Studi Perbandingan Elit Politik,” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrew, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, l991 h. 77.
6 W.M.F. Hofsteede, Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992 h. 47 – 48.
7 M Syahbudin Latief, Persaingan Calon Kepala Desa di Jawa, Yogyakarta: Media Pressindo, 2000 h. 19
8 Ibid h. 13 – 14.
9 Syamsuddin Haris, (ed.) Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: YOI & PPW LIPI, 1998 h 166 – 167.
10 Prijono Tjiptoherijanto & Yumiko M. Prijono. Demokrasi di Pedesaan Jawa, Jakarta: Sinar Harapan & LPFE UI, 1983 h. 91.
11 Imam Tholkhah, Anatomi Konflik Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2001, h. 78.
12 Ibid h. 78 – 79.
13 Mubyarto, Politik Pertanian & Pembangunan Pedesaan, Jakarta: Sinar Harapan, 1987 h. 69 – 70.
14 Uraian tentang politik beras dengan segala aspeknya dalam tulisan ini sebagian besar diambil dari Mubyarto, op cit hal. 72 – 78.
15 M. Satari, “ Produksi Beras Masih Salah Arah,” dalam Prisma No. 10, Oktober 1982 h. 59 – 61.
 
POLITIK DAN PEMBANGUNAN DESA

Tuesday, January 05, 2010

Bangkit dengan Jimpitan


Konon, itu adalah "petunjuk" dari sang Sultan, maka tak heran kalau warga Jogja dengan senang hati mau menjalankannya.
Jimpitan adalah tradisi menyimpan uang receh di depan rumah, yang nantinya dijadikan sebagai 'tabungan' di tingkat RT. Masing-masing Kepala keluarga dalam suatu RT diwajibkan 'menabung dengan cara ini. Seperti pada foto di atas, ada sebuah wadah sederhana yang ditempatkan di depan rumah, entah di pagar atau di dinding rumah. Setiap malam, akan ada petugas ronda yang mengumpulkan uang tersebut, dan menyerahkannya kepada pengurus RT.
Tradisi jimpitan, dulunya tidak berupa uang, melainkan berupa beras. Kalau masyarakat Sunda mengenal istilah perelek, mengumpulkan beras barang se mangkuk untuk disimpan di sebuah 'lumbung' agar tidak ada yang kelaparan. Zaman berubah, jimpitan pun akhirnya dirubah menjadi uang untuk alasan kepraktisan.
Jika satu RT saja terdiri dari kira-kir 150 KK, maka jika masing-masing menyumbang 500 perak setiap malam, maka dalam satu malam bisa terkumpul uang sejumlah Rp. 75.000. Setiap bulannya, kas RT bisa memiliki dana sebesar Rp. 2.250.000. Luar biasa kan? Dalam setahun kas RT bisa mendapat pemasukan sebesar Rp 27.000.000. Tentu ini bukan uang kecil.
Asal perlu dijauhkan dari anak-anak iseng, yang terkadang mengambil uang yang sudah disimpan di wadah jimpitan. Tak jarang anak-anak memang sengaja mengambil uang-uang itu, lumayan buat jajan... Tapi kalau pengelolaan hasil jimpitan di tingkat RT, luarbiasa transparan. Setiap bulan diadakan pertemuan yang melaporkan perkembangan kas. Tanggalnya bisa diatur menurut kesepakatan RT masing-masing.
Dari hasil Jimpitan ini banyak hal bisa dilakukan, dari mulai membantu keluarga kurang mampu untuk menyekolahkan anaknya, atau kalau harus dirawat di rumah sakit. Tak terasa, uang 500 perak yang disepelekan itu bisa memberdayakan warga sendiri untuk saling membantu. Sukarewan yang ronda tiap malam, selain punya kegiatan rutin berkeliling, juga punya tanggung jawab tambahan menjadi pengumpul hasil jimpitan. Ternyata ini malah membuat mereka punya termotivasi untuk ikut ronda. Tidak perlu uluran tangan pihak luar, kecuali benar-benar mendesak. Seperti pada saat terjadi gempa beberapa tahun yang lalu.
Ini bukan teori. Ini fakta. Dan fakta membuktikan, masyarakat bisa berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri, jika pemimpin mampu memberi inspirasi yang kuat. Pemimpin bukan Sinterklas, yang kerjanya bagi-bagi hadiah. Pemimpin juga perlu mendorong kemandirian rakyatnya, agar kepercayaan diri mereka bangkit.
Bayangkan seluruh rakyat Indonesia, mempraktekkan jimpitan, 500 perak per malam. Berapa banyak sumberdaya yang bisa kita bangkitkan dari diri kita sendiri, tanpa harus selalu mengandalkan utang luar negeri? Kurang lebih sama dengan kewajiban muslim ber-zakat setiap bulan Ramadhan, ini adalah mekanisme sederhana yang bisa menyelesaikan banyak masalah. Tinggal, seberapa pedulikah kita?
Sumber : http://politikana.com/baca/2009/08/22/bangkit-dengan-jimpitan.html

Monday, January 04, 2010

Statemen AKSI Menyakiti Hati Rakyat

Hasrat para Kuwu yang menuntut hak penambahan masa jabatan tidak lah berdasar. Bicara hak, semestinya bicara koridor hukum yang berlaku. Bilamana ada hak yang belum terpenuhi sesuai koridor hukum, maka itu baru patut disuarakan. Sepertihalnya Alokasi Dana Desa (ADD) minimal 10 % dari APBD II setelah dikurangi belanja pegawai (PP 72 Tahun 2005 tentang Desa).

Sikap Asosiasi Kuwu Seluruh Indramayu (AKSI) yang meronta-ronta minta tambahan masa jabatan, akan menyakiti hati masyarakatnya saja. Karena Rakyat memilih dan melegitimit Kuwunya hanya untuk masa jabatan sesuai perundang-undangan yang berlaku (UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Dan kalupun dipaksakan hingga adanya yudisial review, perundang-undangan tersebut tidaklah berlaku surut.

Keinginan AKSI yang meminta tambahan masa jabatan Kuwu, bertolak belakang dengan program Pemerintah kabupaten  Indramayu yang sekarang ini lebih mendekatkan diri dengan rakyat, seperti Rakyat Ketemu Bupati (RKB) dan Rakyat Ketemu Camat (RKC). Walau program tersebut bersifat insidental, tapi cukup berarti bagi sebagian masyarakat yang mengikutinya.

Semestinya para Kuwu ikut mengembangkan program tersebut, dengan lebih mempererat tali silaturrahmi warganya. Jangan hanya pada saat proses pemilihan Kuwu saja menjalin silaturrahmi dengan masyarakatnya. Banyak hal yang harus dilakukan Kuwu untuk lebih dekat dengan masyarakatnya, seperti rembug rukun warga/tetangga, saresehan, ngopi bareng dan lain sebagainya. Yang terpenting adanya tatap muka, ngobrol bareng untuk memetakan setiap masalah dan kebutuhan masyarakatnya. Kemudian hasil tersebut dijadikan pijakan dalam merencanakan Pembangunan Desa.

Pemerintahan Desa (Kuwu dan BPD) bukan pelaksana teknis pembangunan, oleh karenannya mengelola dan memanage kultur dan budaya setempat serta persoalan masyarakatnya merupakan bagian dari fungsi Pemdes. Dengan demikian tidak ada lagi perselisihan masalah Raskin, BLT, PKH, DPT, dan kebutuhan data base lainnya. Kunci utama dalam menentukan, memilah dan memilih data kependudukan tergantung Pemerintahan Desa sendiri. Kuwu dapat menolak program pemerintah kalau tidak sesuai dengan data base yang ada di desa, begitu pun sebalinya Kuwu dapat mengajukan kebutuhan masyarakatnya kepada pemerintahan diatasnya sesuai rencana yang dibangun bersama dengan masyarakat (Partisipatory Rural Appraisal).

Relevansi masa jabatan Kuwu dengan Pembangunan Desa bukanlah masalah utama dalam desa. Masa jabatan Kuwu 6 tahun sudah lebih dari cukup, setahun membenahi perselisihan dan adaptasi pasca pemilihan Kuwu, lima tahun konsentrasi pembangunan desa. Berulang-ulangnya penjabatan Kuwu tiap periode, akan merusak pengembangan demokratisasi desa dan menumbuhkan sindrom power pada Kuwu tersebut. Prinsip demokrasi adanya pembatasan masa kekuasaan dan memberi kesempatan kepada yang lain sebagai regenerasi pembangunan desa yang lebih inovatif.

Peningkatan kesejahteraan Kuwu dan Pamong desa bahkan hingga tunjangan legislasi BPD, memang perlu diperhatikan. Bila perlu ada standar khusus sesuai kekuatan APBD Kabupaten Indramayu, tidak perlu disamakan dengan standar UMR. Karena sumber biaya operasional Pemerintahan Desa tidak lepas dari beban Negara dan hasil kelola pendapatan asli desa sebagaimana diatur dalam pasal 212 UU 32 tahun 2004. Begitu pun asuransi keselamatan dan kematian Kuwu, Pamong dan BPD sudah sepantasnya mereka dapatkan. Karena sedikit ada ketidak sesuaian kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa, rentan dengan kekerasan atau aksi anarkis.

Pengembangan kebijakan untuk mempercepat pembangunan desa dan menumbuh kembangkan demokratisasi desa, membutuhkan local wisdom dari Pemerintah Kabupaten Indramayu. Untuk meminimalisir konflik berkepanjangan pasca pemilihan kuwu, Pemkab Indramayu harus berani mengalokasikan biaya pemilihan kuwu menjadi beban APBD. Karena semakin tinggi biaya yang dikeluarkan calon kuwu, semakin besar dan lama perselisihan usai. Begitupun akan mengganggu efektifitas proses pembangunan desa.

Sunday, January 03, 2010

APBD Indramayu 2010 sebesar Rp. 1,271 Miliar

APBD Indramayu 2010 sebesar Rp1,271 Miliar


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Indramayu menggelar sidang paripurna guna mendengarkan penghantaran nota keuangan dari eksekutif tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran 2010. Nota penghantaran dibacakan Sekretaris Daerah (Sekda), Drs H Supendi, MSi mewakili Bupati di depan seluruh fraksi yang ada di Dewan.
Dibacakan Supendi, rencana ABPD Indramayu untuk tahun 2010 mencapai Rp. 1.271.814.415.151,00 atau sekitar Rp. 1,27 triliun. Sedangkan belanja daerah diperkirakan mencapai Rp. 1,26 T sedangkan pembiayaan penerimaan sebesar Rp. 6,35 miliar dan pengeluaran Rp. 48,13 miliar.
Secara rinci rangkaan tersebut terdiri dari pendapatan asli daerah sebesar Rp78,184 miliar yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Dana perimbangan sebesar Rp. 1,010.488.408.000 atau Rp. 1,01 triliun yang terdiri dari dana bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum(DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).
Lain-lain pendapatan daerah yang sah diperkirakan sebesar Rp. 183.141.316.000 atau Rp. 183,1 miliar yang meliputi dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian dan otonomi khusus, bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya dan pendapatan hibah.
Sedangkan belanja daerah direncanakan mencapai Rp. 1,266 triliun yang terdiri dari belanja tidak langsung sebesar Rp875 miliar yang meliputi belanja pegawai, belanja bunga pinjaman, belanja bantuan sosial, belanja hibah, belanja bagi hasil kepada pemerintah desa, belanja bantuan keuangan kepada pemerintah desa dan belanja tidak terduga.
Besarnya belanja langsung mencapai Rp391 miliar yang tersebar di alokasi masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD). Sementara pembiayaan daerah meliputi penerimaan pembiayaan sebesar Rp. 6,3 miliar terdiri dari SILPA dan pinjaman daerah. Sedangkan pengeluaraan pembiayaan sebesar Rp. 48,1 miliar yang terdiri dari penyertaan modal, pembayaran hutan kepada lembaga bank dan pembayaran hutang kepada pihak ketiga.
Supendi mengatakan, meskipun pendapatan daerah pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar Rp. 57,078 miliar dari tahun 2009, namun karena pada tahun anggaran 2010 banyak belanja wajib yang harus dipenuhi dengan nilai cukup besar sehingga akan terjadi defisit APBD sebesar Rp. 36 miliar yang masih harus dicari sumber pembiayaannya, atau dengan melakukan penyesuaian belanja yang memperhatikan skala prioritas, kata Supendi.
Menurut Supendi, penyusunan APBD ini didasarkan pada kebijakan umum serta prioritas dan plafon anggaran anggaran Kabupaten Indramayu tahun 2010. Perangkaan APBD ini masih terdapat perangkaan yang berupa estimasi baik pendapatan maupun belanja, seperti rencana bantuan provinsi dan hibah dari pemerintah pusat.
Oleh karena itu, kata Supendi, perangkaan secara pasti dapat diperoleh pada saat pembahasan R-APBD berjalan. Bantuan propinsi untuk Indramayu masih menunggu pembahasan R-APBD propinsi dan penetapan dari pemerintah pusat tentang hibah pada daerah.
Pada tahun 2010 nanti ada satu momen penting yaitu pemilihan kepala daerah yang pembiayaannya tidak sedikit dan merupakan beban APBD kabupaten/kota masing-masing. Berbeda dengan penyelenggaraan pilkada pada tahun sebelumnya yang mendapat bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi. Kami mengharapkan seluruh komponen masyarakat agar senantiasa menjaga kondusivitas daerah baik sebelum, saat maupun setelah pelaksanaan pilkada, kata Supendi. (ck-106)
http://www.hupelita.com/baca.php?id=85310

Abas Assafah Siap Jadi Bupati Indramayu



INDRAMAYU – Berbagai kalangan menilai, sosok H. Abas Assafah AD, S.Ag., MSi layak maju sebagai calon bupati pada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan dihelat tahun 2010.
Pria kelahiran Desa Segeran, Kecamatan Juntinyuat ini memiliki kepribadian yang cukup
sederhana dan berangkat dari kalangan birokrat. Selain itu, majunya ketua Yayasan Ibu Hj. Hodijah (Yabujah) ini menaruh harapan cukup besar bagi kalangan pendidikan di Indramayu. sebab, Abas merupakan tokoh yang sukses dalam memajukan dunia pendidikan di Kota Mangga.

Saat ditemui Radar Cirebon di rumahnya, Abas Assafah menyatakan kesiapannya untuk mencalonkan diri sebagai Bupati Indramayu Periode 2010-2015. Bahkan, mantan Kasi Swasta Pendidikan Menengah (Dikmen) pada Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu ini siap maju melalui jalur independen, apabila jalur Partai Politik (Parpol) tidak bisa dilakukan. Diakui Abas, niatan untuk maju sebagai cabup muncul sejak lama, dan sudah pernah beberapa mali ikut dalam konvensi, antara lain melalui PC PDI Perjuangan, namun gagal sehingga tidak bisa maju dalam pencalonan. ”Saya secara pribadi siap untuk maju sebagai cabup pada Pilkada 2010 mendatang,” tuturnya saat ditemui di rumahnya, Rabu (30/12).

Abas menegaskan, sebagai putra daerah dirinya mempunyai tanggungjawab moral untuk memperbaiki kondisi daerah, dan melanjutkan pembangunan ke arah yang lebih baik. Berangkat dari keinginan dan dorongan dari berbagai elemen masyarakat, maka dirinya menyatakan kesiapannya untuk maju. Ia juga mengaku sudah menyiapkan Visi dan Misi dalam membangun Indramayu. Visi yang akan diusung, lanjut Abas, yaitu ingin mewujudkan masyarakat yang religius, berkualitas,  sejahtera,  dalam  suasana kehidupan yang aman, tertib, damai serta tatanan daerah yang kuat, makmur dan mandiri untuk mencapai Indra Jaya Cahya Permata. Jargon politik yang saya usung adalah "Sugih Ora Rerawat, Melarat Ora Keblangsat,” tutur Abas seraya meminta dukungan kepada seluruh masyaralat Indramayu untuk mendukung sekaligus memilihnya.

Ditambahkan, pihaknya sudah membentuk tim sukses dengan nama Tim Sembilan yang siap untuk melakukan penggalangan massa. Menurutnya, Tim Sembilan secara intens melakukan silaturahmi politik ke sejumlah pengurus partai politik (parpol) dan tokoh masyarakat. Hal ini sebagai bentuk keseriusan dirinya.(dun)

Profil :
Nama               : H. Abas Assafah AD, S.Ag., MSi.
TTL                 : Indramayu, 6 Juli 1961
Pekerjaan         : PNS
Alamat             : Jl. Ketapang I No. 1 Blok Langgar  RT.01/01 
 Segeran  Kidul, Kecamatan Juntinyuat.
Jabatan :
1.      Ketua Yayasan Ibu Hj Chodijah Segeran
2.      Purek I Unidarma Segeran Indramayu.
3.      Kabid Kesos BKPP Wilayah III Jawa Barat Tahun 2009.

Pendidikan :
1.      Fakultas  Tarbiyah  STAI Al  Falah Bandung 1998
2.      Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Publik STIA Yapan Jakarta 2007
3.      Program S3 Konsentrasi Ilmu Politik UMY Yogyakarta.

Pengalaman Pekerjaan :
1.      Kepala SMA NU Juntinyuat
2.      Dosen STAIS Dharma Segeran indramayu
3.      Kasie Swasta Dikmen Disdik Indramayu
4.      Kasie Data Disduk Capil Indramayu

Pengalaman Organisasi :
1.      Ketua IPNU Indramayu tahun 1978 – 1980
2.      Wakil Ketua KNPI Indramayu tahun 1991 – 1995
3.      Ketua Korwil Perguruan Pencak Silat Satria Muda Tahun 1992 – sekarang
4.      Ketua LP Ma’arif NU Indramayu tahun 1998 – 2000
5.      Ketua Cabang GP Ansor Indramayu tahun 1999 – 2009
6.      Ketua Forum Silaturrahim Para Pegawai Wong Dermayu (FOSGAMA)  tahun 2004 – 2007.

Penghargaan :
1.      The Best Executif Education 2004
2.      The Most Innovative People Award 2009
3.      Man Of The Year 2009

Sumber : epaper.radarcirebon.com/index.php?hal=im-05

Friday, January 01, 2010

Demokrasi Lokal (di Desa) : Quo Vadis?


Irine H. Gayatri
Peneliti YAYASAN INTERSEKSI, Jakarta

Pengantar
Pada masa Orde Baru dengan alasan stabilitas politik untuk menunjang pembangunan nasional, desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Struktur pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No. 5/ 1979. Masa ‘reformasi’ merupakan titik tolak dari slogan kembali ke desa, yang menekankan pada pembaruan otonomi desa, yang ditandai oleh desentralisasi kekuasaan dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999. Dalam konteks ini, pembentukan Badan Perwakilan Desa (BPD) dipandang mencerminkan berjalannya prinsip demokrasi desa. Namun tak lama muncul kecenderungan resentralisasi melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilatarbelakangi dengan perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa. Hal ini mengisyaratkan bahwa desa belum sepenuhnya otonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan ekonomi. Inti tulisan ini adalah ‘prospek demokrasi lokal di desa dengan berlakunya UU No. 32/2004 dilihat dari (1) aspek kelembagaan (pemerintahan) desa sebagai media perangkat politik pemerintahan desa melakukan praktek politik; dan (2) partisipasi rakyat desa terhadap proses politik dan ekonomi di desa.
Kata kunci: desa, dentralisasi, otonomi, demokrasi, sistem politik.
 
Demokrasi Lokal = Demokrasi Desa?
Konsep demokrasi secara umum mengandaikan pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Ide dasar demokrasi mensyaratkan keikutsertaan rakyat, serta kesepakatan bersama atau konsensus untuk mencapai tujuan yang dirumuskan bersama. Demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Oleh karenanya, pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Dalam demokrasi, aspek kelembagaan merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis, sehingga, terdapat partai politik, pemilihan umum dan pers bebas. Sedangkan, istilah ‘ lokal’ mengacu kepada ‘arena’ tempat praktek demokrasi itu berlangsung, yaitu pada entitas politik yang terkecil, desa.
Desa secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai ‘a group of houses and shops in a country area, smaller than a town’. [1] Istilah desa hanya dikenal di Jawa, sedangkan di luar Jawa misalnya di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, sebutan untuk wilayah dengan pengertian serupa desa sangat beranekaragam,sesuai dengan asal mula terbentuknya area desa tersebut, baik berdasarkan pada prinsip-prinsip ikatan genealogis, atau ikatan teritorial, dan bahkan berdasarkan tujuan fungsional tertentu (semisal desa petani atau desa nelayan, atau desa penambang emas) dan sebagainya. [2] Desa atau nama lainnya, sebagai sebuah entitas budaya, ekonomi dan politik yang telah ada sebelum produk-produk hukum masa kolonial dan sesudahnya, diberlakukan, telah memiliki asas-asas pemerintahan sendiri yang asli, sesuai dengan karakteristik sosial dan ekonomi, serta kebutuhan dari rakyatnya. Konsep desa tidak hanya sebatas unit geografis dengan jumlah penduduk tertentu melainkan sebagai sebuah unit teritorial yang dihuni oleh sekumpulan orang dengan kelengkapan budaya termasuk sistem politik dan ekonomi yang otonom.
Bagaimanakah konsep demokrasi tersebut diimplementasikan di tingkat desa?
Demokrasi desa merupakan demokrasi asli yang lebih dahulu terbentuk sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era kolonial. [3] Ciri-ciri dari demokrasi desa antara lain adanya mekanisme pertemuan antar warga desa dalam bentuk-bentuk pertemuan publik seperti musyawarah/ rapat, dan ada kalanya mengadakan protes terhadap penguasa (raja) secara bersama-sama.
Dengan pengertian demokrasi desa seperti di atas, pada tataran realitas terdapat keterkaitan antara aspek ekonomi dan politik dalam konteks rakyat pedesaan. Misalnya di Jawa pada kurun waktu pasca revolusi kemerdekaan hingga 1960an, Moh. Hatta berpendapat, ‘di desa-desa yang sistem demokrasinya masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian (dari) adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi.” Ia juga menambahkan, “struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa”.[4] Perkembangan jaman menunjukkan desa-desa di Jawa mengalami perubahan yang diakibatkan oleh kemampuan adaptasi desa terhadap tekanan eksternal, misalnya migrasi penduduk, atau terhadap bentuk proyek kebijakan ekonomi dan politik lainnya.
Saat ini, demokrasi (lokal) dan desentralisasi, merupakan dua isu utama dalam statecraft Indonesia pasca Orde Baru. Desentralisasi secara umum dikategorikan ke dalam dua perspektif utama, yakni perspektif desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi. Perspektif desentralisasi politik menerjemahkan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; sedangkan perspektif desentralisasi administrasi diartikan sebagai pendelegasian wewenang administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.[5] Jika desentralisasi merupakan arena hubungan antara desa dengan pemerintah supra desa (Negara) yang bertujuan untuk memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa, memperkuat identitas lokal, membangkitkan prakarsa dan inisiatif lokal, serta membagi kekuasaan dan kekayaan kepada desa, dan mewujudkan otonomi desa[6]; maka demokratisasi merupakan upaya untuk menjadikan penyelenggaraan pemerintah (desa) menjadi lebih akuntabel, responsif, diakui oleh rakyat; mendorong parlemen desa berfungsi sebagai badan perwakilan dan intermediary agent (dalam aspek artikulasi dan agregasi kepentingan, formulasi kebijakan serta kontrol terhadap eksekutif desa); serta memperkuat partisipasi masyarakat desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan desa. Partisipasi juga menandai keikutsertaan kalangan marjinal yang selama ini disingkirkan dari proses politik dan ekonomi.
Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi di tingkat lokal sebagai persamaan politik, akuntabilitas lokal, dan kepekaan lokal. Perspektif desentralisasi administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan ekonomi di daerah, sebagai tujuan utama dari desentralisasi. Sedangkan desentralisasi politik ini pada tingkat desa menekankan pada aspek kelembagaan desa, pembagian peran serta berfungsi atau tidaknya kelembagaan desa.
 
Kelembagaan Politik Desa
Desa merupakan entitas pemerintahan yang langsung berhubungan dengan rakyat, namun secara geografis berjarak cukup jauh dari pusat kekuasaan di tingkat atasnya. Hal itu menyebabkan desa memiliki arti penting sebagai basis penyelenggaraan pelayanan publik dan memfasilitasi pemenuhan hak-hak publik rakyat lokal. Peran penting desa ini disadari oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83, yaitu aturan hukum yang memberikan ruang bagi desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri (self governing community) dalam bentuk pengakuan hak-hak budaya desa, sistem pemilihan kepala desa, desentralisasi pemerintahan pada tingkat desa, parlemen desa dan sebagainya. [7]
Pada masa ini penduduk ‘pribumi’ diperintah secara langsung oleh penguasa pribumi, dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda. Sistem pemerintahan berdasarkan ras ini berlangsung hingga 1942, dengan penguasa pribumi memegang jabatan mulai dari karesidenan, kawedanan hingga tingkat kecamatan, dan membawahi kepala desa. [8] Hal ini sesuai dengan skema dimana pemerintah kolonial melakukan penguasaan sumberdaya dengan ‘memegang’ elite politik lokal, meskipun demikian secara tradisional struktur pemerintahan ini bersifat otonom. Strategi ‘indirect rule’[9] melalui elite lokal ini juga berlangsung di luar Jawa, semisal di Sumatra (Aceh, Medan, Palembang) yang memudahkan pemerintah kolonial mengekspoitasi sumberdaya alam dan manusia untuk kepentingan perdagangan internasionalnya.
Sedangkan, proyek politik untuk menata pemerintahan negara Indonesia pada kurun waktu paska kemerdekaan, dilakukan dalam konteks penataan institusi pemerintahan di daerah, tetapi masih dalam bingkai negaraisasi, memperlakukan desa dalam wawasan pemerintah pusat. Bagaimana hal ini direfleksikan dalam praktek berlakunya UU tersebut, dan bagaimana pengaruhnya pada pemerintahan asli desa?
Pada masa rejim Orde Baru yang berkarakter represif secara politik untuk mendukung ‘pembangunan ekonomi’, aktivitas ekonomi desa terseret dalam pusaran modernisasi sektoral, yang menyebabkan penciutan lahan pertanian untuk pembangunan pabrik, ekploitasi hutan untuk kepentingan ekspor kayu, dan alih profesi para petani tradisional menjadi buruh pabrik atau pekerja tambang. Penekanan terhadap stabilitas politik untuk mendorong laju ekonomi ini dalam penataan pemerintahan diwujudkan dalam UU No. 5/1979 yang berwawasan ‘kontrol’.
Dengan mengartikan desa sebagai konsep administratif, maka desa terletak di bawah struktur pemerintahan kecamatan. Kepala desa dan dewan desa bertanggungjawab kepada pemerintah supra desa, bukan kepada warga, sehingga desa lebih merupakan kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah pusat. Akibatnya terjadi kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa. Desa tidak ubahnya sebagai mesin birokrasi kepanjangan dari birokrasi negara. Pasal 3 UU No. 5/1979 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD), yang merupakan lembaga musyawarah atau permufakatan antar elite pemerintahan desa dengan tokoh masyarakat desa. Secara praktis, UU tersebut mengesahkan posisi dan fungsi kepala desa sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai ketua LMD. Selain LMD, terdapat juga LKMD (lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) yang No. 28/ 1980 dan dikukuhkan oleh Instruksi Mendagri No. 4/ 1981 yang berfungsi sebagai koordinator pelaksanaan proyek pembangunan desa. Keanggotaan LKMD seperti halnya LMD terdiri dari para elite desa yang cenderung dekat dengan kepala desa, sementara pembentukan pengurus LKMD harus disetujui oleh kepala desa, camat, dan bupati atau walikota untuk disahkan.Oleh karenanya baik LKMD maupun LMD tidak bisa menyuarakan pandangan kritis terhadap kepala desa.
Untuk menjaga ‘loyalitas’ dari kalangan masyarakat desa, ‘pesta demokrasi’, yang dikomandoi oleh para ‘klien negara’ di desa, diselenggarakan secara periodik diadakan lima tahun sekali. Desa menjadi sumber untuk mobilisasi dukungan terhadap partai-partai politik. Secara perlahan, dengan praktek ekonomi dan politik seperti di atas, otonomi asli dan masyarakat hukum yang otonom semakin menghilang.[10]
Pada masa reformasi, dalam kerangka desentralisasi politik dan demokratisasi maka ketentuan tentang pemerintahan desa disesuaikan dengan keanekaan kekhasan sosial, budaya dan ekonomi desa. Ruang politik yang semakin terbuka juga ditandai oleh munculnya asosiasi-asosiasi kemasyarakatan desa serta seruan dari berbagai pihak untuk menghidupan kembali struktur pemerintahan adat.
Di Aceh, misalnya, terdapat pola struktur pemerintahan nanggroe yang federatif menggambarkan tingkatan-tingkatan mulai dari unit terendah setingkat desa yaitu gampong, kemudian struktur di atasnya yaitu mukim (federasi gampong), federasi mukim yaitu sagoe dan strata pemerintahan teratas yaitu nanggroe. Setiap elemen ini memiliki perangkat pemerintahan sendiri yang dapat dipersamakan dengan fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada masa kini, (dalam konteks desentralisasi, dan khususnya sebagai bagian dari proses resolusi konflik antara pihak RI dan GAM), UUPA No. 11/ 2006 mengakomodasi kembalinya format otonomi asli pemerintahan Aceh tersebut. Pada tataran implementasinya, kabupaten-kabupaten di Aceh mengeluarkan qanun atau peraturan daerah untuk menjadi dasar pembentukan lembaga daerah sampai tingkat gampong. Di Kalimantan Tengah, pemerintah daerah mengakomodasi struktur pemerintah adat ‘kedemangan’ dalam struktur pemerintahan modern berdasarkan UU No. 22/1999. Di Sumatra Barat, dikenal sebutan ‘nagari’ yang tingkatan sistem pemerintahannya hampir serupa dengan Nanggroe, demikian juga dengan fungsi perangkat pemerintahannya. Harus diakui bahwa satu keutamaan reformasi adalah keberhasilan mengakomodasi dan ‘menyesuaikan’format pemerintahan asli ini ke dalam penyelenggaraan negara, meskipun masih banyak kekurangannya di sana-sini.
UU No. 22 Tahun 1999 pada intinya menerapkan kerangka desentralisasi politik, yang ditandai oleh pembatasan kekuasaan pusat dan pemberian otoritas yang lebih luas kepada pemerintah daerah [11]. UU No. 22/1999 menjadi prinsip utama untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan keberadaan BPD, serta adanya pemberdayaan peran dan fungsi parlemen daerah, [12] untuk tujuan meningkatkan demokratisasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik rakyat. Pemerintahan desa dalam UU No. 22/1979 diatur dalam pasal-pasal 93 hingga 111. Dalam pasal 95, pemerintah desa- atau disebut dengan nama lain- terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. [13] Pasal 104 mencantumkan keberadaan BPD (Badan Perwakilan Desa) yang befungsi sebagai pengayom adat istiadat, pembuat peraturan desa (perdes), penampung dan penyalur aspirasi masyarakat, serta pengawas penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini menandakan perubahan signifikan dalam struktur dan fungsi kelembagaan desa, dimana kepala desa harus bersama-sama BPD menjalankan fungsi administrasi, anggaran dan pembuatan keputusan desa.[14] Dari aspek keanggotaan, Pasal 105 mengatur bahwa anggota BPD sebagai wakil rakyat desa dipilih dari dan oleh masyarakat desa. Kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD, dan dalam Pasal 102 diatur bahwa kepala desa melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada bupati.
Namun demikian, tidak semudah itu menerapkan konsep-konsep ideal demokrasi sesuai dengan UU No. 22/1979. Seperti disampaikan di muka, keberagaman latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di daerah-daerah di Indonesia menjadikan corak kelembagaan pemerintah desa pun menjadi beragam. UU No. 22/1999, yang substansinya mendukung keanekaragaman dalam masyarakat desa, ironisnya, tetap ‘menyeragamkan’ struktur pemerintahan desa. Dalam prakteknya, konsep pemerintahan desa yang diperbarui oleh UU ini ‘dipertemukan’ dengan sisa-sisa pola patron-klien di kalangan masyarakat desa, yang terbentuk pada masa Orde Baru. Belum lagi faktor-faktor keanekaragaman pola budaya yang terus berubah. Secara khusus, idealnya para pembuat keputusan mengenai pemerintahan desa harus mempertimbangkan pengaruh dari apa yang oleh kalangan pengamat politik pedesaan disebut sebagai fenomena khas, yaitu bahwa masyarakat Indonesia adalah ‘masyarakat transisi yang permanen’[15], karena tidak lagi tradisional sepenuhnya, namun juga belum bergerak ke arah ‘masyarakat modern’ (dalam pengertian modernisme Barat yang menekankan pada asas rasionalitas dan individualisme).
Sehingga, jika alasan tersebut di atas dapat dipahami oleh para pembuat keputusan, maka solusi terhadap praktek demokrasi yang hanya terjadi di tingkat prosedural-- artinya demokrasi hanya sebatas aspek prosedur, namun tidak diikuti oleh proses politik yang mencerminkan perilaku atau budaya demokratis-- tidak hanya sebatas dengan keluarnya peraturan baru yang dampaknya tambal sulam. Para pengambil keputusan seharusnya memahami latar belakang sosial, budaya dan ekonomi di pedesaan, dan kemudian menjadikan faktor-faktor tersebut sebagai variabel penentu dalam penataan pemerintah desa, baik dari aspek kelembagaan maupun pranata desa, yang sesuai dengan asas demokrasi.
Sebagai contoh, terdapat kasus di beberapa daerah dimana anggota BPD, yang terpilih secara demokratis, menggunakan akses komunikasi politik langsung ke Bupati untuk menjatuhkan kepala desa, yang tidak lagi memainkan peran sentral dalam perpolitikan desa. Ada kalanya, untuk memuluskan pencapaian tujuan kepentingan politik atau ekonomi, kades juga dapat berkolaborasi dengan BPD (kolusi) sehingga tidak lagi mengawasinya.[16] Pemilihan kepala desa dan BPD juga seringkali diwarnai oleh isu politik uang atau intrik politik lainnya, yang diikuti pula dengan kecenderungan anarkisme dari massa pendukung yang tidak puas. Hal ini berarti bahwa suatu sistem demokrasi tidak bisa berlangsung tanpa adanya jaminan penegakan hukum oleh Negara di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elite politik ) di pihak lain.[17] Perbedaan budaya di antara warga juga seringkali disikapi dengan kekerasan sebagaimana jaman penjajahan atas dalih ‘rust en orde’, dan malangnya, ini dilakukan oleh sesama warga Negara.[18]
Meskipun terdapat fenomena negatif dalam praktek politik seperti di atas, upaya demokratisasi di desa-desa memang memerlukan proses yang panjang, sebab terjadi transformasi besar-besaran pada dua aras yaitu pertama, pola berpikir dan praktek politik para elite desa, dan kedua, pada internal masyarakat desa sendiri, dalam konteks transisi politik sejak 1998. BPD saja baru terbentuk kurang dari 5 tahun (terhitung sejak 2004), sudah tentu memerlukan waktu untuk sepenuhnya menjalankan fungsi sebagai Badan Perwakilan Desa. Masyarakat desa memerlukan ‘perenungan’ atau penyesuaian terhadap mekanisme pemilihan langsung wakil-wakilnya, setelah sekian lama terbiasa dalam proses politik yang serba ditentukan dari atas. Sesungguhnya kurun waktu antara 1999 hingga 2004 inilah periode penting untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi (baik ‘asli’ maupun ‘demokrasi Barat’) dalam praktek politik desa yang peluangnya ada di tangan organisasi non pemerintah, masyarakat desa, serta pelbagai pemangku kepentingan di desa.
Maka, upaya untuk mengintrodusir demokrasi di tingkat desa, dengan memperkuat kapasitas masyarakat akar rumput di desa menjadi percuma ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU No. 32/2004 yang cenderung mengembalikan kekuasaan di tangan kepala desa dan mencabut peran badan perwakilan desa, dan sekali lagi, menyeragamkan struktur kelembagaan pemerintah desa. UU 32/2004 tersebut keluar dengan latar belakang dominannya perspektif resentralisasi pemerintah pusat (depdagri), selain adanya anggapan bahwa kecenderungan konfliktual antara BPD dan kepala desa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Tampaknya pemikiran bahwa desentralisasi politik hanya melahirkan konflik politik dan akibat negatif lainnya masih mendominasi pemerintah pusat, padahal yang perlu dipertimbangkan oleh mereka adalah bahwa reformasi politik mengandung konsekuensi tampilnya diskursus-diskursus baru (pembaruan diskursus) dalam politik desa, termasuk konsep demokrasi, yang memerlukan proses penyesuaian dalam prakteknya oleh masyarakat desa dan elite politik desa. Tak pelak lagi, ‘gerakan resentralisasi’ oleh pemerintah pusat menyebabkan desa kembali dimaknai sekedar sebagai saluran administratif kewenangan negara lewat kabupaten/kota, tanpa memiliki daya tawar terhadap berbagai kebijakan negara.
Sebagai peraturan pelaksanaan UU No.32/2004 diterbitkanlah PP No. 72 /2005 yang memuat beberapa perubahan penting berkaitan dengan peran ‘Badan Permusyawaratan Desa’ sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa; serta tentang peran dan kedudukan kepala desa. Pasal 29 PP menegaskan bahwa ‘kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa’ artinya posisi BPD berada di bawah eksekutif. Sementara pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian ‘pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa’. BPD dikurangi kedudukan dan perannya dari fungsi badan legislatif menjadi ‘badan permusyawaratan’; disamping itu keanggotaan BPD yang awalnya dalam UU No. 22/1999 dipilih secara demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara ‘musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah’. [19]
Kecenderungan ‘pemusatan kembali ke atas’ dalam pertanggungjawaban kepala desa sangat tampak dalam pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 yang menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada bupati atau walikota; sedangkan tanggung jawab kepala desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan mereka hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada rakyat.[20] Tentu saja ini berarti tidak ada lagi fungsi check and balances sebagai prinsip demokrasi dalam pola hubungan antara BPD dan kepala desa; serta hubungan BPD dengan lembaga supra desa. Bahkan, terdapat kontradiksi antara pasal 15 ayat (2) PP yang mengatur bahwa ‘BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa’, dengan pasal 35 (b) PP tentang desa. Meskipun pada pasal 35(c) PP tentang desa disebutkan bahwa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada bupati/walikota, namun jika mengacu pada pasal 15 (2) PP Desa di atas, terlihat ambivalensi pengaturan kewenangan pengawasan BPD. [21]
Selain sentralisasi politik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, perencanaan pembangunan desa pun disesuaikan dengan perencanaan pembangunan nasional. Artinya, desa tidak lagi memiliki otonomi untuk mengatur pembangunan ekonominya sendiri. Pasal 63 PP Desa menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota; sedangkan pasal 150 UU No. 32/2004 menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Singkatnya, PP itu tidak menawarkan rumusan untuk memperkuat demokrasi di desa, malahan melemahkannya dengan mengembalikan pemusatan kekuasaan di tangan kepala desa, dan ‘mempreteli’ fungsi dan wewenang BPD, selain melemahkan otonomi pembangunan desa.

Kerja ke Depan
Untuk konteks negara Indonesia yang tengah melakukan eksperimen politik sejak kemerdekaannya tahun 1945, desa masih dipandang setengah mata sebagai wilayah yang memiliki demokrasi asli dan otonomi sendiri, meskipun beberapa di antaranya sebelum masa kolonial sudah memiliki ‘otonomi asli’. [22] Penerapan ‘otonomi daerah’ ala UU No. 32/2004) yang menekankan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan, dengan demikian mengesampingkan posisi desa sebagai unit terkecil dalam struktur pemerintahan negara. Padahal dalam kerangka UU No. 22/1999, demokrasi pada tingkat desa sedang mulai tumbuh, dan dapat memperkuat kehidupan demokrasi di kabupaten/kota, provinsi dan akhirnya negara. Keluarnya UU ini cenderung menghasilkan democratic defisit atau kegagalan sistem demokrasi (yang telngah dirancang) untuk berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Mencermati narasi di atas tampaklah bahwa kecenderungan penyeragaman, resentralisasi[23], dan pembentukan lembaga baru oleh pemerintah pusat terhadap pemerintahan desa masih tetap dominan, sebagaimana ditampilkan oleh UU No. 22/1999 maupun UU No. 32/2004. Beberapa persoalan pokok yang ditampilkan oleh UU no 32/2004 adalah masalah keterwakilan masyarakat desa dalam lembaga BPD dan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan desa. Dengan kondisi sedemikian, bagaimana nasib demokrasi desa? Mesti ada mekanisme yang diciptakan, berbasis jaringan antar komunits, untuk memberikan perlindungan dan penguatan lembaga-lembaga asli desa, penguatan kapasitas politik kelembagaan desa yang mencerminkan asas keterwakilan rakyat desa yang hakiki, serta upaya untuk memperkuat ekonomi desa.

Referensi
Cahyono, Heru, dkk., Konflik Elite Politik di Pedesaan, (Yogya: Pustaka Pelajar, 2005).
Cahyono, Heru (ed.), Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, (Jakarta: LIPI, 2006)
Chabal, Patrick, and Jean Pascal-Daloz, Culture Troubles, Politics and The Interpretation of Meaning, (London: Hurst & Co., 2006).
Collin, P.H. Dictionary of Politics and Government, (London: Bloomsbury, 2004),
Haris, Syamsuddin. Demokrasi Desa, Perlukah Diatur?, kertas kerja, 2006.
Hidayat, Syarif. Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000)
Reid, Anthony (ed.), Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem, (Singapore: NUS Publishing, 2006)
Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983)
KOMPAS, Selasa, 03 Mei 2005, PNBK Ajukan Hak Uji UU No 32/2004
WASPADA, 8 April 2007, UU No 32 Halangi Calon Independen
Pikiran Rakyat, 22 April 2005, UU 32/2004 Mengulang Orba



* Makalah untuk diskusi Perkumpulan INISIATIF, Bandung, 16 April 2007.

[1] P.H.Collin, Dictionary of Politics and Government, (London: Bloomsbury, 2004), hal.257.
[2] Heru Cahyono (a) (ed.), Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999, (Jakarta: LIPI, 2006), hal.
[3] Ibid.
[4] Prijono Tjiptoherijanto dan Yumiko M. Prijono, Demokrasi di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983), hal. 17-18.
[5] Syarif Hidayat, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan, (Jakarta: Pustaka Quantum, 2000)
[6] Tim Lapera, Otonomi versus Negara: Demokrasi di Bawah Bayang-Bayang Otoriterisme, (Yogya: Lapera Pustaka Utama, 2005), hal. 153.

[7] W. Riawan Tjandra,” Desa, Entitas Demokrasi Riil”, dalam Kolom Demokrasi Desa http://www.forumdesa.org/mudik/mudik6/kolom diakses pada 5 April 2007

[8] Agus R. Rahman, “Sejarah Perkembangan Demokrasi Desa di Indonesia”, dalam Heru Cahyono (a), ed., ibid., hal. 65-106.
[9] Di Aceh, misalnya, penguasa territorial dari kelompok elite keturunan bangsawan yang disebut uleebalang, selain merupakan tangan kanan sultan juga dikenal dekat dengan Belanda posisi mereka yang secara politik, kultural dan ekonomi strategis.Lihat, Rodd McGibbon, “Local Leadership and the Aceh Conflict”, dalam Anthony Reid, (ed.), Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem, (Singapore: NUS Publishing, 2006), hal. 318-319.
[10] Heru Cahyono (b), dkk., Konflik Elite Politik di Pedesaan, (Yogya: Pustaka Pelajar, 2005), hal.340.
[11] Lihat Pasal 7 (1) UU No. 22 Tahun 1999
[12] Lihat pasal 14, UU No.22/ tahun 1999, juga pasal-pasal 18, 19, 20 dalam UU No.22/1999 memperlihatkan besarnya peran DPRD sebagai ujung tombak demokratisasi pada tingkat lokal., yang idealnya membawa perbaikan bagi transparansi dan akuntabilitas di daerah.
[13] Heru Cahyono(b), (ed).ibid., hal. 3-5.
[14] Op.cit.
[15] Clifford Geertz, Agricultural Involution and 1965, The Social History of an Indonesian Town,
[16] Cahyono (b), op.cit.
[17] Syamsuddin Haris, Demokrasi Desa, Perlukah Diatur?, kertas kerja seminar FPPM, tt, 2006.
[18] Ibid.
[19] W. Riawan Tjandra, ibid.
[20] Op.cit.
[21] Tjandra, ibid.
[22] Mengenai sejarah demokrasi desa-desa sebelum era kolonial, termasuk masa Kerajaan baca selengkapnya pada Agus R. Rahman, “Sejarah Perkembangan Demokrasi Desa di Indonesia”, dalam Heru Cahyono (a), ed., ibid., hal. 65-106.
[23] Pikiran Rakyat, 22 April 2005, UU 32/2004 Mengulang Orba